Lifestyle
Selasa, 14 Mei 2024 - 05:11 WIB

Black Dress Era Victoria Ubah Dunia Fesyen di Australia

Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Beragam gaun hitam yang berusia sudah seabad di Old Government House, Parramata, Australia. (Solopos/Rini Yustiningsih)

Solopos.com, SYDNEY — Ratu Victoria Inggris yang berkuasa pada 1819-1901 memberi sentuhan besar dalam dunia fesyen. Pada abad ke-19, black dress (gaun hitam) menjadi warna ikonik suasana berkabung atau sedih.

Sebelumnya, hitam di berbagai belahan negara mempunyai banyak makna. Di bangsawan Spanyol dan Belanda, pada abad 16, hitam melambangkan kekayaan, kemudian di belahan Eropa bad ke-18 hingga awal abad ke-19, hitam melambangkan seni dan romantisme.

Advertisement

Berbeda ketika era Victoria dimulai, termasuk di Australia-yang saat itu menjadi jajahan Inggris. Virus hitam sebagai simbol kedukaan menjalar sampai benua itu.

Black dress tahun 1880 terbuat dari sutera, renda merupakan donasi warga di Old Government House Sydney, Australia. (Solopos/Rini Yustiningsih)

Bermula dari meninggalnya Pangeran Albert suami Ratu Victoria, pada 1861. Sejak saat itu, busana, gaun yang dikenakan Victoria berwarna hitam. Sikapnya ini menunjukkan kedukaan yang amat mendalam.

Lapisan masyarakat jajahan Inggris di berbagai belahan dunia pun turut berkabung dengan mengenakan busana warna hitam. Ini sebagai bentuk penghormatan kepada Rajanya.

Advertisement

Hingga kematian Victoria, 40 tahun setelah kematian suaminya itu, Sang Ratu selalu mengenakan gaun hitam. Makna hitam mengalami pergeseran.

Sejak saat itu bagi para isteri yang ditinggal pergi suaminya, mengenakan busana serba hitam seakan menjadi sebuah “kewajiban”. Mereka mengenakan busana serba hitam minimal selama empat tahun. Tak hanya para janda, demikian halnya dengan orang-orang di sekitar baik pria, wanita, mapun anak-anak.

Mereka mengenakan busana hitam sejak tiga hingga 24 bulan tergantung kedekatan hubungan. Semakin dekat hubungan dengan yang meninggal, maka semakin lama mengenakan warga hitam, termasuk aksesoris pendukungnya.

Advertisement

Sejak saat itu-bahkan hingga kini-hitam sangat melekat dengan warna kesedihan, kedukaan. Di Indonesia pun “virus” black dress saat ini masih ada.

Hitam pada akhirnya menjelma dalam berbagai desain busana. Mantel (coat), jaket panjang (long coat), busana pesta, pakaian memasak, hingga seragam dinas.

Baru pada 1926an, rumah mode Coco Channel mulai menggeser makna hitam–bukan hanya bersifat kedukaan—menjadi elegan dan kesederhanaan. Hitam sebagai warna pakaian wajib yang harus ada di rumah-rumah. Dalam berbagai suasana, dalam berbagai kesempatan atau acara, hitam tak lagi bermakna duka.

Rumah mode tersebut menciptakan gaun hitam selutut dengan siluet T dan model sangat sederhana namun elegan. Desain Coco Channel ini kemudian disebut Little Black Dress (LBD). LBD makin popular ketika artis-artis industri hiburan Amerika mengenakan LBD.

Museum

Ranjang tempat tidur yang digunakan Gubernur Australia dari periode 1800-1847 di Old Government House, Parramatta. (Solopos/Rini Yustiningsih(

Di Australia jejak black dress tersimpan dengan rapi hingga era LBD di museum nasional Old Gorvernment House di Parramatta, New South Wales (NSW) yang beribukota di Sydney. Pada 2010 museum ini masuk dalam warisan budaya dunia Unesco.

Dulunya, rumah di atas lahan 110 hektare tersebut merupakan kediaman 10 gubernur yang bertugas di Australia dari periode 1800 hingga 1847. Namun sebenarnya jauh sebelum itu, rumah (pondok) itu dibangun oleh gubernur pertama Arthur Phillip pada 1788 ketika membuka lahan pertanian di kawasan itu dengan memperkerjakan para narapidana Kerajaan Inggris.

Gubernur kedua John Hunter pada 1799 membersihkan sisa-sisa pondok tersebut dan merenovasinya. Baru mulai 1800, pondok tersebut menjadi “rumah dinas” untuk gubernur Australia.

Di bangunan tersebut terdapat foto-foto, peralatan rumah tangga, furnitur ranjang, kursi, yang digunakan para gubernur dari waktu ke waktu. Bahkan, ruang-ruang yang ada dipertahankan seperti sedia kala. Termasuk perapian, panci, wajan hingga alat tulis yang digunakan masih seperti aslinya. Bahkan beraneka benda setelah periode 1847 juga terdapat di museum itu.

Di lantai 2, bangunan lawas itu terpajang beraneka black dress di era Victoria. Jumlahnya mencapai ratusan. Ada yang tahun 1870an hingga tahun 1970an. Yang terpajang merupakan gaun-gaun hitam berusia 100 tahun ke atas, dengan beraneka model.

“Gaun-gaun ini merupakan donasi dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka secara sukarela. Ada yang berbahan sutera, nilon dan lainnya,” ujar Georgia, petugas Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang menemani rombongan Delegasi Invitiation Media Visit (IMV) Australia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Pemimpin Redaksi Media di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Selasa (30/4/2024).

Gaun-gaun yang lahir di era 1860an di tempatkan di lemari kaca. Sementara yang berusia lebih muda era 1970an-1980an ditempatkan di ruang terbuka. Pengelola museum rencananya akan mengadakan pameran Back to Black pada 24 Mei 2024-10 November 2024.

Black dress terpasang di ruang makan Old Government House, Parramatta. (Solopos/Rini Yustiningsih)

Pameran ini tidak hanya memajang gaun-gaun tempo dulu dari berbagai era.

Termasuk juga gaun-gaun era abad 20an dari berbagai desainer kondang. Yang menarik, ada pula lomba desain yang bisa diikuti mahasiswa.

Back to Black boleh dibilang merupakan gerakan untuk tidak melupakan sejarah namun gerakan untuk menciptakan inovasi.

“Dari sejarahlah bisa tercipta inovasi untuk membangun Australia,” ujar petugas museum.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif