SOLOPOS.COM - Meski lama berguru dengan Dullah, Herri Soedjarwanto tetap mampu menunjukkan karakternya sendiri sebagai pelukis. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Meski lama berguru dengan Dullah, Herri Soedjarwanto tetap mampu menunjukkan karakternya sendiri sebagai pelukis. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Tak mudah bagi seorang pelukis mendapatkan nama besar. Itu pula yang dialami Herri Soedjarwanto saat masih remaja. Suatu hari pada 1977 saat mengawali karir sebagai pelukis, laki-laki asal Punggawan ini harus berjualan lukisannya sendiri di jalanan Bali untuk makan. Sayangnya, hari itu tak ada satu pun art shop yang mau membelinya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Saya tidak tahu saat itu turis sedang sepi, jadi saya ditolak,” kenangnya.

Beruntung saat kembali ke penginapannya di Pejeng, Tampaksiring, ada seorang bule asal Jerman yang nyasar. Tanpa sengaja, si bule melihat lukisan-lukisan Harri di penginapan. “Ini dijual?” kata Herri menirukan ucapan orang Jerman itu. Lukisan itu ditawar seharga Rp14.000, padahal seharian Herri hanya berharap bisa mendapat Rp4.000. “Ini terjadi berulang-ulang.” Dan begitulah dia mulai menjalani kehidupannya sebagai murid Dullah, maestro pelukis yang jadi andalan Istana Negara semasa Presiden Soekarno itu.

Jauh sebelum itu terjadi, Herri sudah mulai menggambar sejak masih sekolah SMA di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Setelah lulus, cita-citanya masuk Seni Rupa ITB tidak kesampaian dan mendorongnya berusaha mengumpulkan uang untuk kuliah. Salah satunya adalah dengan membuat komik Kho Ping Hoo.

Kontrak itu didapatkannya dengan susah payah. Selama menjadi komikus, Herri sudah membuat dua komik, yaitu Tongkat Sakti (tujuh jilid) dan Patung Dewi Kwan Im (lima jilid). Di sela-sela bikin komik, dia menyempatkan diri ke Pasar Gede dan tempat-tempat di Solo untuk membuat sketsa. Komik Patung Dewi Kwan Im sebenarnya belum selesai, tapi ditinggalkannya demi berguru pada Dullah di Sanggar Pejeng, Bali. “Itu pun saya lakukan dengan susah payah. Ada saja hambatannya.” Terakhir dia mengalami kecelakaan yang membuat honor komiknya habis untuk berobat. Tapi secara tidak sengaja dia bertemu dengan keponakan Dullah yang ikut menjenguknya. Jalan pun terbuka untuk merantau ke Bali. “Mungkin Tuhan menunda keinginan saya untuk dapat yang lebih besar.”

Di Bali, niatnya bertemu Dullah kesampaian. Awal kehidupannya di Bali sebenarnya tidak terlalu menyenangkan. Seperti murid-murid Dullah lainnya, dia mesti menghidupi diri sendiri di Bali, termasuk makan dan penginapan. Mereka mengontrak kamar-kamar bekas hotel yang juga satu kompleks dengan sanggar Dullah. Mendekati Dullah pun tidak mudah, butuh waktu dan kerja keras untuk bisa mendapatkan kepercayaannya. “Banyak yang tidak ketemu Dullah langsung, tapi begitu lukisannya dilihat dan tidak sesuai harapannya, lukisan itu bisa langsung ditendang. ‘Kayak gini ngaku murid Dullah?’ katanya.”

Kedekatannya dengan Dullah membuatnya bisa belajar banyak tentang realisme. Herri tidak hanya belajar dari Dullah, tapi juga mulai mempelajari teknik-teknik Rembrandt, Pablo Picasso serta Da Vinci. Semua itu membuatnya matang dalam menggarap lukisan-lukisan realis.

Herri menjadi salah satu murid kepercayaan Dullah, termasuk dalam soal konsep karya. Itu dibuktikan dengan terpilihnya lukisan Herri untuk dipamerkan bersama lukisan potret Bung Karno oleh Dullah di Jakarta. Itu membuat namanya naik daun.

Kedekatannya dengan Dullah tidak membuatnya jadi pengikut Dullah, malah dia menemukan dirinya di aliran yang berbeda. “Saya sebut realisme sosial.”

Tak seperti pelukis realis lain yang lebih sering menggambarkan potret manusia, bunga atau objek still life, Herri menampilkan lukisan yang menunjukkan realitas dalam masyarakat. Itu pun terasa saat Sudwikatmono, tokoh pengusaha yang dekat dengan Soeharto, memintanya melukis Soeharto lagi pada era 1990-an. “Dia meminta saya melukis Pak Harto yang sering dialog dengan Klopencapir. Tapi saya tawarkan ide lain.” Dengan selembar kertas, Herri membuat sketsa lukisan yang menggambarkan Soeharto di antara para petani dan duduk di bawah pohon beringin. “Itu kan simbolnya Golkar, dia langsung setuju.”

Semua itu membuat namanya tetap dikenal meskipun tak lagi bersama Dullah. Karyanya kini secara rutin dikirim ke Rudana Fine Art Gallery, Bali. Tapi dia juga membuka peluang bagi kolektor lainnya, termasuk yang bikin lukisan khusus.

Lukisan Herri yang menggambarkan Pak Harto di tengah-tengah petani saat orde baru. (FOTO: herri-solo.blogspot.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya