SOLOPOS.COM - DARI KAMPUNG-Tri Suryo Kuncoro dan beberapa rekannya sesama alumni Arsitektur UNS menggarap pelestarian cagar budaya berbasis kampung.

DARI KAMPUNG-Tri Suryo Kuncoro dan beberapa rekannya sesama alumni Arsitektur UNS menggarap pelestarian cagar budaya berbasis kampung. JIBI/SOLOPOS//Adib Muttaqin Asfar

Heritage bukan hanya soal bangunan tua, tapi juga budaya atau perilaku masyarakatnya. Solo dinilai sebagai kota yang memiliki kekayaan budaya itu di tengah arus modernisasi. Kekayaan itu ada di kampung-kampung kecil yang padat di pinggiran kota.
“Di Jakarta, kampung sudah sulit dipertahankan karena masyarakatnya yang terlalu majemuk. Tapi di Solo, masyarakatnya masih menjaga silaturahmi,” ujar Tri Suryo Kuncoro, salah satu pegiat Komunitas Kampung Kita saat ditemui di rumahnya, Minggu (19/2/2012) lalu.
Kekayaan budaya itulah yang menarik Suryo dan rekan-rekannya untuk ikut berperan menjaga kampung dan potensinya. Sama halnya dengan bangunan tua, kampung pun terancam jika dibiarkan begitu saja. Berawal dari hobi bersepeda, Suryo dan rekan-rekannya, termasuk Dian ABS (Komunitas Onthelis Solo) menyusuri sudut-sudut kota termasuk kampung-kampung pinggiran. Mereka menemukan bahwa kampung-kampung seperti Potrojayan (Serengan), Jagalan dan Gandekan memiliki potensi yang sama besarnya dengan kampung-kampung batik. Sayangnya potensi itu nyaris punah karena tak ada perhatian pemerintah.
“Potrojayan itu kampung pembuat blangkon, sedangkan Gandekan itu pernah dikenal sebagai sentra perajin sandal kulit. Tapi sekarang tinggal satu perajin yang bertahan,” terang Suryo.
Beberapa orang rekannya menggarap pemberdayaan di Potrojayan dan Jagalan, sedangkan Suryo dan tiga rekannya berkonsentrasi di Gandekan. Dari jalan-jalan dengan sepeda itulah mereka menemukan Ny Suyamto, perajin yang masih bertahan. Mereka mampir dan mendekatinya.
Dari wawancara yang dilakukan, mereka jadi tahu mengapa kerajinan sandal kulit itu kolaps pada 2007. Semua ini terjadi karena membanjirnya sandal murah asal China dan mereka gagal bersaing. Produk Ny Suyamto yang masih bertahan itu juga tak dikenal oleh orang Solo, tapi justru dikenal sebagai produk Jogja.
Suryo dan rekan-rekannya menawarkan diri untuk membantu pemulihan usaha itu. “Yang kami lakukan adalah membranding sandal itu.”
Proyek nol rupiah itu dimulai dari Facebook. Produk-produk sandal kulit itu diprotret dan gambarnya dimasukkan ke akun Facebook untuk menerima tanggapan. “Tanggapannya banyak sekali, ada yang bilang pernah melihatnya, ada yang bilang itu buatan Jogja dan sebagainya.” Intinya mereka yakin bahwa sandal ini punya potensi pasar yang besar.
Dari situlah mereka membuat fan page sandal dengan merek SBY (Sandal Bu Yamto). Bukan hanya di promosi, mereka pun membantu perbaikan kualitas produk sandal itu. Dari ukurannya yang dulu tidak standar, kini semuanya sesuai standar ukuran sandal. Suryo dan rekan-rekannya juga membantu berjualan di Pasar Ngarsapura. “Dulu paling habis satu kodi saja, tapi sekarang bisa habis tiga kodi bahkan habis.”
Kini perajin sandal itu sudah dilepaskan dari pembinaan agar mereka bisa mandiri. Sementara itu, Suryo dan rekan-rekannya juga masih merencanakan pemberdayaan di kampung lain meskipun tanpa bantuan dana dari manapun.
Kampung Kita sebenarnya telah dideklarasikan sebagai komunitas pada 2011 lalu oleh beberapa akademisi UNS, Trisakti serta beberapa arsitek asal Bandung. Selanjutnya para mahasiswa arsitektur itu ingin membuat laboratorium hidup dan melibatkan para alumni. Suryo dan Dian ABS adalah salah satu di antaranya.
Kampung Gandekan baru satu dari banyak cita-cita tentang masa depan Solo yang berbasis kampung. Menurut mereka, budaya kampung di Solo adalah aset yang harus dipertahankan meskipun dianggap kumuh dan kotor. Baru-baru ini mereka memenangkan sayembara rencana masa depan kawasan Jl Bhayangkara. Salah satunya mereka merencanakan kawasan itu bebas dari kendaraan bermotor selain bus. Penumpang yang turun dari bus hanya diberi tiga pilihan, yaitu jalan kaki, naik sepeda atau naik becak. Semua ini tak lepas dari keinginan mengembalikan Solo lama yang hijau.
“Kalau kita bicara tentang kota, sejarah kota ya kampung. Dan transportasi kota yang humanis itu adalah sepeda.”

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

 

JIBI/SOLOPOS/Adib Muttaqin Asfar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya