Lifestyle
Selasa, 24 April 2012 - 09:26 WIB

BIKERS: Balapan Pertaruhan Gengsi dan Uang

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - (Espos/Adib Muttaqin Asfar) PENGGILA MOTOR--Guruh Synto, pemuda asal Blora ini sudah bergelut dengan tim balap sejak remaja hingga langganan di kejurnas.

(Espos/Adib Muttaqin Asfar) PENGGILA MOTOR--Guruh Synto, pemuda asal Blora ini sudah bergelut dengan tim balap sejak remaja hingga langganan di kejurnas.

Jika masih ada yang menganggap hobi motor hanya melulu soal touring dan konvoi, dia harus mengintip ada apa di balik balapan dragrace. Setidaknya balapan ini bisa menjadi gambaran bahwa hobi motor tak selamanya identik dengan arogansi tapi juga bisnis dan prestasi.
Ada banyak kejuaraan nasional dragrace yang menjadi ajang resmi penggila motor berkecepatan tinggi. Ajang ini menawarkan banyak prestise, uang dan tentu saja nama besar. Namun di samping itu ada juga dragrace liar yang menawarkan banyak hal, tapi dengan cara yang berbeda.
“Kalau bicara soal gengsi, jelas menang ajang resmi. Tapi yang liar juga ada gengsinya,” kata Guruh Synto Pradipta alias Gendut, penggila motor yang sempat malang melintang di berbagai balapan, baik resmi maupun liar.
Sejak kelas I SMA di tempat asalnya, Blora, Guruh sudah mengikuti ajang road race di luar jam sekolahnya. Kegilaannya pada balapan ini terus berlanjut hingga kelas III SMA sebelum mengikuti ujian nasional. Namun balapan resmi tak membuat hasrat balapannya terpenuhi 100% hingga kemudian dia sering tampil di balapan liar.
Saat mulai kuliah di UMS pada 2006 lalu, keinginannya untuk membalap masih juga tinggi. Tak jauh dari kampusnya di Pabelan, Kartasura, dia menemukan arena balapan baru. Tempat itu adalah depan RSO dr Soeharso yang lengang di malam hari dan menjadi arena barunya sejak semester II. Baru pada semester IV, Guruh kembali ke ajang kejurnas setelah kemampuannya dianggap eye catching di mata para penggila balap. “Waktu itu diajak ketemu dengan sebuah bengkel. Di sana ada Force One 125 yang sudah jadi,” kenangnya.
Keputusannya untuk kembali ke ajang resmi memang tidak sia-sia. Prestasinya di berbagai arena terbilang lumayan baik. Dia sempat meraih juara IV di Jogja dan juara V di Bantul pada 2008 lalu. Namanya sebagai pembalap pun masih cukup dikenal hingga kini.
Di ajang resmi, menang atau tidak mungkin tidak terlalu jadi masalah. Maklum, orang seperti Guruh tidak perlu membeli sepeda motor mahal buat balapan karena sudah ada kendaraan yang siap pakai. Meski demikian biaya yang sudah keluar tidak kalah mahalnya. Total kini sudah ada Rp30 juta yang dihabiskan untuk memodifikasi Force One tersebut menjadi 116 cc. Semuanya berasal dari kantong pribadi dan sedikit dari sponsor.
Toh, tak ada yang merasa rugi dengan semua itu. Para pembalap dan tim mekanik di belakangnya memang menyukai dunia itu. Mereka terus menerus melakukan riset agar sepeda motornya bisa unggul. Keunggulan dibuktikan di arena balapan, resmi maupun liar. Arena liar pun tidak dapat diremehkan. Meskipun tanpa gelar dan sponsor, balapan tetap ada regulasinya. Bagi pembalap dan mekanik, ini adalah soal penyaluran hobi. Sedangkan bagi bengkel tertentu, ini bisa jadi cara untuk menaikkan pamor mereka.
“Kalau saya sekarang sudah jarang balapan. Paling-paling ikut ngeset motor,” ujar Guruh.
Bagi Guruh, hasratnya terbesarnya kini adalah mengotak-atik sepeda motornya sendiri. Di luar kesibukannya bekerja di sebuah bank daerah, dia punya proyek pribadi untuk mengubah skuter maticnya. Riset pun terus berjalan meskipun menelan biaya mahal dari kantongnya sendiri. “Ini sudah habis Rp1,5 juta, tapi motornya masih terbengkalai di Blora.”

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif