Lifestyle
Sabtu, 7 Januari 2023 - 09:28 WIB

Bengkok

Prima Yuanita  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Bengkok (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Belum usai melahap nasi tiwul berbalut urap kacang dan tahu kemul sebagai sarapan, Suhaimi—orang nomor satu di Desa Pundak Pari—kini berdiri di dalam bayang-bayang pohon talok yang menghadap ke hamparan bengkok: tanah kas desa yang menjadi jatah garapannya dengan wajah semuram batu pualam.

Ia teringat ucapan Mbah Surup, lelaki bercambang gelombang yang dianggap sesepuh desa pada suatu sore yang redup di bulan November.

Advertisement

“Kalau mau dapat bengkok, janganlah kaubuat hatimu bengkok!”

“Tidak ada yang gratis di zaman sekarang, Mbah!” jawab Suhaimi.

“Ketahuilah anak muda! Tanah kita ini keramat. Barang siapa yang hatinya ditumbuhi racun untuk memimpin desa, maka tunggu saja masa tumbangnya pasti akan tiba!” seru Mbah Surup berapi-api.

Suhaimi meneguk liur saat mendengar ucapan Mbak Surup. Ia banyak berutang budi kepada masyarakat yang menjadi tim suksesnya. Tak sampai hati jika mereka hanya mendapat ucapan terima kasih tanpa menerima amplop putih. Banyak uang yang telah digelontorkan untuk mencalonkan kepala desa pada waktu itu.

Pun ketika ia ingin menaklukkan hati Susanti, kembang desa yang memiliki mata selaksa pendar damar, yang hidungnya seperti kuncup melati yang segar, yang bibirnya bagaikan pinang yang terbelah merekah, Suhaimi rela berutang ratusan juta di bank. Padahal saat itu Susanti masih memiliki kekasih yang tengah menempuh pendidikan kedokteran spesialis.

“Bagiku Susanti adalah harga diri, akan kubuat ia menjadi wanita paling bahagia!” ucap Suhaimi meniru lirik lagu dari salah satu artis Ibu Kota.

Semua keinginan Susanti dipenuhi, termasuk membangun toko sembako di pusat kota kabupaten yang membuat utang Suhaimi kian menggunung di bank. Tentu saja usahanya itu berbuah manis dengan mendapat restu orang tua Susanti.

Advertisement

Mereka berpikir putrinya akan terpandang jika bersanding dengan kepala desa. Dan pada akhirnya hati Susanti luluh dengan kerja keras Suhaimi. Hubungan Susanti dengan sang kekasih hati, Sucipto, kandas lantaran calon dokter itu tidak lekas memberi kepastian, sementara Suhaimi langsung berani datang melamar.

Namun setelah menikah, utang-utang Suhaimi itu terasa seperti kumbang yang mengisap hari-harinya bersama Susanti. Seharusnya hari-harinya itu secerah pelangi, akan tetapi menjadi kelam seperti malam yang paling mencengkeram.

Maka untuk menuntaskannya, ia langsung menjual separuh jatah bengkoknya selama lima tahun pada seorang saudagar di desa seberang. Mulanya Suhaimi pikir masalah akan kelar, namun sebuah peraturan baru tentang bengkok tiba-tiba muncul dan membuat kepalanya dirundung kegelisahan berbulan-bulan.

***

“Memang mulai kapan berlakunya?” tanya Bayan yang memakai kaus merah.

“Katanya sih tahun depan,” sahut Bayan berkemeja lurik.

“Pokoknya aku sendiri yang akan menggarap bengkok itu! Tak peduli meski harus bayar dulu! Toh, uang itu nantinya juga akan kembali padaku!” tegas Bayan berkaus merah dengan muka segarang arang.

Advertisement

“Tapi untuk satu hektare kau harus setor Rp25 juta,” kata Bayan berkemeja lurik. “Padahal cicilan mobilmu sendiri belum lunas.”

Bayan berkaus merah yang kelewat tua dan sedikit jemawa itu mendesah. “Kalau Kades dapat empat hektare, berarti ia harus bayar….” Sambil menggerak-gerakkan jemari-jemarinya. Bayan berkaus merah itu melototkan mata. Kemudian dalam beberapa detik suara tawa mereka berdua pecah membahana.

Peraturan baru tentang bengkok itu memang sedang hangat diperbincangkan di ranah pemerintahan desa. Pasalnya, tunjangan kades dan perangkat desa yang semula berupa tanah akan diwujudkan uang. Bengkok tersebut akan dilelang-sewa dan hasilnya masuk rekening kas desa. Baru setelahnya dicairkan dan diberikan kepada mereka. Sementara, Suhaimi sudah kehilangan hak atas separuh bengkoknya.

Baca Juga: Riwayat Arit

Pikiran Suhaimi kian runyam dan kerunyaman itu tampaknya tak menjadi pengaruh Susanti untuk tetap eksis di media sosial. Semenjak menjadi istri orang nomor satu di Desa Pundak Pari, ia jadi gemar mengunggah status di media sosial.

Ia akan menampilkan beragam kegiatannya setiap hari. Foto profilnya akan berubah. Dan dalam setiap jamnya status di media sosialnya bertambah.

Kau akan menemukan wanita cantik sedang berada di barisan ibu berseragam batik, lalu setelahnya tampil energik berolahraga dengan busana nyentrik, lalu setelahnya berkebaya kerlap-kerlip di tengah resepsi pernikahan. Lalu setelahnya, tampil anggun dengan gamis bunga-bunga di suatu pengajian.

Advertisement

Senyumnya mengembang di atas riasan wajah yang menawan. Orang-orang akan terkagum-kagum padanya. Seolah Susanti ingin menunjukkan bahwa ia bahagia menikah dengan Suhaimi meski belum juga dikaruniai momongan.

Orang-orang berpikir bahwa Susanti bahagia, termasuk suaminya sendiri, Suhaimi. Namun, di suatu pagi yang menyala panas, sebuah kenyataan datang menggemparkan keyakinan yang selama ini Suhaimi pegang. Dan benih kegemparan itu berasal dari suara cempreng Susanti.

“Sucipto bilang kalau kita mau lekas punya anak, kita harus periksa ke rumah sakit, Mas!” Mendadak suara Susanti yang cempreng itu menjadi musang yang membangunkan macan lapar yang ketiduran. Dan Suhaimi seketika menjelma menjadi macan itu di depan istrinya sendiri.

“Jadi kau masih sering berhubungan dengannya?” Suhaimi menghentikan sarapannya.

“Jangan salah paham dulu! Dia hanya….”

“Apa?” Wajah Suhaimi kian mengencang.

“Dia hanya memberi saran sebagai seorang dokter.”

Advertisement

“Dokter? Sekalian saja utang-utangku itu kauceritakan padanya!” sungut Suhaimi sambil menunjuk-nunjuk wajah Susanti.

Ia meradang dan baru kali ini ia meradang. Gegas Suhaimi melangkah keluar rumah, bersamaan pula umpatan-umpatan yang membuat dada istrinya serasa dipanggang ratusan batu bara. Dan di pagi yang terik ketika malam sebelumnya hujan rintik-rintik itu tibalah Suhaimi di bawah pohon talok, menghadap ke hamparan bengkok. Menatap tanah yang seperti bentangan permadani hijau dengan bulu-bulu halus nan panjang-panjang itu, hatinya semakin meraung-raung kesakitan.

***

“Benarkah jika masa tumbangku akan tiba?” Tiba-tiba ia terngiang ucapan Mbah Surup.

Kepala Suhaimi serasa diruntuhi pohon talok. Seketika berkelebat wajah Sucipto sedang terbahak-bahak bersama istrinya. Ia mengempaskan bayangan maut itu, lalu dengan cepat melesat menuju rumah Mbah Surup di ujung desa. Mungkin hanya lelaki tua itu yang tahu apa yang harus dilakukannya.

Tibalah ia di barisan pohon jati yang mengelilingi sebuah rumah kayu yang kerdil. Pintu reot rumah itu terbuka, tampak seorang lelaki tua keluar sambil membawa tongkat dan berjalan menghampiri Suhaimi.

“Adakah sesuatu yang penting sampai kaudatang ke mari?”

Advertisement

“Saya ingin bertanya tentang bengkok, Mbah,” kata Suhaimi sesaat selepas mematikan sepeda motor berpelat merahnya di halaman.

“Bengkok?”

“Ya, saya teringat ucapan Mbah Surup di awal pemerintahan saya waktu itu, katanya: ‘kalau mau dapat bengkok, janganlah kaubuat hatimu bengkok!’, begitu kalau ndak salah!”

Mbah Surup langsung tergelak, “Aku bahkan lupa pernah mengatakannya.”

“Tapi, Mbah juga bilang kalau tanah kita ini keramat.”

“Hmm….” Mbah Surup mengelus-elus cambangnya yang putih kemerah-merahan. “Apa hatimu kini telah bengkok?” selidik Mbah Surup.

“Saya sudah berusaha jujur! Tapi….” Mbah Surup mengamati wajah Suhaimi dengan saksama. Ia seolah menemukan kejanggalan yang disembunyikan.

Advertisement

“Sepertinya kau ada masalah lain yang enggan kaukatakan.”

Suhaimi mengentak-entakkan telunjuk tangan di bibirnya. “Sebenarnya saya juga ada masalah dengan istri saya, Mbah!”

Mbah Surup kembali tergelak.

“Saya sedang serius, Mbah.”

“Justru itu, aku tertawa. Ternyata kau payah soal wanita.”

“Maksudnya?”

“Mungkin bengkok itulah yang menjadi akar permasalahanmu. Bukan bengkok-bengkok yang lain.”

“Saya semakin tidak mengerti.”

“Kautahu dari apa istrimu diciptakan?”

Suhaimi menggeleng patah-patah. “Dari tulang rusukmu yang bengkok.” Mbah Surup menjatuhkan tongkatnya tepat di depan dada Suhaimi yang seketika membuat kepala desa itu terkesiap.

“Wanita itu, maksudku istrimu itu diciptakan dari tulang rusukmu yang bengkok! Kau harus berhati-hati jika menghadapinya. Salah sedikit berulah, ia bisa patah!”

“Kenapa mendadak banyak kata bengkok di sekitar kehidupanku?” tanya Suhaimi pada dirinya sendiri.

“Kuperhatikan pemerintahanmu selama ini berjalan lurus-lurus saja. Kau bisa pertahankan!” Mbah Surup masuk ke dalam rumah sambil terus tertawa.

“Pulanglah, temui istrimu dan bersikap lemah lembutlah!”

Suhaimi bengong dalam beberapa jenak. Ia jadi teringat berita yang wara-wiri di media tentang artis yang melakukan KDRT pada istrinya. Tentu saja ia tak mau hal itu juga terjadi padanya. Ia tak ingin rumah tangganya jadi buah bibir banyak orang.

Selama ini, setiap ada masalah di pemerintahan ia masih bisa terlihat tenang, namun baru sebentar tersenggol persoalan dengan Susanti, amarahnya langsung menggelegak. Ia pun pulang dengan hati meremang.

Sementara di rumah, Susanti mengunci diri di dalam kamar. Matanya sembap. Ponselnya dimatikan. Ia tak peduli pada setumpuk agenda yang menunggunya. Ia tak mau orang-orang melihat wajahnya yang selama ini tampak semringah menjadi tak bergairah.

Dan begitu mendengar suara mesin kendaraan motor Suhaimi memasuki halaman, jantung Susanti semakin berdebar-debar. Susanti mengeratkan pelukan pada bantal. Tangannya gemetar. Ia teringat berita akhir-akhir ini yang mencuat di berbagai media, tentang artis yang melakukan KDRT pada istrinya. Tentu saja Susanti tak ingin hal serupa menimpa dirinya.

Ia menenangkan dirinya dengan memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan. Hingga berjam-jam lamanya Susanti mendekam; ia takut keluar dan Suhaimi pun tidak berusaha masuk kamar.

Lelaki itu teringat ucapan Mbah Surup agar ia berhati-hati dalam bersikap. Ia pun memilih diam, duduk di sofa ruang tamu sambil membunyikan televisi keras-keras.

Hari Sabtu itu masih terik ketika sepasang suami-istri itu bergeming di tempatnya masing-masing. Tak ada suara-suara yang terdengar di sana selain wartawan yang memperlihatkan aksi demo para perangkat desa di depan Gedung DPR untuk menolak peraturan baru tentang bengkok.

Prima Yuanita, seorang ibu rumah tangga, penyuka makanan tradisional dan lagu-lagu bertangga nada mayor. Saat ini tinggal di Sragen, Jawa Tengah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif