SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Walaupun seringnya bertelanjang dada, penampilan Rustam tampak seperti orang normal pada umumnya. Andai saja dia tidak sering-sering membuka mulutnya, barangkali tak akan pernah ada yang tahu keadaan sejatinya meskipun banyak juga orang waras yang ucapannya lebih gila daripadanya.

Dua ucapan Rustam tentang saya telah terbukti, dan saya ingin satu lagi sebagai penangkalnya. Pembicaraan terakhir antara saya dan Rustam terjadi dulu sekali, sehari sebelum saya ke Jakarta. Tempatnya di pos ronda.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Rustam datang ketika saya sedang menunggu Glondor dan kawan-kawan untuk merayakan acara perpisahan. Dia memamerkan tawa lebarnya dan makin lebar ketika saya mengangsurkan sebatang rokok.

Maksud saya agar Rustam segera pergi, tapi upaya itu gagal. Rustam justru berjongkok di depan saya lalu mengisap rokoknya hingga pipinya kempot.

“Saya ini nabi,” ucap Rustam sambil cengar-cengir.

Seperti biasanya, Rustam sering menyiksa batin orang-orang melalui ucapannya. Walaupun belum pernah menjadi juara saat bersekolah, dan selama mengaji di Masjid Jami dibawah bimbingan Ustaz Bisri lebih banyak mengantuknya, pernyataan ngawur tersebut tentu saja segera saya bantah sekeras-kerasnya. Rustam tidak marah.

“Kalau wali boleh?” tanyanya tanpa melihat ke arah saya.

Saya mengangguk antara ragu dan tak peduli. Mestinya bukan Rustam yang menjadi teman mengobrol saya di pos ronda di hari terakhir saya di desa tercinta ini. Nanti malam saya harus naik bus menuju Jakarta, demi masa depan, dan perintah ibu harus dituruti agar tidak cilaka dan dikutuk jadi batu.

Waktu itu Glondor yang pertama kali datang memenuhi undangan saya. Tanpa basa-basi jawara kampung yang ditakuti siapa saja termasuk orang gila itu segera mengusir Rustam.

Namun, sebelum pergi sambil bersungut-sungut, wali yang dakinya setebal lima mili itu sempat berucap singkat meskipun terdengar sangat jelas di telinga saya, bahkan sampai saat ini masih terngiang-ngiang:

“Kamu akan sukses, tapi tak bahagia,” kata Rustam.

Entah karena ucapan Rustam atau sebab menuruti nasihat ibu agar segera hijrah dari desa yang makin dipenuhi para begundal itu, saya tergolong berhasil di perantauan.

Meskipun hanya tamatan STM, kesukaan saya membuat mainan sendiri pada waktu kecil akibat tak mampu membelinya itu telah mengantarkan saya sebagai manajer di sebuah perusahaan toys and handicrafts di daerah Cengkareng. Namun, apakah gunanya memiliki harta benda jika saya tidak bahagia? Bahkan, mendekati perempuan pun saya tak berani. Khawatir membuatnya kecewa nantinya dan itu sudah pasti.

Siapakah Rustam dan dari mana asal usulnya, tak seorang pun warga yang tahu. Tiba-tiba saja Rustam sudah berada di desa kami dan tak mau pergi. Kabar tentang dirinya simpang siur, dan ada berbagai versi.

Salah satunya, konon, Rustam terganggu jiwanya setelah mengetahui bahwa penyumbang ginjalnya yang rusak itu ternyata ibunya sendiri, ibu kandung yang sudah lama tidak dikunjunginya, dua puluh tahun.

Rustam tampak berumur sekitar tiga puluh tahun saat saya masih kecil dan tetap tidak berubah saat saya remaja, bahkan ketika saya hampir dewasa, lalu meninggalkan desa. Sepertinya, jarang menggunakan otaknya adalah kunci rahasia Rustam agar terlihat awet muda.

***

Saya singgah sebentar di rumah peninggalan bapak yang ditempati Yu Narti, sepupu dari pihak ibu. Sejak Bapak dipanggil Tuhan karena usia tua, lima belas tahun yang lalu, disusul Ibu empat bulan kemudian akibat tak tahan ditinggal belahan jiwanya, baru sekarang ini saya menengok lagi rumah kelahiran itu.

Mobil saya parkir di halaman berpagar teh-tehan di bawah pohon mlinjo. Seusai minum segelas kopi dan berbasa-basi seperlunya dengan tuan rumah, saya pun berpamitan. Berjalan kaki, mengenang jalanan yang dulu setiap saat saya tapaki. Saya langsung menuju pos ronda di depan kantor balai desa. Dulu, bangunan kecil itu di dekat pohon asam itu menjadi pilihan kami untuk beromong kosong hampir setiap hari.

Lewat HP saya mengontak Glondor, teman akrab yang sekarang menjadi centeng di Cafe Freedom di samping Pintu Tol Ngasem:

“Ndor, saya sudah sampai. Otw ke markas.”

Seperti kawanan dubuk menemukan bangkai rusa, lima setan remaja yang sekarang sudah dewasa, tapi tetap menjadi setan sebagiannya itu segera berdatangan. Lima botol Vodka palsu dan minuman bersuplemen segera mendidihkan udara Minggu siang yang sedang panas-panasnya itu.

Toko dan penjualnya masih sama seperti lima belas tahun lalu. Toko Heri, letaknya persis di samping Warung Soto Bu Darmi, Ngasem. Celotehan tentang apa saja segera berhamburan dari mulut-mulut yang berhiaskan asap rokok itu.

Saya tidak ikut minum, dilarang dokter agar penyakit saya tidak makin parah. Pilih jadi pendengar dan hanya sesekali menimpali. Pethok bekerja sebagai tukang gergaji mesin panggilan. Narjo adalah guru SD di tempat kami dulu belajar dan selalu rangking paling bawah setelah saya.

Marno menjadi marbot musala di dekat puskesmas dan sudah kawin dengan janda beranak dua. Tanoyo bekerja sebagai juragan padi dan menikah dengan gadis yang dulu dibencinya, teman SMP yang sering diludahinya. Glondor belum kawin walaupun perempuannya banyak. Pelayan lagu dan sebagainya. Namun, Rustam hilang dan tak ada yang tahu keberadaannya.

“Malaikat pembenci manusia durhaka telah menguburnya di tengah lautan,” begitu kata Marno, matanya menyorot sungguh-sungguh.

“Bisa jadi Rustam kena tabrak lari di jalan raya, mayatnya dibuang ke hutan, lalu dimakan singa,” jawab Narjo, sudah pasti ngawur meskipun dia seorang guru.

“Rustam sudah mati,” ucap Glondor dingin seperti biasanya.

“Rustam telah ditemukan keluarganya dan dibawa ke Padang.” Jawaban Tanoyo itu yang paling masuk akal meskipun kebenarannya sangat diragukan.

Saya menjadi sangat letih tiba-tiba dan bukan semata-mata karena telah menempuh perjalanan delapan jam dan hanya berhenti sekali di Cirebon. Rasa-rasanya, seperti sedang membuka tudung saji saat perut lagi lapar-laparnya, dan tidak ada apa-apa di dalamnya kecuali hampa. Pembicaraan tentang aneka rupa di dalam pos ronda itu tak lagi menarik perhatian saya meskipun tetap menyimaknya.

Ustaz Bisri sudah wafat, digantikan Ustaz Munir walaupun tak sekejam bapaknya dalam mengarahkan orang-orang menuju surga.

Tiba-tiba saya teringat Lokalisasi Gunung Pare.

“Jangan mendekati zina!” begitu ucap Ustaz Bisri waktu itu, dan entah mulut bocor siapa yang telah mengadu bahwa kami sengaja lewat di depan lokalisasi tersebut saat ke Kartasura.



Sebenarnya, Lokalisasi Gunung Pare–sekarang Terminal Bus Kartasura–hanya menjadi pembicaraan rahasia di antara kami, dan tak ada yang pernah berani mengunjunginya. Apalagi kalau bukan tentang mbak-mbak yang hanya memakai BH dan celana dalam saat kami lewat naik sepeda onthel di jalan berbatu di depan lokalisasi yang berlokasi di atas bukit itu.

Itu pun kami harus berbisik-bisik membicarakannya, di sela-sela main gundu di halaman masjid, takut kedengaran orang dewasa lalu dilaporkan ke Ustaz Bisri yang suka menggampari pantat para pendosa memakai bilah bambu.

Halaman Masjid Jami yang dulu menjadi tempat kami bermain gundu, kasti, sepak bola plastik, dan umbul gambar, sekarang sudah ditanami gedung madrasah tingkat dua. Ladang tebu di pinggir desa sudah berubah menjadi perumahan yang penghuninya tidak mengenal dan dikenal warga desa.

Rel sepur yang membentang puluhan kilometer itu juga dipreteli satu per satu entah oleh siapa. Bahkan bisa jadi sebagian telah berubah menjadi bilah celurit yang dipakai para gali untuk merampok. Bangunan bekas pabrik gula itu juga telah berubah fungsi menjadi lokasi swafoto dan kuliner, sementara loko dan mesinnya diboyong ke Sumatra.

Minuman oplosan dalam teko plastik pinjaman itu sudah tandas isinya; para penghuni pos ronda itu matanya sudah memerah. Saya berpamitan, ingin melihat Bukit Sentono di ujung desa. Di sanalah Rustam pernah berada. Siapa tahu Rustam tidak hilang, tapi hanya moksa dan akan muncul kembali saat ada yang butuh pertolongannya.

Setelah berjalan lima belas menit menyusuri sawah, saya pun tiba di Bukit Sentono. Bukit kenangan itu tampak jauh berbeda, terasa asing, berisik, dan saya tidak merasa terhubung. Pohon randu hutan yang berusia ratusan tahun dan berdiameter dua meter itu sudah tidak ada, begitu juga gubuk kayu reyot beratap genting yang dulu sering ditongkrongi Rustam.

Tiang beton penyangga jalan layang yang seukuran bedug Masjid Jami dan setinggi pohon kelapa itu telah menggantikannya. Tiang-tiang itu berjajar-jajar seperti barisan kaki para raksasa, menginjak-injak bumi kelahiran saya, mengangkangi kenangan yang ada padanya.

Saya bertahan di Bukit Sentono, menunggu Rustam, memandangi aliran Sungai Pepe di bawahnya yang tak sebening dalam ingatan saya. Sementara itu, suara mobil yang berseliweran di jalan layang itu makin bising, mengotori pori-pori udara dan pikiran.

Sambil bersandar pada tiang yang dipenuhi grafiti dan mural warna-warni itu, saya membayangkan Rustam telah tersangkut bumper mobil yang melaju kencang. Dia telah terbawa sampai di Surabaya atau Malang atau Merak, dan suatu ketika pasti kembali lagi.



Kalau puluhan tabib, dokter spesialis, dan keturunan Mak Erot tak bisa mengatasi masalah yang sedang saya hadapi, mestinya wali yang tak pernah mandi itulah pemberi solusinya.

Kajen, 9 Mei 2021

Dewanto Amin Sadono, tinggal di Pekalongan. Cerpen-cerpennya memenangkan beberapa lomba dan diterbitkan dalam beberapa kumpulan cerpen juara. Novel terbarunya Ikan-Ikan dan Kunang-Kunang di Kedung Mayit.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya