SOLOPOS.COM - Espos/Adib Muttaqin Asfar

Espos/Adib Muttaqin Asfar

Sudah cukup lama Daniel terjun di dunia clothing indie. Pada 2003 lalu saat masih kuliah di ASDI Solo, Daniel merintis usaha kaus kecil-kecilan. Semula bisnis ini hanya digarap dari iseng-iseng dan baru digarap serius empat tahun kemudian.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Meskipun iseng, pada 2003, Daniel sempat membuka sebuah distro di Manahan walaupun pasar produk indie di Solo saat itu belum terbentuk. Pola produksi yang dilakukan saat itu pun masih cukup sederhana dan belum menggandeng usaha konveksi. Waktu itu Daniel hanya membeli kaus jadi kemudian disablon sendiri. “Karena semakin lama pasar semakin besar, akhirnya malah lanjut,” katanya.

Daniel yang waktu itu kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual tidak terlalu sulit melakukannya. Selain sebagai anak band, dia bisa mendesain sendiri kaus. Kaus-kaus limited edition tersebut biasanya dijual di berbagai pameran.

Tak berhenti sampai di situ, Daniel dan rekan-rekannya kemudian mendirikan rumah desain dengan nama Sinkking Creative Design. Rumah desain tersebut masih melanjutkan usaha pembuatan kaos, namun kali ini lebih serius. Produk-produk yang dihasilkan biasanya dilempar ke berbagai distro di Jogja karena saat itu belum ada usaha distro di Solo.

“Dari dulu sablon sendiri. Terus ada teman yang buka usaha konveksi dan saya masuk ke sana.”

Meskipun masih tetap idealis membuat produk dalam jumlah terbatas, Daniel masih menyatakan keinginannya untuk berkembang. Kini dia memiliki usaha distro sendiri di Kerten, Laweyan. Rencananya, dia akan menambah modalnya agar bisa meningkatkan produksi. Maksudnya produknya tetap dalam jumlah terbatas namun desainnya juga makin bertambah banyak.

Hingga saat ini, Sinkking Pride bisa meluncurkan sekitar 15-20 desain setiap bulannya ke pasar dengan tim kreatif yang berjumlah dua orang. Jika ada tambahan modal, dia berencana meningkatkan jumlah desain yang diluncurkan setiap bulan. “Kami tetap pakai target. Kalau bisa limited edition tapi desainnya tambah banyak kan lebih bagus,” katanya.

Sama-sama indie, tidak semua usaha clothing memiliki konsep produksi yang sama. Belukar misalnya, memproduksi minimal 100 kaus untuk satu desain. Hal ini bukan tanpa alasan karena Belukar menerapkan standar yang berbeda dalam hal sablon. Untuk sablon, mereka menggunakan bahan plastisol yang hanya bisa dibuat di daerah Bandung.

“Sebenarnya di Solo ada tapi kan tidak mau menerima jumlah kecil seperti kami. Di Solo, usaha jasa kelas menengahnya belum tumbuh,” ujar Stefanus Aji dari Belukar.

Belukar bukan hanya idealis dalam soal sablon tapi juga dalam soal konsep desain. Mereka tidak hanya menggunakan desain sendiri, juga menggunakan jasa para seniman. Menurut Aji, Belukar berencana menggunakan art work berbagai seniman asal Bandung, Jogja dan kota lain untuk rangkaian produk bertemakan Hidup Enggak Selamanya Indah.

Tren itu memang sejalan dengan tema metal yang selalu antikemapanan. Namun, Aji juga mengkritik jika ada anak-anak muda yang malah senang dengan simbol-simbol iluminati dan black metal tanpa tahu maksudnya. Dia sendiri lebih memilih menggunakan tema metal untuk kritik sosial. “Intinya untuk memasyarakatkan metal dan memetalkan masyarakat.”

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya