SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Cerita yang mengalir

Solopos.com, SOLO—“Kaleng susu cokelat itu bermula dari sebuah pabrik yang didistribusikan ke toko-toko kecil di seluruh penjuru Indonesia. Seorang ibu rumah tangga membeli untuk putranya yang begitu menyukai susu cokelat. Saban pagi, sebelum berangkat sekolah, si ibu akan menuangkan krim susu cokelat itu ke sebuah gelas, menambahkan air hangat, dan mengaduknya sampai merata. Lalu, bocah itu akan meminumnya setelah menyantap sarapan paginya yang dibuat dengan penuh kasih sayang oleh ibunya. Begitu kaleng itu kosong, si ibu akan melemparkannya ke tempat sampah lalu membuang isi tempat sampah itu ke sungai di belakang rumahnya yang mengalir deras ke arah utara. Kaleng itu akhirnya sampai ke sungai di depan kita dan terus terbawa arus menuju entah ke mana lagi.”

Maya, mahasisiwi yang ber-KKN di desa kami, selalu memberikan cerita-cerita semacam itu di warung ibuku ketika dia sedang mengaso bersama teman-temannya.

Promosi Waspada Penipuan Online, Simak Tips Aman Bertransaksi Perbankan saat Lebaran

Aku senang mendengar cerita-ceritanya tentang asal-usul sampah-sampah yang terbawa arus di sungai yang ada di samping warung ibuku meskipun sebenarnya aku tahu bahwa cerita-cerita itu tak lebih dari sekadar karangannya; mustahil dia benar-benar mengetahui setiap cerita yang terkandung dari setiap sampah di sungai, kecuali dia seorang cenayang.

Cerita-ceritanya selalu disampaikan dengan cara yang enak didengar. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjadi demikian, ini hanya soal intuisi atau hal semacam itu.

***

Sungai di samping warung ibuku adalah sungai yang cukup besar dan dalam. Sungai itu pernah meluap di masa lalu, ketika aku masih kecil. Selain karena sungai itu masih dangkal dan curah hujan yang begitu tinggi waktu itu—tiga sampai lima hari hujan selalu turun—juga karena sampah-sampah dari penduduk desa yang dibuang ke sungai membuat aliran air tersumbat sehingga air tidak punya pilihan lain selain meluap dan masuk ke permukiman warga, membuat kami mengungsi ke desa sebelah atau tempat pengungsian lain yang telah disediakan oleh para relawan.

Perlu sekitar satu minggu sampai banjir surut. Lalu, mobil-mobil pengeruk tanah didatangkan entah dari mana untuk memperdalam sungai agar tidak terjadi lagi banjir di masa depan.

Air sungai berwarna cokelat dan terkadang terlihat seperti ada minyak yang mengalir bersamanya. Selain ikan-ikan yang mulai jarang, sungai ini juga menjadi jalur pelayaran sampah-sampah rumah tangga: piring plastik, botol air mineral, ban dalam sepeda, kaus bekas yang sudah robek di sana-sini, sepatu yang solnya sudah terlepas dan hanya sebelah, sandal jepit, kantong plastik dengan isi kertas minyak, styrofoam, gelas air mineral, sendok plastik, dan sebagainya.

Terkadang ada bangkai ayam atau bebek yang mungkin mati, entah oleh penyakit atau hal lain, dan belum sempat disembelih oleh pemiliknya, yang mengambang pucat, dikerubungi lalat dan bernga. Di lain hari, bangkai tikus yang berwarna hitam dan menjijikkan mengambang.

Ketika melihatnya, aku berharap tikus yang mengambang itu adalah koruptor yang mati mengenaskan karena diamuk massa dan begitu napasnya telah habis, dia berubah wujud menjadi bangkai tikus dan dibuang ke sungai begitu saja oleh orang-orang yang menghajarnya tadi tanpa sedikit pun rasa bersalah. Sesekali, aku coba mengarang cerita sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Maya. Berbeda darinya, aku menyimpan cerita ini sendiri.

“Kaus yang sudah robek itu,” kata Maya suatu hari ketika sebuah kaus terlihat mengambang bersama beberapa sampah lain, “Pernah dikenakan oleh seorang demonstran. Dia menyuarakan ide-ide yang membahayakan kekuasaan rezim. Dia kemudian diculik, dihajar sampai babak belur. Dia berusaha melarikan diri, tapi petugas yang menyiksanya, mencengkeram kausnya sampai robek. Dia lolos sebentar, tapi jatuh terperosok ke tanah. Para petugas itu kemudian menginjak-injaknya dengan sepatu bot mereka sampai si demonstran itu tak sadarkan diri lagi. Bukan tak sadarkan diri untuk sementara, tapi untuk selama-lamanya. Mereka kemudian membuang mayat dan kausnya yang telah robek itu ke sungai. Mayat itu mungkin sudah ditemukan dan dikuburkan oleh pihak keluarga secara layak setelah melalui proses yang rumit dan mereka, pihak keluarga, tidak akan pernah tahu penyebab kematiannya. Tapi, kausnya tetap berlayar di sungai: dari satu sungai ke sungai lain, terombang-ambing tanpa tujuan, dan kelak, mungkin akan karam dan berada di dasar sungai. Tidak akan pernah ada lagi orang yang melihatnya. Dia akan sendirian, terabaikan dan terasing untuk waktu yang begitu panjang. Mungkin hanya ikan-ikan kecil dan ketam yang akan menemaninya. Kurasa itu lebih baik daripada sebatang kara.”

***

Maya akan datang ke warung ibuku pada siang hari, setelah azan Zuhur. Dia akan duduk di sebuah kursi yang menghadap ke sungai cokelat yang sebenarnya tidak cukup enak untuk dipandang. Dia akan memesan seporsi mi ayam dan segelas es teh, suatu santapan yang cocok untuk dilahap di hari panas seperti hari-hari ini.

Dia tidak datang sendiri, tetapi bersama teman-temannya: dua lelaki dan satu perempuan. Mereka mengenakan jas berwarna biru dengan logo kampus di dada mereka. Ketika sampai di warung, mereka melepaskan jas itu dan yang terlihat adalah kaus berkerah yang warnanya sama dengan warna langit di hari panas.

Aku tahu dia bernama Maya karena teman-temannya memanggilnya demikian. Aku tidak pernah terlibat dalam percakapan mereka. Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil melayani pelanggan-pelanggan yang datang atau ketika duduk setelah semua itu selesai.

Baca Juga: Misal

Sebelum cerita dimulai, Maya akan menunjuk salah satu sampah yang terbawa arus sungai kami, yang mengalir melewati bawah jembatan dan entah menuju ke mana lagi. Lalu, dia akan bercerita kepada tiga temannya.

“Lihat! Ada kucing dengan perut membesar!”

Ketiga temannya akan menengok ke arah sungai, aku juga melakukan hal yang sama. Di sana memang ada seekor kucing yang perutnya membesar dan mengambang begitu saja. Matanya mendelik dan kaki-kakinya terlihat kaku. Kucing itu berwarna putih dengan belang oranye cerah.

***

Suatu kali seorang lelaki kesepian menemukan seekor kucing yang juga kesepian. Dia baru saja membeli sekaleng sarden dan beberapa kebutuhan lain di minimarket. Rencanya, dia makan malam dengan sekaleng sarden. Tapi, dia bertemu kucing itu. Kucing itu memelas, mengeong beberapa kali kepada si lelaki dengan tatapan ibanya.

Si lelaki tidak tega membiarkannya. Dia rogoh kantong plastiknya dan membuka kaleng sarden itu. Dia tuangkan separuh di hadapan kucing itu. Si kucing terlihat bahagia karena kebaikan yang dilakukan oleh si lelaki dan si lelaki juga terlihat bahagia karena telah berbuat baik kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan.

“Berapa banyak ikan sarden yang dibutuhkan seorang manusia untuk makan malam?” gumam si lelaki dan berjalan kembali ke rumahnya.

Keesokan paginya, ketika si lelaki menyibak gorden, dia dapati seekor kucing yang mirip dengan kucing kemarin malam, meringkuk di halamannya. Kucing itu tidur atau mungkin bermalas-malasan sambil memejamkan matanya di bawah pancaran sinar matahari. Kehidupan yang begitu damai.



Semestinya, pikir dia, manusia iri pada kucing-kucing yang dapat menjalani hari-hari tenang semacam itu, bukan pada kesuksesan orang-orang tersohor di televisi yang bahkan, sebenarnya, tidak sanggup beristirahat dengan tenang di pengujung dan permulaan hari mereka.

Si lelaki keluar dari rumahnya dan duduk di samping kucing tersebut. Dia hanya melihatnya, tidak mengelusnya atau melakukan hal lainnya karena tidak mau mengganggu istirahat kucing tersebut. Ketika kucing itu mulai membuka matanya dan memandang ke arahnya, si lelaki kemudian memungutnya.

“Tinggallah di sini, aku akan merawatmu.”

Dia pun menjalani hari-harinya bersama kucing itu. Dia rutin membawanya ke tempat perawatan kucing dan membelikannya makanan terbaik. Lelaki itu, yang awalnya kesepian, dan kucing itu, yang awalnya juga kesepian, kini saling mengisi kekosongan satu sama lain. Mereka berdua menjadi makhluk yang tidak kesepian lagi.

Sampai kemudian kucing itu mati kaku entah karena apa. Dia pun membawa bangkai kucing yang malang itu ke tepi sungai dan menghanyutkannya. Lalu, sampailah bangkai kucing itu di sungai di itu. Terus terbawa arus menuju entah ke mana.

***

Di hari yang lain, yang juga tak kalah panasnya dibanding hari-hari sebelumnya, seonggok mayat perempuan tak berbusana mengambang begitu saja di sungai, bergerak melewati jembatan dan dihentikan oleh beberapa orang yang kebetulan sedang mancing.

Rambutnya panjang dan wajahnya pucat dan tak dapat dikenali lagi. Terdapat sebuah luka sayatan di tubuh bagian depan. Aroma busuk menguar dari sana. Maya dan tiga orang temannya mendekat ke sana. Maya mencermati mayat itu dari dekat sekali sambil mengenakan masker yang dia ambil dari sakunya. Di kepalanya, dia mungkin sedang menyusun sebuah cerita, mungkin juga tidak. Mungkin, beginilah permulaan ceritanya nanti:

“Pada suatu siang yang cerah, seorang perempuan bertemu dengan seorang lelaki. Si perempuan baru saja selesai berbelanja, dia meletakkan kantong plastik yang berisi kaleng krim cokelat, sarden, kornet, gula, beberapa minuman kaleng, minyak goreng, dan sebagainya, di samping kakinya. Sementara itu, si lelaki baru saja membawa kucing peliharaannya dari tempat perawatan kucing. Mereka duduk bersama dan mengobrol. Itu adalah pertemuan ketiga mereka, tentu yang dilakukan secara rahasia karena si perempuan telah bersuami. Mereka adalah teman lama, teman semasa sekolah dulu. Mereka bertemu secara tidak sengaja—meskipun mereka lebih suka menyebutnya sebagai takdir yang tidak terelakkan—di suatu rumah makan. Si perempuan bersama dengan anaknya, sementara si lelaki sendirian. Si lelaki tersenyum ketika melihat bocah kecil yang mewarisi beberapa ciri khas dari wajah ibunya.”

Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Biarlah Maya yang akan menciptakan cerita-cerita tentang segala hal yang terbawa arus sungai kami selama dia masih berada di sini. Tugasku sekarang adalah turut membantu orang-orang mengambil mayat itu dan kemudian melaporkannya kepada pihak berwajib. Hanya itu. Selalu ada batas-batas yang tidak dapat dilewati.

Mojokerto, 6 Juni—8 November 2022

Mochamad Bayu Ari Sasmita. Lahir di Mojokerto pada HUT RI Ke-53. Cerpen-cerpennya tersiar di koran lokal dan sejumlah media daring.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya