SOLOPOS.COM - Patricia Susanto, CEO The Jakarta Consulting Group

Patricia Susanto, CEO The Jakarta Consulting Group (FOTO: Istimewa)

Secara umum sebuah perusahaan keluarga akan melewati empat tahapan, yaitu tahap pengembangan, tahap pengelolaan, tahap transformasi, dan tahap keberlanjutan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Pada tahap pengembangan, anggota keluarga adalah penggerak utama perusahaan. Perkembangan bisnis pada tahap ini juga dipengaruhi oleh para pemangku kepentingan seperti pelanggan, karyawan dan komunitas sekitar.

Tatkala memasuki tahap pengelolaan, ada tujuh isu yang wajib mendapat perhatian, yaitu konflik nilai, suksesi, struktur organisasi, kompensasi, kompetensi, distribusi pendapatan dan keselarasan.

Pada tahap transformasi, manajer profesional dari luar keluarga wajib direkrut. Mereka kerap membawa ide-ide segar. Dalam fase ini, isu-isu yang wajib mendapat perhatian adalah perencanaan jalur dan pengembangan karier, peran-peran baru bagi anggota keluarga, pemantauan dan pengendalian, pengembangan organisasi, dan perencanaan aset personal.

Jika perusahaan keluarga mampu melewati ketiga tahap di atas, pertumbuhan dan profitabilitas dapat dicapai dalam tahap keberlanjutan. Dalam tahap ini, seluruh sistem, prosedur dan kebijakan organisasi telah berjalan mapan. Perusahaan keluarga tidak lagi tergantung pada figur, melainkan pada sistem, yang terus-menerus diperbaiki secara berkala.

Sayangnya, banyak perusahaan keluarga yang tidak mampu mencapai tahap keberlanjutan. Mereka harus berhenti beroperasi karena gagal pada tahap transformasi.

Artinya mereka gagal menciptakan struktur organisasi dan sistem yang tepat. Mereka pun gagal merekrut talenta-talenta profesional dari luar keluarga dan membangun kebijakan SDM yang unggul.

Akibatnya distribusi kerja menjadi tidak merata dan tidak adil. Demikian pula halnya dengan masalah kompensasi. Kompensasi lebih didasarkan pada faktor hubungan dekat dengan keluarga ketimbang pada faktor kinerja dan kontribusi karyawan terhadap perusahaan.

Banyak dijumpai perusahaan keluarga yang masih enggan merekrut profesional dari luar keluarga. Padahal profesional nonkeluarga terbukti berperan penting dalam kesuksesan menjalani fase transformasi. Bagi sebagian anggota keluarga, masuknya orang luar ke dalam struktur yang sudah mapan sering mengusik kenyamanan. Sebenarnya wajar jika di tahap awal muncul resistensi terhadap profesional nonkeluarga ini.

Yang perlu dijaga, jangan sampai resistensi ini bersifat permanen karena bisa menjadi benih destruktif. Keretakan karena masuknya profesional bisa memunculkan isu ekstrem berupa penguatan kembali hubungan kekeluargaan tetapi tidak pada jalurnya seperti nepotisme.

Dalam nepotisme, pertimbangan keluarga sering mengalahkan alasan-alasan bisnis. Banyak pemilik yang menerima anggota keluarganya bekerja di perusahaan tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka.

Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan kegagalan perusahaan keluarga.

Pertama, pemilik cenderung menutup mata terhadap kelemahan-kelemahan yang dimiliki anggota keluarganya. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan keluarga menjadi tempat yang tidak menarik bagi orang-orang nonkeluarga untuk berkarier.

Kedua, kesalahan dalam gaya kepemimpinan juga kerap mengakibatkan gagalnya perusahaan keluarga dalam tahap transformasi. Meski lingkungan telah berubah dan semakin banyak karyawan dengan latar belakang beragam bergabung ke dalam perusahaan, gaya kepemimpinan tetap tidak berubah.

Kepemimpinan yang otoriter sering menelurkan kebijakan yang tidak strategis karena menganggap sepi segala kritik dan saran. Kepemimpinan tipe ini sering membuat perusahaan kedodoran mengantisipasi kompleksitas bisnis dalam jangka panjang.

Padahal kontinuitas bisnis hanya bisa dicapai jika kepemimpinan yang dikembangkan adalah kepemimpinan yang bisa menjangkau masa depan, dalam konteks jangka panjang.

Ketiga, kesenjangan antargenerasi juga berpotensi menggagalkan perusahaan keluarga melewati tahap transformasi. Kesenjangan antargenerasi terjadi bila generasi senior tidak bersedia berbagi kekuasaan dengan generasi muda.

Mereka juga enggan mengakui kedewasaan dan kemampuan generasi muda. Generasi senior juga kerap mengeluhkan generasi muda yang mereka anggap tidak bekerja sekeras mereka.

Keempat, kadang kala generasi muda tidak termotivasi untuk melanjutkan dan memajukan bisnis keluarga karena merasa tidak cukup mendapat dukungan dari generasi senior. Penyebab lain munculnya kesenjangan generasi adalah terkait dengan visi.

Boleh jadi, generasi muda tidak memiliki visi yang sama dengan generasi senior. Kegagalan mengatasi masalah kesenjangan generasi ini tentu menghambat transformasi perusahaan.

Bila memang waktunya telah tiba, generasi senior sebaiknya tidak lagi turut campur dalam urusan bisnis dan berkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas di luar perusahaan, khususnya aktivitas-aktivitas sosial.

 

Resistensi Terhadap Perubahan



Sebenarnya, bila dicermati lebih dalam, akar kegagalan perusahaan keluarga dalam fase transformasi ini adalah adanya resistensi terhadap perubahan.

Mereka merasa sudah nyaman dengan kondisi yang ada, jadi mengapa harus berubah? Padahal perubahan mutlak diperlukan jika perusahaan keluarga ingin maju.

Penyebab lainnya adalah sifat perusahaan keluarga yang terlalu tertutup. Akibatnya rasa saling percaya menjadi tergerus, moral karyawan melemah, dan kinerja memburuk.

Akibat selanjutnya talenta-talenta terbaik banyak meninggalkan perusahaan. Sifat terlalu tertutup juga berpotensi menyulut konflik dalam perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya