SOLOPOS.COM - Heru "Mataya" Prasetya di kantornya, Minggu (19/2) lalu. Sejak 2006 dia menjadikan pasar dan kampung tua sebagai panggung keseniannya.

Heru "Mataya" Prasetya di kantornya, Minggu (19/2/2012) lalu. Sejak 2006 dia menjadikan pasar dan kampung tua sebagai panggung keseniannya. JIBI/SOLOPOS/Adib Muttaqin Asfar

Jika dibiarkan begitu saja, cagar budaya fisik pelan-pelan hilang begitu saja, entah karena usia atau karena tangan pemilik modal. Tapi penyelamatan itu memang butuh biaya besar.
“Kita terus bicara tentang pelestarian, tapi apa yang bisa kita lakukan?” kata Heru “Mataya” Prasetya, pendiri Mataya Art and Heritage, Minggu (19/2/2012) lalu.
Sadar bahwa pelestarian itu tak bisa menunggu terkumpulnya uang miliaran rupiah, Heru pun mulai bergerak. Sejak 2006 lalu, Heru mencoba keluar dari kandang para seniman. Jika dulu pergelaran pentasnya selalu berkutat pada Taman Budaya Surakarta (kini TBTJ) dan Teater Besar ISI Solo, kini dia mendobrak kebiasaan itu dengan menjadikan pasar tradisional dan gang-gang kampung sebagai panggung seninya.
Di Solo, Heru memang dikenal sebagai organizer event seni dan budaya. Bukan hanya karena dia telah berkecimpung dalam dunia pertunjukan sejak kuliah, namun karena kecintaannya pada cagar-cagar budaya di Solo, termasuk yang berbentuk fisik. Salah satu lokasi panggung favoritnya adalah pasar tradisional dan kawasan tua.
“Selama ini orang bicara renovasi, padahal waktu terus berjalan. Harus ada gerakan dan gerakan itu adalah kesenian,” katanya.
Pada 2006, upaya itu telah dimulainya di Kampung Batik Kauman. Jauh sebelum proyek revitalisasi Kampung Batik Kauman itu dilakukan, Heru dan kawan-kawannya telah berani menampilkan kawasan itu sebagai kawasan potensial. Memanfaatkan lorong-lorong sempit dan beberapa rumah tua, Heru menggelar sebuah festival tari dalam Temu Koreografer Wanita 5. Sebelumnya belum pernah ada pergelaran seni yang dilakukan di ruang-ruang padat penduduk, apalagi kawasan kampung yang belum tersentuh revitalisasi.
Sebelum pergelaran dimulai, Heru mengajak para seniman tari itu melihat sendiri kampung batik yang dulu sempat tak terurus. Turun di Jl Slamet Riyadi, rombongan itu diajak menjelajahi lorong-lorong kampung sempit yang akan jadi panggung mereka. “Panggungnya ya lorong-lorong itu, sedangkan workshopnya kami tempatkan di sebuah rumah tua di sana.”
Dari Kauman, Heru terinspirasi untuk melanjutkannya di tempat-tempat serupa di Solo. Sebelum ramai-ramai tentang renovasi gedung DHC 45, Beteng, dia dan timnya telah berupaya mempromosikan gedung itu dengan menggelar Solo Dance Festival pada 2007 lalu. Seperti di Kauman, Heru memanfaatkan bagian dalam kompleks gedung sebagai lokasi pertunjukannya. Terakhir, Mataya terlibat dalam Festival Jenang Solo (FJS) yang digelar di kawasan Ngarsapura.
Beberapa event, termasuk FJS, membuktikan bahwa Heru menaruh perhatian besar pada pasar-pasar tradisional. Hal ini tidak lepas dari keprihatinan bahwa pasar tradisional akan tergerus pasar modern jika dibiarkan. “Orang boleh bilang bahwa pasar tradisional itu kumuh, padahal sebenarnya pasar itu pusat budaya,” kata Heru.
Dulu, pasar tradisional adalah pusat segala macam kesenian selain tempat jual beli. Di sana ada berbagai pertunjukan gamelan dan tari yang sengaja digelar untuk menarik para pengunjung. Namun seiring perjalanan waktu, kebiasaan itu lama-lama tergerus dan hilang sama sekali. “Justru upaya seperti ini diadopsi oleh mal. Di sana ada banyak band, musik dan sebagainya. Maka orang pun berpaling ke mal.”
Inilah salah satu tujuan Heru saat dia menggelar pertunjukan budaya di Pasar Gede, Pasar Legi atau Triwindu. Tanpa miliaran rupiah, dia ingin menyadarkan masyarakat untuk mengembalikan kawasan-kawasan itu seperti aslinya dan menghidupinya.

Promosi Klaster Usaha Rumput Laut Kampung Pogo, UMKM Binaan BRI di Sulawesi Selatan

JIBI/SOLOPOS/Adib Muttaqin Asfar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya