SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Antara Desa dan Kota (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Ahmad Malik, 22 tahun, adalah seorang petani dengan badan ramping berotot akibat kesehariannya yang mencangkul tanah subur. Cokelat kulitnya disebabkan terbakar terik, sementara keriting rambutnya terlihat basah. Kabar buruk yang ia simpan saat menelusuri hutan pegunungan mambuat rona wajahnya murung.

Jalan di hadapannya terjal dengan hamparan dedaunan yang lembab, sinar redup matahari yang menembus celah pepohonan, serta udara segar yang membawa aroma tanah basah dan rerumputan.

Promosi UMKM Binaan BRI Ini Jadi Kuliner Rekomendasi bagi Pemudik di Pekalongan

Setelah keluar dari hutan, ia menyeberangi jalan raya menuju wartel di samping warung kopi sudut jalan. Ia lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku dan menekan angka-angka. Seseorang yang jauh di tempat lain menyapa, “Halo.”

“Bapakku tak setuju,” katanya dengan tangan kiri berpegang pada dinding kaca dan dengan mata menerawang keluar.

“Itu bukan kabar baru, bukan,” kata Harjono, orang yang jauh di tempat lain itu. Harjono adalah kawannya.

Ahmad Malik mengangguk-angguk. Ia tahu Harjono benar. November lalu Harjono pulang ke desa. Mereka kemudian bertemu di gubuk pinggir sawah, tempat di mana mereka dulunya sering berkumpul bersama pemuda-pemuda lain untuk bermain kartu, ngopi, dan menggoda gadis-gadis sepulang mandi dari sungai.

Waktu itu sinar senja merangkak di langit barat, menciptakan suasana pas untuk mereka saling berbagi cerita. Harjono mengenakan kaus kuning dan celana jeans, menyandarkan punggung pada pagar gubuk. Dia berhasil membius Ahmad Malik dengan peristiwa-peristiwa mencengangkan yang berasal dari kota perantauan.

“Kau tak akan menemukan semacam itu di sini bukan,” kata Harjono di tengah kemerisik tanaman padi.

Ahmad Malik duduk membungkuk dengan separuh badan berselimut sarung. Ia menatap jempol kaki yang dari tadi ia pijat sendiri. “Omong-omong kalau aku ‘yak’, kau yakin pamanmu menerimaku?”

“Dia butuh orang jujur, Ahmad Malik.”

“Bapakku tak akan setuju.”

“Bapakmu setuju setelah kau kirim uang,” kata Harjono. “Seperti bapakku,” sambungnya.

Setelah diam sebentar, Harjono mengatakan, “Tapi, tak jadi soal kalau kau ingin terus bertani.”

Mereka lalu membicarakan hari-hari indah pada masa depan sebelum kemudian beranjak meninggalkan gubuk ketika kabut tipis mulai turun. Udara mulai membikin gigi mereka bergemeretak.

Malam setelah Isya, Ahmad Malik terbaring di kasur dengan kedua tangan menyangga kepala. Karena kesulitan tidur, ia menatap langit-langit kamar dan tak terusik dengan kecoak yang terbang lalu mendarat di bantal. Yang ia pikirkan adalah bagaimana cara mengatakan niatnya merantau ke kota kepada bapaknya.

Suatu siang, ia menancapkan cangkul ke tanah. Nyeri di punggungnya seperti dililit seekor ular besar. Ia lalu memandang ke kejauhan. Di hamparan padi bergelombang, petani-petani lain tampak bersemangat. Seorang petani menggiring sapi untuk membajak sawah. Meskipun demikian, dirinya merasa terjebak dalam rutinitas yang tak berkesudahan.

Ia menemukan koloni burung terbang bebas di udara kemudian hinggap di sembarang tempat. Seandainya bisa, ia ingin sebebas burung di langit dan ia tak ingin hinggap di tempat itu-itu saja. Maka ia pun memutuskan pulang dan mempercepat langkah ketika si bapak mencangkul tak jauh dari jalan bebatuan yang ia lewati.

Ibunya meninggalkan tumpukan kain, memadamkan nyala mesin jahit tua miliknya, pergi ke ruang tamu untuk menemui Ahmad Malik yang baru saja sampai di rumah. Mereka lalu bercakap-cakap. Saat itu, Ahmad Malik menceritakan semua yang terpendam di benaknya.

Baca Juga:  Subothel dan Cerita-cerita yang Tidak Bahagia

“Bukan cuma tak setuju, bapakmu akan marah.”

“Dia tak akan marah kalau ibu yang bilang.”

Ibunya duduk menangkupkan tangan, menggaruk-garuk telunjuk dengan jempol, dan menatap meja di depannya. Ahmad Malik menemukan keraguan pada wajah ibunya.

“Aku berharap kau menerima apa pun keputusan bapakmu.”

Menjelang Isya, Ahmad Malik hanya di kamar dengan bau lembut nyala lilin yang bercampur dengan aroma kayu tua. Ia duduk di tepian kasur, seperti membeku, karena mendengar percakapan orang tuanya di kamar lain.

Dia mendengar kata-kata penolakan dari ayahnya seiring suara jangkrik di luar sana dan tiupan angin yang menggetarkan jendela.

Sejak itu Ahmad Malik dan bapaknya saling membisu. Ia mengurung diri dalam kamar ketika si bapak duduk di ruang tamu, si bapak masuk kamar ketika ia menuju dapur, dan mereka saling membuang muka ketika berpapasan. Setelah itu, si bapak menjadi sering ke langgar dari Maghrib hingga pukul sembilan malam.

Pada hari-hari berikutnya, ladang terasa menjenuhkan baginya. Terik terasa lebih menyengat dan cangkul di tangannya terasa sangat berat. “Sialan,” gerutunya.

***

“Kau temanku. Kapan pun kau datang, aku akan menyambutmu. Tak harus sekarang,” kata Harjono di telepon. “Sorry, aku harus lanjut,” sambungnya.

Setelah panggilan teleponnya terputus, Ahmad Malik terdiam dengan gagang telepon di tangan. Samar-samar terdengar suara panjang dari gagang telepon itu: tuuttttt. Lamunannya dibuyarkan ketukan pelan dari luar; tiga orang mengantre di luar.

Dengan napas tersengal-sengal, ia sekali lagi berjalan jauh melewati hutan untuk pulang ke desanya.

Di kejauhan, bapaknya menggantungkan caping di paku, masuk gubuk kayu di tepi ladang dan membongkar bekal makan yang tersimpan dalam kotak. Sekali tempo bapaknya menarik tali yang tersambung jauh di cagak bambu tengah sawah, menimbulkan kebisingan dengan kaleng-kaleng yang terikat tali itu. Suara yang membikin koloni burung di sawah berhamburan ke langit.

Ahmad Malik memandangi bapaknya sebentar dengan bibir bergerak-gerak di tengah angin yang membawa aroma terik. Ia lalu menelusuri tepian sawah untuk mendatangi bapaknya.



“Apa yang salah dengan kota, Pak? Maksudku, kenapa aku tak boleh punya pilihan?”

Sementara Ahmad Malik berdiri di muka gubuk, bapaknya terus mengunyah. Butir-butir nasi melekat di jemarinya.

“Katakan sesuatu, Pak?”

“Apa yang kau cari di sana?” Dengan mulut tersumpal nasi, bapaknya terdengar seperti bergumam.

“Aku tak mau terus-terusan di desa.”

“Apa yang salah dengan desa?”

“Aku akan mengirim uang.”

Bapaknya terkekeh-kekeh. Setelah meletakkan tempat makan, bapaknya meraih kendi, minum, lalu membasuh jemari dengan air dalam kendi.

“Belum di kota tapi sudah sombong. Kau pernah kekurangan?”



“Hanya karena bertani, bukan berarti kita miskin. Kita punya sawah tiga petak, punya rumah, punya kios di pasar! Kau tahu, semua itu nantinya milikmu. Apa sebenarnya yang kau cari di kota kecuali maksiat?”

“Itu bukan niatku!”

“Lalu?”

Bapaknya turun dari gubuk.

“Kau bahkan tak tahu niatmu,” kata bapaknya sambil mengenakan caping di kepala, berjalan ke selatan.

Ahmad Malik menatap helai-helai rumput yang tengkurap di bawah kakinya. Ia lalu memandang punggung bapaknya yang kian mengecil, kemudian menghilang di belakang batang-batang padi.

Subuh masih jauh, tapi Ahmad Malik telah beranjak dari kasur. Dengan pikiran waswas, ia mulai berkemas-kemas. Ia meletakkan sepucuk surat di meja yang ia tulis semalam. Dari jendela, kabut di luar seperti lembaran kain-kain tipis yang menyelimuti jalan dan persawahan.

Ia keluar kamar dengan disambut suara katak, suara jangkrik, siulan angin, gemerisik daun, dan dengus napasnya sendiri. Ada juga suara-suara lain yang tadinya tak pernah ia hiraukan. Ketika mengendap-endap, ia dikejutkan oleh ibunya yang berdiri di ambang pintu kamar.

“Apa yang ibu lakukan di situ?”



Ibunya mendekat. Di tengah temaram lampu minyak, Ahmad Malik menemukan dirinya dalam bola mata ibunya yang gelisah.

Tangan mereka saling menggengam. Dalam isak tangis perempuan itu, mereka berbicara dengan cara berbisik-bisik. Si ibu terlihat cantik meskipun air mata membasahi pipi. Si ibu kemudian mengendap-endap ke dalam kamar, keluar lagi dengan gulungan lembar-lembar uang.

“Bawalah. Semoga Tuhan menyertai pilihanmu.”

Ahmad Malik mengangguk.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya