SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Bulan Jatuh (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Harga beras yang terus naik membuat tenggorokan Salma bagai hamparan gurun dalam panggang terik kemarau; kering kerontang dan berdebu. Beruntung rumahnya yang reot dekat dengan sumur. Setidaknya ia bisa minum air sebagai pengganti nasi. Sebentar air itu bisa menghibur tenggorokannya yang kerontang walau ia tak bisa menjawab perutnya yang terus-menerus menginterupsi dalam bentuk rasa perih.

Kepala dusun yang sudah biasa tahan malu dengan sengaja mencoret nama Salma dari daftar penerima bantuan hanya karena ia ketahuan memilih rival kepala desa terpilih saat pilkades tahun lalu. Nasib Salma semakin lantak, tak seperti tetangganya yang menerima bantuan walau disunat sebesar 200.000 rupiah dengan alasan administrasi.

Promosi Perkuat Kapabilitas Digital, BRI Gandeng Tencent Cloud dan Hi Cloud Indonesia

Orang-orang kampung yang mengerti akan kongkalikong itu kadang mengumpat, “Anjing! Andai administrasi punya tubuh pasti ia akan membunuh orang-orang yang sering dengan sengaja menggunakannya sebagai topeng untuk melakukan pungli.”

Tapi toh meski disunat, tetangga Salma masih bisa tersenyum saat dua lembar kertas bergambar sepasang proklamator itu dimasukkan kantong. Perutnya sudah terasa kenyang, berharap bulan depan bantuan itu cair lagi sebagaimana harapan kepala dusun agar bisa menyunat lagi.

“Kapan kita bisa makan dengan normal, Bu?” tanya Rudi, anak Salma, suaranya lirih dan gemetar seperti menahan lapar. Suara itu terdengar bagai derit pohon patah di balik daun pintu rumahnya yang rusak.

Apa yang diucapkan anaknya bagi Salma bukan sekadar pertanyaan, tapi lebih serupa belati yang menusuk-nusuk dadanya, terlebih saat dirinya tak lagi punya beras, juga tak punya uang, menjalani hari dengan makan gaplek. Itu pun hanya sekali, sedang sisanya bisa cukup dua kali untuk anaknya meski kadang anaknya harus batuk-batuk dan susah buang air besar.

“Ibu kok tidak menjawab? Ayo jawab, Bu!”

Salma tersenyum, ia lantas jongkok. Memegang kedua bahu Rudi dan beradu tatap walau ia merasa kedua matanya telah lebih dulu basah, membuat hilir kecil yang membutir jatuh menerjuni pipinya yang tirus dan muram.

Telapak tangan kanannya membelai pipi Rudi—satu-satunya kelembutan paling berkesan di balik kenyataan hidup yang teramat kasar.

“Jawab, Bu!”

“Kita akan makan normal sebentar lagi. Ketika bulan sudah jatuh di atap rumah kita.”

Salma tersenyum. Rudi mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Ia lalu mendongak pelan. Menatap atap rumahnya; helai-helai rumbia yang dirajut tali rafia yang sebagian mulai putus—tak lagi tertata rapi di atas bentang usuk bambu yang beberapa potong sudah ceking oleh lumatan rayap. Atap yang telah berantakan sebagaimana nasibnya.

#

Usai Salat Subuh, saat Rudi masih tidur, sebagaimana biasa Salma sibuk menyediakan kukus gaplek berpupur parutan kelapa, ditakar takir daun pisang, dan seporsi lain ia taruh di piring karet bertubir pecah.

Yang dibungkus daun kemudian dia masukkan ke tas Rudi sebagai bekal dan pengganti jajan saat ia ke sekolah. Sedang yang di piring sebagai makan pagi Rudi sebelum berangkat ke sekolah.

Sebelum Rudi bangun, Salma sudah menempuh kelok kasar jalan kampung yang dipenuhi batu-batu bersiku juga rumput setinggi lutut yang kerap menggesekkan basah dan gatal ke betis Salma. Melawan dingin dan gelap, dia menuju ladang singkong milik Sahmo.

Ia bekerja mencabut singkong dan memotongnya ke dalam karung hingga Azan Zuhur tiba. Upah yang ia terima bukan uang, tapi setengah karung singkong. Singkong-singkong itulah yang ia jemur untuk dijadikan gaplek sebagai pengganti nasi demi menyambung hidup.

Bekerja di ladang Sahmo bukan pekerjaan mudah. Selain diterkam terik atau hujan, Salma juga kerap nyaris dipatuk ular dan lipan, sedang tangan dan kakinya hampir setiap hari berdarah oleh goresan duri. Sudah begitu, ia juga kerap mendapat perlakuan kasar dari Sahmo.

Adakalanya wajah Salma harus menahan rasa sakit ketika Sahmo melemparinya dengan batang singkong. Andai ada pekerjaan lain, ia sebenarnya ingin pindah dari ladang itu. Tapi, hanya itu satu-satunya pekerjaan yang bisa ia dapat.

Setiap mengingat nasibnya saat bekerja, Salma bakal menangis dalam hati. Ada yang jauh lebih sakit daripada digores duri, ia lantas teringat almarhum suaminya. Andai suaminya masih ada, mungkin nasibnya tak sebegitu parah. Setidaknya Salma masih bisa bernapas lega walau dalam cekik kemiskinan. Tapi, suaminya sudah meninggal. Ia terjatuh dari pohon siwalan saat bekerja memotong daun siwalan milik Haji Amir.

#

Malam itu nyaris tak ada angin. Rimbun dedaunan khusyuk bersandar senyap. Bulan purnama bagai tampah emas pamer rupa di cekung lanskap; antara puncak Gunung Semo dan banjar rapi pucuk-pucuk kelapa.

Salma dan Rudi baru pulang dari acara peringatan Nisyfu Sya’ban di surau. Tersisa genggam lembut tangan-tangan orang yang bersalaman bermaaf-maafan. Teduh bagai cahaya purnama yang membingkai warna kuning di punggungung jalan yang ditapaki.

“Bulannya indah ya, Bu!” ungkap Rudi sambil menjilat permen lolipop bertangkai karet putih—satu dari jenis jajanan anak-anak yang dibagikan para orang tua sehabis acara Nisyfu Sya’ban. “Iya. Ini malam pertengahan Bulan Sya’ban, malam yang penuh ampunan.”

“Bulan yang akan jatuh ke atap rumah kita kapan, Bu?” Rudi menghentikan langkah, membalikkan badan menghadap wajah Salma. Salma tersenyum, “Kenapa kamu selalu bertanya bulan itu?”

“Kata ibu di saat itulah kita bisa makan nasi. Sudah tak enak lagi makan gaplek, Bu!”

“Tenang, Nak! Sudah tinggal 15 hari lagi.”

“Lima belas hari lagi kan Bulan Ramadan, Bu!”

“Nah, di saat itulah bulan itu akan jatuh ke atap rumbia kita.”

Sejenak Rudi memicingkan mata ke arah bulan purnama, seperti sedang ada yang belum dimengerti, dijilatnya berkali-kali permen lolipop hingga tampak terus mengecil.

“Kalau jatuh di atap rumah kita, apa tidak berbahaya, Bu? Apa kita tidak mati?”

Salma menggelengkan kepala. “Justru kita akan bahagia.”

#



Di pengujung Bulan Sya’ban, Rudi selalu bangun dini hari, diam-diam ia turun dari tubir ranjang, bergerak pelan tanpa suara, agar Salma tidak terbangun karena Rudi tahu sebentar kemudian ibunya harus bangun untuk memasak gaplek lalu pergi bekerja ke ladang.

Rudi mendekati dinding rumah gedeknya pada bagian yang bercelah. Kemudian dengan sebelah mata ia mengintip keluar, menyorot langit timur dengan penuh teliti, menatap bulan tanggal tua yang terus menipis, seraya berharap Bulan Ramadan segera datang.

“Kata ibu, setelah Ramadan tiba, bulan akan jatuh di atap rumah ini dan pada saat itulah kami bisa makan nasi. Mungkin bulan itu yang akan mengantar beras kepada kami. Sejak beras naik, kami sudah tak makan beras lagi. Tak punya uang untuk beli beras. Bantuan beras di balai desa diarahkan ke orang-orang tertentu yang di pilkades tahun lalu memilih Pak Subhan. Sedang ibu katanya memilih Pak Kadir, akhirnya ibu tak mendapat bantuan. Hm, ternyata bantuan beras bukan untuk orang miskin, tapi untuk orang-orangnya kepala desa.”

Baca Juga: Istana Putri Duyung

Rudi bergumam, bertopang dagu di meja kusam dekat dinding. Sesekali ia tekan perutnya yang kerap berbunyi, menahan rasa lapar.

Di siang hari, ia juga sering mendatangi beberapa tetangganya. Bertanya penghitungan mundur Bulan Sya’ban. Intinya ingin segera tiba Bulan Ramadan.

“Kenapa ingin cepat-cepat Bulan Ramadan, memang kamu sudah mampu berpuasa ya?” tanya salah seorang tetangganya.

“Tentu saja saya mampu. Dari dulu saya kan sudah terbiasa lapar. Tapi, yang membuat saya sering bertanya kapan Bulan Ramadan tiba sebenarnya bukan itu.”

“Lantas karena apa?”



“Karena ketika Bulan Ramadan tiba, bulan akan jatuh di atap rumah saya.”

“Hahahaha!” tetangganya itu tertawa nyaring, panjang, terpingkal-pingkal.

#

Saat tiba Bulan Ramadan, Rudi girang melompat-lompat. Malam pertama Tarawih, ia datang ke masjid sebelum Azan Magrib berkumandang. Wajahnya berseri-seri. Ada harapan dalam hatinya yang terasa sebentar lagi bakal tercapai; bulan yang akan jatuh di atap rumahnya. Tapi, sebenanrnya bukan itu yang ia nantikan. Ia lebih menginginkan makan nasi. Ia sudah lama merindukan bunyi gesek centong saat mengeruk nasi di dasar panci, rindu nasi terhidang berasap tipis dan sedikit menguar aroma pandan yang dicampurkan, juga hal lain yang berhubungan dengan nasi dan segala kenikmatannya.

Hari-hari Ramadan terus berlalu. Beberapa tetangganya banyak yang mengantar makanan menjelang buka puasa. Bahkan ada yang mengantar di saat sahur. Juga ada yang mengantar beras. Sejak hari pertama puasa, Rudi dan Salma sudah bisa makan nasi pemberian orang-orang.

Seiring berjalannya hari, beras pemberian tetangga dan kerabatnya kian menumpuk. Harus dikemas dalam karung. Ada yang disimpan dalam ember karet besar. Rudi baru merasa betapa nikmatnya makan nasi.

“O, ya, Bu! Sampai saat ini masih belum ada bulan yang jatuh ke atap kita. Tapi, beras sudah banyak dan kita sudah bisa makan nasi. Kapan kira-kira bulan itu akan jatuh, Bu? Jika bisa, ayo kita doakan agar bulan itu tak jadi jatuh,” tutur Rudi sambil menampakkan wajah semibingung kepada Salma.

Salma memeluk anak satu-satunya itu, lalu mengecup lembut kening mungilnya.

“Dengan datangnya Bulan Ramadan, itu sama artinya seolah kita sudah ketiban bulan yang jatuh ke atap rumah. Banyak orang yang mengantar beras dan makanan kepada kita sehingga kita dapat makan nasi sebagaimana tetangga,” jawab Salma dengan kedua telapak tangan membelai pipi Rudi sedang kedua matanya merembes butiran bening.



Rudi bergeming dengan bibir rapat terkunci, tapi sepasang matanya tampak cemerlang, berharap agar Bulan Ramadan tak lekas pergi dan menjatuhkan bulan berkali-kali.

Gaptim, 2024

 

A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, 20 Juli 1988. Karya-karyanya dimuat di Kompas, Tempo. Jawa Pos, MAJAS, dan lainnya.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya