SOLOPOS.COM - BAJU JEPANG -- Cahya menunjukkan baju Jepang karyanya di rumahnya di Mojosongo, Solo. (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

(Solopos.com)- Kepingin baju gaya Jepang yang biasa dipakai karakter-karakter di komik atau film? Tidak perlu jauh-jauh karena ternyata di Solo sudah ada penyedianya. Sang pengusaha, Cahya Surya Harsakya, ternyata punya cerita unik soal bagaimana dia bisa terjun di bidang usaha itu.

Suatu hari, kata dia berkisah pada Espos, dirinya dimintai tolong oleh budhe-nya yang kebetulan seorang guru, untuk membantu membuatkan baju khas Jepang, kimono. Baju-baju kimono itu akan disewakan kepada muridnya di salah satu SMA di Solo. Berawal dari sekadar membantu itu, mengalirlah order baju kimono yang juga datang dari murid-murid di SMA tersebut.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

BAJU JEPANG -- Cahya menunjukkan baju Jepang karyanya di rumahnya di Mojosongo, Solo. (JIBI/SOLOPOS/Sunaryo Haryo Bayu)

Cahya Surya Harsakya, adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Solo jurusan TV dan Film. Dengan mengambil konsentrasi di Art Department kemampuannya membuat desain baju kimono dan baju Jepang lainnya pun bisa diandalkan. Di Perum PKPN No 8 RT 3/RW 32, Mojosongo, Solo, ia memulai usahanya. “Di awal, saya tidak terpikir bahwa membuat baju kimono punya prospek bisnis. Apalagi, sekarang model baju kimono itu sedang tren. Dari sekadar membantu, kemudian saya dapat order. Tidak hanya kimono, tapi juga jubah Akatsuki (salah satu tokoh dalam film Naruto), dan berkembang pada usaha pembuatan harajuku atau pakaian komunitas Jepang,” kata Cahya.

Cahya mengatakan, selama dua tahun mengomersialkan kemampuan membuat desain kostum Jepang tersebut, kapasitas produksinya masih sangat terbatas. “Meski pesanan banyak dan terus mengalir dari anak-anak SMA, kapasitas produksinya sampai saat ini masih terbatas. Khusus baju kimono, selama dua tahun ini saya baru buat sekitar 20 stel baju kimono plus obinya.” Tapi, untuk jubah dan jumper Akatsuki, ia sudah memroduksi cukup banyak.

Ia mengatakan, untuk menjahit baju kimono, jumper dan jubah Jepang tersebut, terbilang rumit. Hal itu yang membuat kapasitas produksinya terbatas. Satu baju kimono mungkin bisa selesai dalam waktu sepekan. Produksi jumper berkisar 10 item per bulan, jubah berkisar dua sampai tiga item per bulan. “Sementara ini yang menjahit hanya Ibu saya. Belum ada tenaga kerja tambahan. Ada tenaga kerja tapi hanya untuk membordir dan memotong kain,” ujar Cahya, yang bercita-cita membuka distro pakaian Jepang.

Diakuinya, bisnis pembuatan baju Jepang itu cukup menguntungkan. Apalagi, kalau ada kontes atau ajang pameran komunitas Jepang. “Pesanan baju kimono pasti akan mengalir.” Ia yang membuka pasaran di Night Market Ngarsopuro ini pun mengaku penjualan selalu laris manis. “Katakanlah untuk jumper Akatsuki itu bisa lima item semalam.”

Soal harga, Cahya menjual satu item jumper pada kisaran harga Rp 75.000 sampai Rp 120.000. Sementara, jubah Akatsuki dipatok pada kisaran harga Rp 150.000 hingga Rp 250.000 per item. Dan kimono dipatok pada kisaran harga Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per stel.

Hijriyah Al Wakhidah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya