SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Binian Sambal Terasi Minah (Solopos/Istimewa)

Rumah panggung itu dibangun dengan tiang-tiang penyangga. Bubungannya terbuat dari anyaman nipah yang mulai lapuk dimakan usia. Umak, perempuan paruh baya yang selalu memakai tengkuluk itu berjongkok di depan tungku perapian yang disusun dari pengawet kayu akasia. Umak  menggiling sambal terasi.

Beberapa detik sekali, mata keriputnya berhenti menatap periuk yang di dalamnya berlompat-lompat air mendidih. Dari tangga kayu yang turun ke dapur ini, aku melihat dua kelopak mata umak  mengalir ke pipi.  Itu pasti bukan dari asap tungku yang membuat mata umak perih, melainkan rindu pada Abang Atan yang kian menjadi.

Promosi Selamat, BRI Raih Dua Penghargaan di CNN Indonesia Awards Bali 2024

Aku merasa iba melihatnya, namun peristiwa lima tahun silam masih menyalak di hati umak – menjadi mambang di benak.

***

Atan segera menikahi Minah. Rencana pernikahannya digelar Ahad ini. Begitulah kabar yang tersiar di Kampung Segati. Minah, janda beranak lima—perempuan yang acap memakai baju cekak musang itulah yang membikin hati Abang Atan tergila-gila hingga memilih meninggalkan umak sebatang kara.

Terdengar kabar burung, Minah memiliki kesaktian yang dapat memikat hati para bujang. Ihwal ini bermula ketika Minah mendadak kembali pulang ke Desa Segati, Kecamatan Langgam setelah suaminya meninggal dunia kena penyakit ayan.

Kelima anaknya ia titipkan di ibu mertuanya di Desa Rokan. Minah bertemu dengan Abang Atan pada senja temaram di antara rindu yang mendemam. Mulanya ia tak menyangka perempuan bertubuh sintal yang menghadang di persimpangan jalan adalah Minah. Penyebabnya, kiranya sudah lima belas  tahun mereka tak berjumpa.

Minah melempar senyum rekah, sementara Abang Atan melepas pandang berbeda. Tetapi sebelum mereka berpisah, Abang Atan berhenti dan berbalik arah padanya.

“Apa kabar Atan?” tanya perempuan itu dengan sungging senyum bak buah mempolam. Agak lama Abang Atan terpaku. Lalu menjawab dengan bibir ragu, “Kau Minah?” tanyanya.

“Iya, apa kau sudah lupa?”

Ti-tiidak, Minah. Cuma pandanganku saja. Barangkali karena kita sudah lama tak berjumpa.”

Mereka saling pandang-memandang. Namun, dengan cepat Abang Atan memalingkan wajah. Melangkah lebih cepat meninggalkan Minah begitu saja. Tetapi, pikirannya tidaklah begitu adanya. Berbagai pertanyaan bercabang di  kepala.

Hampir sepekan Minah kembali ke Desa Segati. Ia mulai disibukkan menjajakan dagangan ke lekuk kampung dengan sesunggi palasa di kepala. Selain masyhur dikenal masakannya, kata orang, tangan Minah adalah titisan Dewi Dapur. Setiap kali jemarinya menyentuh cobek dan muntu, seketika itu pula sambal  paling nikmat terasa utuh.

Jika Minah mulai menggelar dagangan, orang- orang akan mengantre dan penjual makanan lain akan sepi. Bukan pedas benar yang dirindukan orang, tapi rasanya yang bikin kepayang.

Lambat laun Minah jadi bahan perbincangan. Di kampung kami, memang kebanyakan warga senang mengurusi periuk, tilam, dan galian sumur orang. Ditambah pula kecantikan Minah yang sedari dulu memang melegenda. Meski usianya sudah kepala lima, tetapi pembicaraan kaum jantan masih berputar-putar tentangnya.

Baca Juga: Ngrowot

Tidak jauh berbeda dengan Abang Atan. Bujang tampan yang sedari dulu menanam benih asmara pada Minah. Meski ia tahu Minah sekarang sudah janda, namun putik cinta tetap tumbuh memekar jiwa. Tidak ditampik pula Minah memiliki perasaan serupa. Terlihat dari tingkah lakunya sebelum dipersunting  almarhum suaminya, tiap petang ia tandang ke rumah melanting semangkuk sambal  terasi untuk Abang Atan, kekasihnya.

Pernah ketika senja mereka tertangkap basah  umak sedang memadu kasih di bawah pohon trembesi. Ingatan itu yang terkadang membuat hati umak nyeri karena dengan mudahnya Minah memainkan hati. Apalagi jika diingat ulang kala ia menerima undangan pernikahan Minah. Bagaimana mungkin anak sulungnya datang ke pernikahan yang baginya seperti mata pedang menghujam relung. Hati Abang Atan patah. Sampai detik ini, umak menanam bara dendam begitu agam pada Minah.

Kini, bagai pucuk cinta ulam pun tiba. Tiada kata jengah Abang Atan menemui Minah. Baginya sambal terasi buatan perempuan berparas memesona itu memang tiada duanya, begitu menggeliat di lidah.

Sebenarnya bahan yang digunakan Minah membuat sambal terasi sama saja. Misalnya ulekan bumbu seperti cabai melayu, cabai rawit, bawang merah, terasi goreng, dan gula merah. Barangkali yang membedakannya hanya sebuah balang berisi cairan berwarna merah yang ia simpan di bawah almari.

Cairan itulah yang selalu diteteskan pada ulekan sambal hingga membuat rasa sambal khas Minah menggoda. Tak ada satu pun orang yang tahu terbuat dari apa cairan itu. Tapi kata orang, itulah rahasia bumbu dapur jampi Minah.

Dan pada hari yang mengenaskan, umak benar-benar naik pitam, amuk di hatinya benar-benar tak tertahankan melihat perangai Abang Atan yang enggan pulang seharian, tak ingat mandi, dan tak ingat sembahyang. “Semua ini ulah Minah!” geram umak berang seperti mengeluarkan geretan.

Berhadapan dengan pelanggan, Minah mesti pandai-pandai mengambil hati. Menjaga diri. Kadang pula perilaku mereka gemar mencederai hati. Itulah yang didapati Minah ketika umak mendatanginya lalu memaki.

“Hei, Minah, binian apa yang kau buat sampai Atan tak tahu pulang?” ucap umak berkecak pinggang.

“Aku tak buat pasal apa-apa, Mak. Atan sendiri yang tandang. Barangkali masakan ambo sedap di lidahnya.” jawab Minah apa adanya.

“Memang betino keletah!” sahut umak meradang. Ia berdiri menatap Minah dengan mata nyalang. Cabai-cabai dalam cobek Minah belum lagi lumat seutuhnya,  tapi umak meraupnya dengan tangan telanjang lalu mengusap ke wajah Minah.

***

Di kamar, Abang Atan terus saja merebahkan tubuh telentang. Berhari-hari tak ingin keluar kamar. Ia malu dengan ulah umak dan merasa sangat bersalah pada Minah. Berbagai macam racikan bumbu dapur dibuat umak agar anak jantannya mau makan dan melupakan Minah yang dianggapnya punya ilmu hitam. Tetapi, Abang Atan tidak selera makan.

Badannya kurus kerontang, matanya menghitam. Hanya wajah Minah dan sambal terasi yang selalu terbayang.

Malam itu cahaya bulan redup. Udara gigil mengatup. Pikiran umak nelangsa melihat Abang Atan seperti orang sakit jiwa. Badannya panas garang. Pandangnya kosong dan mengerikan. Tak berpikir panjang, umak menyuruhku memanggil kumantan yang tersohor di Kabupaten Pelalawan.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu menuju rumah kumantan, aku buru-buru melewati pematang yang licin dan berliku. Beberapa kali kakiku terjatuh dalam kubang lumpur yang becek dan bau.

Sesampai di rumah, di tikar nipah, lelaki bertubuh tambun memakai sabuk hitam duduk bersila. Tangannya meraih rokok yang ada di saku celana. Diambilnya sebatang kemudian dinyalakan. Ia menatap Abang Atan begitu tajam, sementara Abang Atan masih melamun diam.

“Siapkan ritual belian,” seru kumantan pada bujang kemayu dan bujang ketabung. Pukul tiga dini hari, peluh mengucur deras di sekujur tubuh kumantan yang sibuk bersemadi. Mulutnya mengunyah sirih. Dibukanya kelopak mata yang sedari tadi terpejam sembari membaca jampi-jampi dengan berbagai mantra yang ia rapalkan.



Kemudian ia berjalan mengelilingi puan dan lancang tangguk alam. Pada  saat itu pula tubuhnya kejang-kejang seperti kerasukan jerambang. Ditatapnya lagi wajah Abang Atan, lalu menyemburkan kunyahan sirih pinang. Seketika Abang Atan terperanjat dan menolak tubuh kumantan sekuat tenaga.

“Kalian gila, benar-benar gila!” ucap Abang Atan marah.

“Sabar anakku, kau akan segera sembuh.” sahut umak tersedu.

“Aku tidak sakit, Mak. Atan segera menikahi Minah, Mak!” Bergegas ia keluar rumah. Tanpa memedulikan umak yang meraung-raung—meratapinya.

Kondisi rumah Minah sepi ketika lemparan kerikil terdengar di jendela kamarnya. Semua lampu telah dipadamkan. Dengan ragu, perempuan itu membukanya. Di bawah sana, Abang Atan berbisik lirih hingga suara itu berbaur dengan burung kenari. Ia memanjat lalu duduk di tepi jendela.

“Mau apa kamu ke sini, Atan?”

“Minah, dengar, aku sangat mencintaimu”

Minah diam. Ia melenggang menjauh dari jendela. Di dipan beralas tikar anyaman, ia menatap Atan dengan kesal. Perempuan itu meletakkan kedua lengannya di dada.

“Lalu kau mau apa ke kamarku malam-malam begini?”



“Aku ingin menikahimu, ikutlah denganku.” sambung Abang Atan memastikan tak ada yang mendengar.

Minah terbelalak. Tak sedikit pun rencana Abang Atan terdengar baik baginya. Tapi, Minah suka dan bunga di relungnya tumbuh bermekaran. Kini mereka saling menatap-bercumbu mesra di antara aroma  bumbu dapur Minah yang menguar di bawah bulan purnama.

Catatan Kaki

Umak: Ibu

Cekak Musang: Baju adat Melayu

Mempolam: Mangga

Ritual belian: Pengobatan tradisional

Binian:Ilmu hitam

Betino: Perempuan



Kumantan: Dukun

Bujang Kemayu & Bujang Ketabung: Pemain gendang dan pengiring nyanyian

Puan dan Lancang tangguk alam: Daun kelapa & batang kelubi yang dibentuk seperti perahu/lancang

Pusvi Defi kelahiran Medan, Sumatra Utara. Sejumlah karyanya telah dimuat di  media, seperti Koran Tempo, Basa-basi,co, dan lainnya. Buku puisinya Mengenang Bumbu Rindu Dapur Inang (2021)



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya