SOLOPOS.COM - Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, dan penulis buku-buku bestseller

Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, dan penulis buku-buku bestseller (FOTO: Istimewa)

Selain untuk alasan spiritual, apakah makna puasa dan kemampuan menahan diri, secara psikologis dan motivasional?

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Alkisah ada sebuah kisah Sufi yang menarik. Ada seorang yang sedang diuji keimanannya. Tiba-tiba, orang yang dikasihinya diambil nyawanya oleh Tuhan. Sejak itulah, si orang ini menderita. Dia menangis dan menderita hingga tiga tahun lamanya.

Akhirnya, dia pun dipanggil oleh Tuhan juga. Tatkala bertemu dengan Tuhan, orang ini mengeluh, “Tuhan, mengapa Engkau membuatku menderita selama tiga tahun?” Dengan suara lantang terdengarlah suara Tuhan, “Saya tidak membuat dirimu menderita tiga tahun. Hanya ada satu hari ketika nyawa kekasihmu diambil. Namun, kamulah yang membuat dirimu menderita selama tiga tahun lamanya!”

Nah pembaca, kisah di atas mengawali tulisan untuk mengenang saat-saat untuk menguji iman dan ketahanan kita di hari-hari di seputar puasa ini. Selama sekitar 40 hari lamanya, jika dilihat dari kacamata spiritual, ini memang merupakan bagian dari kewajiban sebagai pemeluk agama.

Namun, apabila dilihat dari kacamata psikologis dan motivasional, ternyata banyak pula makna di balik puasa dan kemampuan menahan diri. Itulah sebabnya, boleh dikatakan hampir semua agama kemudian menganjurkan kemampuan berpuasa, berpantang ataupun bermati raga. Nah, apa makna psikologis dan motivasional di balik puasa yang kita jalankan?

 

Pilihan atau Siksaan

Pernahkah Anda mendengar pepatah yang mengatakan  “Kesulitan dan masalah adalah suatu hal yang pasti, tetapi penderitaan adalah suatu pilihan”. Mirip seperti kisah awal di atas, sebenarnya setiap hari ataupun kita sendiri, akan mengalami banyak problem dan tantangan. Rasanya, bukanlah kehidupan jika kita tidak pernah mengalaminya. Namun, apakah kita melihatnya sebagai penderitaan ataukah sebagai pembelajaran untuk maju, itu juga sebuah pilihan.

Begitu pula saat dua orang memutuskan untuk menjalankan puasa, ada yang melihatnya sebagai tantangan kemajuan spiritual ataukah menganggapnya sebagai siksaan? Makanya, tidak mengherankan jika sementara yang satu berkomentar, “Mengapa sih mesti menyiksa diri dengan puasa seperti ini. Kok bikin susah amat. Inilah bulan yang paling bikin menderita karena harus bangun pagi-pagi, menahan diri dan mengendalikan banyak hal”. Sementara lainnya tidak melihat ini sebagai penderitaan tapi sebagai “pilihan sadar” untuk menjalan ibadah sekaligus tantangan kemajuan diri.

Tidak heran, baru-baru ini seorang sahabat saya mengatakan, “Saya melihat puasa sebagai kesempatan untuk belajar puasa=pantang untuk berputus asa.” Hmm, pemahaman yang menarik!

 

5 Makna

Di balik berbagai tradisi puasa ataupun berpantang serta bermati raga yang diajarkan oleh agama-agama, ada beberapa makna motivasional yang bisa dihayati.

Pertama, pembelajaran soal siklus kehidupan. Ketika menjalankan puasa, kita belajar bahwa hidup ternyata tidaklah melulu soal kesenangan dan kebahagiaan. Ada kutub lain dalam kehidupan kita, kutub kelaparan, kutub perasaan tidak berdaya, bersusah hati.

Dengan demikian, kita pun diajari untuk melihat bahwa kehidupan adalah keseimbangan antara kegembiraan dan kesulitan. Dengan demikian, kita pun tahu bahwa di balik segala kegembiraan kita, ada masa ketika kita akan bersedih dan bersusah.

Sebaliknya, di balik kesulitan dan penderitaan kita, akan datang pula masanya bagi kita untuk bersuka cita. Itulah kehidupan. Ada siang dan malam, ada susah dan senang. Itulah kehidupan kita yang normal!

Kedua, pembelajaran untuk mensyukuri kenyamanan yang kita jalani. Bayangkan sepanjang tahun, kita jalani tanpa merasakan kesulitan dan masalah sama sekali. Mungkin akibatnya, kita menjadi tidak waspada dan tidak pernah bersyukur dengan segala kegampangan, fasilitas serta bantuan yang kita peroleh dalam hidup ini.

Karena itulah, kita pun jadi lebih bisa sungguh-sungguh bersyukur ketika menghadapi masalah, tantangan dan situasi yang sulit. Jadi benarlah kata Mahatma Gandhi, “Melalui penderitaan, aku belajar bersyukur atas kehidupan.”

Ketiga, pembelajaran bahwa siksaan lebih bersifat mental daripada fisik. Ketika menjalani puasa, pantangan atau sejenisnya ada kalanya kita melihat orang yang begitu menderitanya. Komentar, perasaan serta pikiran mereka, membuat apa yang mereka jalani menjadi lebih sulit daripada kondisi yang sebenarnya.

Herannya, sementara orang lain menjalankan puasa dengan baik-baik saja, mereka ini tampaknya begitu menderita. Di sinilah pembelajaran bahwa kesulitan lebih banyak karena faktor mental, muncul. Malahan, semakin pikiran dan perasaan kita merasakan puasa sebagai siksaan, semakin kita menyiksa diri kita.

Keempat, pembelajaran menunda kesenangan. Ada berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk menunda kesenangan (delay gratification) berhubungan dengan kesuksesan seseorang di bidangnya. Setelah menunda kesenangan setiap hari hingga tiba waktunya berbuka serta melakukannya selama sekitar 40 hari adalah pembelajaran yang penuh makna soal menunda kesenangan ini.

Kelima, pembelajaran empati. Sering kali, ketika orang mengalami kesulitan dan masalah, kita hanya bisa berkomentar “Turut bersedih lho!” ataupun “Saya turut berduka dengan apa yang terjadi”.

Namun, apakah itu hanya sebatas lip service ataukah kita betul-betul merasakan? Karena itulah, sering kali cara terbaik merasakan kesulitan orang adalah berada di posisi dan situasi orang tersebut.



Ketika kita merasakan lapar dan haus, itulah situasi terbaik untuk merasakan mereka yang susah, kekurangan serta tidak punya keberlimpahan seperti kita. Di sinilah pembelajaran empati kita diasah.

 

Dua Sikap Terbaik

Majalah Psychology Today April 2011 pernah membahas soal makna psikologis di balik kesulitan dan rasa sakit kita. Nah, dalam tulisan ini, disebutkan apa pun kesulitan yang kita lewati, baik yang kita sengaja maupun tidak, semuanya sangat bergantung pada cara kita memaknainya.

Karena itulah, disebutkan dua sikap menghadapi berbagai tantangan hidup yang sebenarnya bisa kita adopsi menjadi sikap mental positif selama menjalankan ibadah puasa.

Pertama, tidak mengeksternalkan kesulitan Anda. Maksudnya begini, ketika Anda merasa susah, capek, lapar, dan tersiksa, janganlah terbiasa mengeluarkannya. Ada orang yang terbiasa untuk berkeluh kesah, mengomel, marah-marah. Menurut tulisan Psychology Today ini, akibatnya apa pun yang Anda alami akan membuat Anda makin tersiksa.

Kedua, adalah menginternalkan motif dengan makna yang lebih tinggi. Misalkan saja, ada yang melihat dirinya melakukan sesuatu karena disuruh, terpaksa karena diwajibkan ataupun karena orang di sekitar melakukannya.

Akibatnya, pemaknaan yang diberikan menjadi cenderung dangkal. Karena itu, langkah lebih baik adalah menginternalkan dan memperdalam makna dari perilaku kita misalkan melihat alasan yang lebih jauh dan lebih mendalam mengapa kita melakukannya.

So, semoga tulisan ini menguatkan dan memberikan makna baru di balik rasa sakit, rasa lapar serta rasa tidak nyaman yang mungkin Anda rasakan selama berpuasa. Ingatlah, setelah puasa mudah-mudahan Anda bukan saja mengalami kemenangan spiritual, tetapi juga kemenangan mental dan motivasi!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya