Lifestyle
Jumat, 4 Maret 2022 - 07:15 WIB

Cara Memantapkan Bakat dalam Empat Babak Kehidupan

Damar Sri Prakoso  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Banyak orang terpuruk, padahal berbakat. Teman-temannya dapat meniti karier semakin baik, sementara dia tertinggal. Ada-ada saja masalah yang harus dihadapi, bahkan kadang berulang dari itu ke itu juga.

Untuk keluar dari problem itu kita perlu memantapkan arah kehidupan. Caranya bisa meniru tokoh yang sukses. Tak perlu malu meniru seorang tokoh yang unggul. Bagaimanapun di ujung pencapaian kita akan menjadi diri sendiri, karena manusia memang dicandra dalam Al-Qur’an sebagai al-fardu (individu) dan al-mar’u (seseorang).

Advertisement

Menurut K.H.M. Dian Nafi’, banyak sekali tokoh hebat yang patut ditiru. Kita bisa memilih, misalnya Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, yang sering kita sebut dengan Imam Ghazali. Beliau hidup pada 450-503 H (1058-1111 M), sudah lewat sembilan abad yang lalu. Hebatnya, karya-karya ulama ini eksis sampai sekarang.

Jalan hidup tokoh ini memuat contoh cara-cara memantapkan bakat yang lengkap. Di babak pertama, awal kehidupan, beliau mencari bekal hidup. Fokusnya adalah belajar, membangun kepribadian, menambah keterampilan, memperluas wawasan, merintis relasi dengan para pendidik yang teruji, dan menajamkan penalaran untuk keterbukaan berpikir.

Advertisement

Jalan hidup tokoh ini memuat contoh cara-cara memantapkan bakat yang lengkap. Di babak pertama, awal kehidupan, beliau mencari bekal hidup. Fokusnya adalah belajar, membangun kepribadian, menambah keterampilan, memperluas wawasan, merintis relasi dengan para pendidik yang teruji, dan menajamkan penalaran untuk keterbukaan berpikir.

“Di sini bakat untuk menyerap ilmu dan pengalaman sangat menentukan. Bakat ini memampukan pemiliknya untuk melihat kehidupan dunia dengan sudut pandang keilmuan. Ini modal pokok untuk berkebiasaan nalar, objektif dan kreatif, cocok untuk kehidupan duniawi yang memang bergulir dinamis,” terang pengajar Pesantren Mahasiswa Al Muayyad Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo, ini, Kamis (3/3/2022).

Di babak kedua, lanjut Dian Nafi’, mulai usia 20 tahun, beliau mencari hidup. Fokusnya adalah (a) bekerja, mencari nafkah yang sah, halal dan bermartabat; (b) berumah tangga, memenuhi fitrah sebagai suami yang bersetia kepada istri; (c) memiliki rumah, sebagai tempat tinggal, mengamankan keluarga, mendidik anak, dan menjaga harga diri; dan (d) menemukan pilihan jelas di dalam pilihan profesi, pekerjaan, dan karier.

Advertisement

Bekal keilmuan itu harus beliau wujudkan dalam bentuk pembelajaran yang memudahkan para murid untuk belajar. Maka, keahlian beliau tidak berhenti sebagai teori, melainkan silabi (isi kurikulum) yang cocok untuk penyiapan bakal calon aparatur negara yang berhak menyandang senjata.

Sampai tahap ini saja beliau sudah semakin mapan. Perannya lengkap, sebagai suami, ayah, dan pendidik. Tanggung jawab pribadinya semakin nyata mengarah kepada kesejahteraan keluarga. Lebih dari itu beliau tekun menyiapkan para murid untuk menjadi warga terbaik.

Tujuannya, agar mereka menjadi aparatur negara yang baik pula. Dengan kemapanan hidup inilah semua kewajiban dalam rukun Islam dan semua fardlu ‘ain terlaksana sesuai dengan waktunya. Beliau kukuh sebagai individu muslim. Keseimbangan karier dan psikologisnya bertemu dengan kematangan sosial dan spiritual.

Advertisement

“Saat usia masuk 30 tahun, beliau fokus di babak ketiga, yaitu menata hidup. Saat itu beliau diangkat menjadi dosen Universitas Nidhamiyah di Bagdad. Ini bukanlah universitas biasa yang kita kenal sekarang, melainkan sebuah universitas utama untuk satu negeri,” imbuh Dian Nafi’.

Tugasnya menuntut kerja tim yang lebih mumpuni karena lembaga pendidikan tinggi ini dihajatkan untuk menyiapkan administrator di pemerintahan Nidhamul Mulk. Bakat keilmuan beliau semakin terasah lengkap. Banyak sekali karya ilmiah beliau hasilkan dari bidang filsafat, ushul fiqh, hadis, tasawuf, pendidikan dan kepemimpinan di tahapan ini.

“Di periode ini beliau memperoleh promosi sebagai guru besar. Itu pangkat keilmuan yang sangat tinggi. Tantangan-tantangan yang harus beliau hadapi bertambah. Semua harus diurus secara lebih sistemik dan manajerial, apalagi sejak beliau diangkat menjadi Wakil Rektor,” Dian Nafi’ menambahkan.

Advertisement

Bakat beliau untuk bekerja secara lintas disiplin ilmu terasah. Segi-segi keilmuan harus menyatu dengan segi manajerial dan kepemimpinan. Bakat beliau menguat seiring dengan bertambahnya para pemangku kepentingan yang harus diperhatikan. Tak bisa tidak, beliau terkondisi untuk menjaga perilakunya sebagai pribadi sekaligus pejabat.

Di babak keempat, beliau fokus untuk menyelamatkan kehidupannya. Agenda pokoknya ada empat, yaitu (a) kembali ke desa asal untuk memperkuat kebaikan-kebaikan masyarakat percontohan; (b) membasiskan kegiatan ekonomi di kawasan tinggalnya dengan pertanian organik; (c) mendirikan ribath, semacam pondok pesantren yang khusus untuk perbaikan akhlak; dan (d) aktif membimbing kader ulama dan pengemban tugas publik.

Menurut Dian Nafi’, dalam banyak sumber disebutkan Imam Ghazali sabar dalam memantapkan bakatnya. Semua dijalani berjenjang. Awalnya sederhana, dalam lingkup individual. Perhatiannya adalah peningkatan prestasi dan kebaikan diri, keluarga, serta klien.

Pada fase ketiga, aktualisasi bakatnya bermanfaat bagi para pemangku kepentingan dalam lingkup lebih luas dan tingkatan yang lebih tinggi. Di fase keempat, setelah pensiun, beliau mengutamakan untuk serius membimbing kelompok percontohan yang meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.

Karya Imam Ghazali yang legendaris, Ihya ‘Ulum ad-Din, ditulis saat beliau berusia 40 tahun. Artinya, beliau sudah pensiun dari karier formal di universitas. Menilik isinya, kita bisa menyebut kitab hebat itu memuat proposal untuk memantapkan bakat manusia. Bakat mantap jika dikuatkan sejak mencari bekal hidup, mencari hidup, menata hidup, sampai menyelamatkannya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif