Lifestyle
Minggu, 13 Maret 2022 - 20:46 WIB

Cerpen Diciumnya Bibir Ibunya yang Tersenyum

Dewanto Amin Sadono  /  Damar Sri Prakoso  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Mira tidak protes ketika tidak dikuliahkan setelah lulus SMA. Dia menyadari otaknya tumpul, tidak seperti kedua kakak perempuannya yang selalu juara kelas.

“Ikut kursus menjahit saja! Biaya kuliah mahal. Jangan-jangan putus di tengah jalan gara-gara otakmu jebol,” kata ibunya.

Advertisement

Mira tahu diri dan tak ingin membantah ucapan yang sangat melecehkannya itu. Apalagi dari keluh kesah ibunya yang dilontarkan hampir setiap hari, Mira juga tahu uang pensiun bapaknya sebagai guru hanya cukup untuk makan saja.

“Mir, asalkan punya keterampilan, kamu pasti bisa mendapatkan penghasilan,” ucap bapaknya.

Mira mencium pipi bapaknya sebagai reaksi atas ucapan yang menyejukkan hatinya itu. Punya bapak yang telah memperlakukannya bak putri kraton adalah kebahagiaan tersendiri baginya, melebihi gelar sarjana, doktor sekali pun.

Seperti pada awal bulan-bulan sebelumnya, hari itu Mira diajak bapaknya mengambil uang pensiun di Kantor Pos Pasar Jongke. Setelah itu, nonton film di Bioskop Utami Theatre. Tak lupa jajan mi ayam di dekat pasar. Mereka duduk berdempetan seperti sedang pacaran. Setelah itu, keduanya menuju Kebun Binatang Jurug, dan pulangnya sore.

Paginya, bahkan masih pagi sekali, Linda yang tinggal di Yogyakarta sudah mengomeli Mira. Kakak sulungnya itu memberondongnyaa dengan rentetan nasihat tak ubahnya senapan mesin sedang memuntahkan peluru.

Jangan manja, jangan membuat repot Bapak, jangan membantah Ibu, dan jangan-jangan lainnya. Mira hanya senyum-senyum saat mendengarnya. Bahkan sengaja mengeraskan volume telepon. Bahagia sekali rasanya menikmati suara kakaknya yang seperti sedang kebakaran daster itu.

Seperti sudah dijadwal, lima belas menit kemudian, Maya yang bersuamikan tentara dan tinggal di Palembang itu ganti melancarkan serangannya. Kali ini ditujukan kepada bapaknya meskipun isinya masih senada.

Advertisement

“Mira jangan terlalu dimanja, Pak! Kapan dia bisa mandiri? Kasihan Ibu.”

Lelaki 63 tahun itu sedang duduk di kursi santai kesayangannya. Mira bersandar di bahunya dan ikut mendengarkan suara yang menyentak-nyentak galak dari seberang lautan itu.

“Mira anak bungsu. Dia yang paling sebentar mendapatkan kasih sayangku,” jawab bapaknya sambil melebarkan bibirnya.

Hidung Mira kembang-kempis mendengar jawaban bapaknya. Rasain kamu! Dia bisa membayangkan bagaimana gondoknya Maya mendengar itu. Seketika Mira mencium pipi keriput bapaknya, lalu berlari-lari kecil ke kamarnya, dan di ruangan tengah berpapasan dengan ibunya yang segera memelototinya.

***

Mata-mata itu ternyata ibunya sendiri. Mira sempat mencuri dengar ketika ibunya mengadu kepada Linda dan Maya lewat video call. Sepertinya speaker sengaja dinyalakan agar Mira yang pura-pura sedang membaca buku itu ikut mendengarkan.

“…Mbok adikmu itu dinasihati! Perempuan, kok kerjanya hanya makan tidur, maen hape, tak mau ngerti pekerjaan rumah….”

Advertisement

Gibah itu masih panjang dan lebar, tapi Mira tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Cukup tahu siapa musuh dalam selimutnya itu. Seperti biasanya, bapaknya adalah pahlawannya.

Karena dianggap telah mengadu domba antarsaudara, bapaknya ganti mengomeli ibunya dan membuatnya ngambek berhari-hari, tak mau membuatkan kopi. Mira lalu menggantikan tugas itu dan bapaknya tampak cengar-cengir saat menyeruputnya.

“Tidak enak, ya Pak?” tanya Mira.

Bapaknya tak menjawab, hanya tersenyum, lalu diliriknya bubuk kopi yang tampak kampul-kampul di permukaan gelas itu. Ya, senyum itulah yang selalu disuguhkan bapaknya, dan Mira-lah yang mendapatkan porsi paling banyak.

Bapaknya hanya tersenyum saat ibunya ngomel-ngomel gara-gara Mira malas memberesi kamar tidur. Juga saat pembagian rapor tiba dan Mira hanya mendapat rangking lima, dari belakang tentu saja. Lewat senyum itu seolah-olah bapaknya ingin mengatakan:tidak apa-apa!

Awal Januari tahun ini, Mira kembali diajak bapaknya mengambil uang pensiun di kantor pos. Lagi-lagi, pulangnya mampir di warung mi ayam langganan mereka. Di sela-sela pembicaraan tentang rencana membeli mesin jahit bekas, bapaknya menatap Mira cukup lama, lalu berucap lirih: “Mir, titip ibumu!”

Mira tak terlalu menghiraukan ucapan itu karena sedang sibuk mencampur mi, saus, dan sambal. Setelah sumpitan pertama memasuki mulutnya, barulah Mira memikirkan ucapan bapaknya tadi dan tiba-tiba merasa geli. Ibunya bukan anak kucing yang perlu dititip-titipkan agar tidak kelaparan atau keluyuran.

Advertisement

***

Seperti hari-hari sebelumnya, Mira bangun pagi, membuatkan kopi buat bapaknya, dan rencananya nanti mau tidur lagi. Dia sudah ahli. Tidak sia-sia dia belajar ke penjual kopi di warung sebelah rumahnya. Perbandingan gula dan kopinya sudah sangat pas. Begitu juga tingkat kepanasan airnya. Walaupun bapaknya belum pernah memujinya, tapi pernah dilihatnya senyum bapaknya lebih lebar daripada biasanya setelah meminumnya.

Mira meletakkan cangkir keramik biru itu di meja di samping kursi bambu. Bapaknya sedang tidur-tiduran, dan didengarnya mengeluhkan dadanya yang sakit. Mira menawari mengerokinya, tapi bapaknya menolak.

Mira kembali ke tempat tidurnya, mencoba memejamkan mata, tapi gagal. Dua jam kemudian, seperti ada yang menuntunnya, Mira kembali menemui bapaknya. Kopi itu belum disentuh, masih utuh, dan bapaknya tetap terbaring, dan tak akan pernah bangun lagi.

Mira pun histeris, meraung-raung. Dipanggil-panggilnya bapaknya, diguncang-guncangkannya tubuhnya. Mira merasa bapaknya telah membuatnya terperdaya. Perlakuan manjanya selama ini ternyata hanya karena ingin meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Mira pingsan ketika dua orang menguraikan pelukannya dari jenazah bapaknya dan berbaring seperti orang mati saat prosesi pemakaman sedang berlangsung.

Setelah tersadar menjelang siang, barulah Mira mengunjungi rumah baru bapaknya. Jaraknya setengah kilometer dari rumah. Mira bertelungkup di atas kuburan bapaknya sambil menangis. Menjelang malam, Maya dan Linda menyusul Mira, lalu menyeretnya pulang.

Advertisement

Ucapan bapaknya tentang “titip ibumu” yang semula dianggap Mira tak ada artinya itu menemukan jawaban tujuh hari kemudian. Rumah duka sudah sepi. Linda kembali ke kesibukannya sebagai ibu rumah tangga; Maya pulang ke Palembang dua hari sebelumnya. Saat di kamar mandi, ibunya jatuh. Seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan.

Dibantu tetangga samping rumah yang mendengar teriakan histeris Mira, mereka membopong perempuan 60 tahun itu ke mobil sewaan, membawanya ke rumah sakit. Setelah menjalani opname sepekan, ibunya diperbolehkan pulang. Dokter memberikan vonis: ibunya kena stroke. Kecil kemungkinan bisa disembuhkan.

Sejak itu, ibunya hanya bisa terbaring di tempat tidur. Segalanya harus dilayani dan menurut Mira, ternyata lebih gampang merawat anak kucing. Ibunya tak ada lucu-lucunya. Mira hanya bisa menangis ketika bubur nasi yang terlalu asin yang baru saja disuapkannya itu menyembur dari mulut ibunya lalu mengenai mukanya.

Hanya bisa menangis juga Mira saat ibunya mengadu ke orang-orang yang menjenguknya bahwa Mira tak ikhlas merawatnya. Sering lupa menyediakan makan-minum. Mengganti pakaian sepekan sekali….

Mira terus berusaha menguatkan hatinya meskipun kadang ingin berteriak sekeras-kerasnya untuk melampiaskan kejengkelannya. Dia tak boleh menyerah, Bagaimanapun merawat ibunya adalah wasiat bapaknya.

Setahun berlalu. Bubur buatan Mira itu oleh ibunya tetap dianggap terlalu asin dan kurang lembek meskipun telah dimasak sesuai resep yang paling istimewa.

Pakaian yang dikenakan ibunya tetap saja dianggap sebagai penyebab penyakit gatalnya meskipun Mira telah merendamnya berjam-jam dan menguceknya berkali-kali. Meskipun begitu, telinga Mira sudah setebal bibir perigi dan hatinya sudah sekuat batu kali.

Advertisement

Linda datang sebulan sekali. Maya datang saat Lebaran tiba. Biasanya mereka membelikan beras, gula, sabun, serta keperluan rumah tangga lainnya. Kadang juga memberikan beberapa lembaran ratusan ribu. Juga tausiyah: pahala besar menanti anak yang mau merawat ibunya. Harus sabar menghadapi orang tua yang lagi sakit, dan lain sebagainya.

“Mengapa bukan Kak Linda saja yang merawat Ibu?” tanya Mira sambil tersenyum-senyum, “Biar mendapatkan pahala.”

Tawaran itu hanya uji coba dan kakak sulungnya itu dinyatakan tidak lulus. Mira sudah bertekad tak hendak melepas ibunya.

***

Malam itu di langit bulan sedang pucat pasi. Ibunya ngamuk-ngamuk. Gara-garanya dikerubuti nyamuk. Ibunya menuduh Mira sengaja membuka pintu kamar lebar-lebar. Sebagai jawaban atas amukan itu Mira segera memeluk ibunya sambil menangis.

“Mengapa Ibu begitu membenci Mira?” tanyanya. “Apa salah Mira, Bu?”

Ibunya tidak menjawab, hanya memandangi Mira. Bibirnya yang keriput tampak bergerak-gerak, tapi tak sepatah kata pun yang terucap. Ibunya tertidur lagi tak lama sesudahnya. Bahkan mendengkur halus seperti anak kucing.

Advertisement

Sebelum meninggalkan kamar, Mira mencium dahi ibunya, menuju ruang tengah, dan meneruskan tangisannya di atas kursi panjang yang dulu biasa diduduki bapaknya.

Sambil berbaring, dibayangkannya senyuman bapaknya dan tiba-tiba sebuah pemikiran merasuki kepalanya, dan membuatnya tenang. Kalaupun apa yang dilakukannya selama ini tak dianggap dan selalu dicela ibunya, harapannya bapaknya di surga sana bisa melihatnya dan merasa bangga walaupun hanya satu kali itu saja.

Mira tertidur tanpa sadarnya. Menjelang dini hari, Mira terbangun karena merasa ada yang menyentuh pipinya. Entah apa atau siapa walaupun hal itu yang biasa dilakukan bapaknya untuk membangunkannya. Mira gegas menuju kamar ibunya, mengikuti nalurinya.

Di atas dipan kayu itu bibir keriput ibunya tampak tersenyum. Namun, napasnya sudah tidak ada. Mira menangis dan dipeluknya jenazah ibunya yang sudah dingin itu erat-erat. Diciumnya bibir yang sedang tersenyum itu. Seketika Mira merasa lega. Ibunya tak lagi membencinya.

 

Kajen, 22 Desember 2021

Dewanto Amin Sadono, tinggal di Pekalongan. Cerpen-cerpennya memenangkan beberapa lomba dan diterbitkan dalam beberapa kumpulan cerpen juara. Novel terbarunya Ikan-Ikan dan Kunang-Kunang di Kedung Mayit.

Advertisement
Kata Kunci : Cerpen Ibu Masalah Keluarga
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif