Lifestyle
Sabtu, 25 Februari 2023 - 13:00 WIB

Delapan Keinginan

Dewanto Amin Sadono  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Delapan keinginan (Solopos/Istimewa)

Solopos, SOLO—Buku tulis bersampul hitam itu ditemukan Marjan ketika bapaknya menyuruh mengambilkan kaca mata baca di laci meja kamar tidur utama. Tanpa benar-benar didorong rasa ingin tahu, buku cukup tebal itu dia buka sembarangan.

“Daftar Keinginan Sebelum Mati” Tulisan itu ditemui Marjan di halaman agak tengah dan dia tersenyum.

Advertisement

Daftar nomor 1,2, dan 3: “ … menguliahkan Duki, Topa, dan Marjan.”

Alhamdulillah, ketiga keinginan bapaknya itu sudah tercapai. Duki menjadi guru SMP seperti bapaknya, Topa bekerja di perusahaan negara cukup ternama, dan dia sendiri sedang mencari-cari pekerjaan yang enak dengan gaji gede. Sayangnya belum ketemu.

Marjan mengerutkan kening ketika membaca daftar keempat. Dua kata itu dicoret, lalu ditulis lagi, lalu dicoret lagi. Bapaknya memang pernah berangan-angan membeli mobil.

“Beli mobil paling cepat sedunia saja, Pak! Biar tak bisa disalip mobil lain!”

Marjan masih ingat betul bapaknya, Duki, dan Topa tertawa waktu itu dan ruang keluarga pun telah berfungsi sebagaimana mestinya.

Bapak dan kedua kakaknya paham mobil yang dia maksudkan. Mobil jenis SUV itu memang memenuhi jalan raya dari ujung ke ujung lain hingga berkesan tidak bisa didahului.

“Uangnya tidak cukup, Jan. Sedan bekas saja! Yang penting muat buat berempat,” sahut bapaknya tersenyum masam.

Advertisement

Setelah tanya sana-sini, Topa menemukan sedan Jepang. Harganya 35 juta rupiah. Pas dengan jumlah tabungan bapaknya, hasil menyisihkan uang makan dan biaya sekolah bertahun-tahun.

Topa lalu menyuruh bapaknya ikut kursus menyetir mobil, tapi bapaknya menolak.

“Aku sudah terlalu tua untuk belajar nyetir mobil. Kamu saja!”

Marjan masih ingat betul sore yang mengecewakan itu. Dua hari sebelum jadwal pembayaran mobil warna merah marun itu, Om Tarto, adik bungsu bapaknya masuk rumah sakit, kena kanker darah.

Semula omnya itu bersikeras tak mau dirawat di rumah sakit. Tak punya biaya. Namun, bapaknya lebih berkeras. Harus dibawa ke rumah sakit! Uang yang sedianya untuk beli mobil itu lalu diberikan kepada istri adiknya.

Marjan tersenyum masam. Dua bulan kemudian omnya meninggal dunia dan hingga bapaknya pensiun 15 tahun kemudian, sedan Jepang itu tak pernah terbeli. Bahkan, bisa jadi keinginan bapaknya itu sudah pupus. Makanya, tulisan nomor empat itu dicoret dua kali. Bahkan ketika Topa menawarkan membelikan mobil yang tak bisa disalip di jalan raya itu, bapaknya berkukuh menolak.

“Aku tak lagi punya keinginan beli mobil. Kalian saja! Ketiga-ketiganya! Aku nanti numpang. Gantian. Biar kuatur jadwalnya.” Bapak lalu tertawa, memperlihatkan gigi ompongnya.

Advertisement

Urutan kelima dalam daftar itu. “Naik Haji.” Marjan tersenyum. Keinginan itu pun sudah terwujud, tahun lalu. Kedua kakaknya sukses membuat kejutan buat bapak mereka. Beberapa tahun sebelumnya mereka telah mendaftarkan dan biayanya langsung dilunasi—dibayar patungan—tanpa bapaknya tahu. Kabar gembira itu disampaikan saat bapak mereka ulang tahun yang ke-65, dua bulan sebelum berangkat ke Tanah Suci.

Keinginan nomor 6, “Membangun nisan buat bapak dan emak”. Keinginan itu pun sudah terpenuhi, Marjan yang jadi mandornya waktu itu. Makam kakek dan neneknya dihiasi batu pualam warna biru sehingga mereka tak lagi bingung mencari saat ziarah sehari sebelum datang Bulan Puasa.

Begitu pula keinginan bapaknya yang nomor 7: “Merehap rumah”. Meskipun tidak memperbaiki rumah warisan itu secara total, kayu-kayu pada bagian atap yang lapuk telah diganti.

Ketika membaca daftar terakhir, nomor 8, seketika Marjan mengerutkan kening. “Bertemu Narti dan memaafkannya.” Marjan menghela napas panjang. Narti, nama ibunya.

Bapak dan ibunya cerai ketika dia masih duduk di bangku SD kelas II, Topa kelas IV, dan Duki kelas VI. Bapaknya tak pernah kawin lagi lalu berlaku sebagai bapak sekaligus ibu bagi ketiga anaknya.

Mereka pun tak lagi merasa kehilangan siapa-siapa. Ibunya ke Sumatra, ikut transmigrasi orang tuanya. Kabarnya lalu kawin dengan tetangganya. Sejak itu pula tak ada lagi komunikasi di antara mereka.

“Kami berpisah secara baik-baik. Tanpa didahului pertengkaran.”

Advertisement

Baca Juga: Ada Marela, Ada Mama

Marjan sangat ingat, bapaknya sering mengatakan itu, dan dia, juga kedua kakaknya, percaya sepenuhnya. Apalagi bapaknya tak pernah menjelek-jelekkan mantan istrinya. Bahkan, berkali-kali mengatakan, perceraian itu terjadi karena salahnya. Itu saja. Tak pernah menjelaskan salah apa atau bagaimana.

Marjan dan kedua kakaknya juga tak berani menanyakan. Bapak mereka sangat terbuka terhadap anak-anaknya. Namun, bukan berarti mereka harus tahu rahasia hidupnya.

Perihal keinginan sang bapak nomor 8 itu, Marjan hanya bisa menduga-duga walaupun tidak mau terlalu jauh. Mengapa bapaknya perlu memaafkan ibunya? Ibu pernah salah apa sehingga sampai sekarang Bapak belum memaafkan?

Ketika dua hari kemudian Duki dan Topa berkunjung bersama anak-istri mereka, Marjan menceritakan perihal buku temuannya itu dan terutama keinginan bapaknya nomor delapan.

“Apa maksud ‘memaafkan’? Ibu salah apa?” Duki bersuara cukup seru. “Kamu pasti salah baca. Mungkin bapak yang ingin minta maaf kepada ibu.”
Marjan tak menjawab. Bisa jadi dia memang salah baca.

***

Advertisement

Marjan sudah hampir lupa dengan keinginan bapaknya nomor 8 itu ketika bapaknya jatuh sakit. Dia membawa bapaknya ke rumah sakit lalu mengabari kedua kakaknya. Bergantian mereka menunggui walaupun yang paling sering Marjan sebab belum berkeluarga.

Tak ada kisah yang terlalu istimewa dari orang yang sedang dirawat di rumah sakit kecuali ini: bapaknya sering menyebut-nyebut nama Narti di dalam tidurnya. Hal itu lalu diceritakan Marjan kepada kedua kakaknya. Topa memberikan analisisnya dan mereka sepakat: daftar nomor 8 itu keinginan bapak mereka yang tidak bisa ditunda-tunda.

Hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi pada orang yang sedang sakit: sembuh atau dijemput mautnya. “Kamu ke Sumatra, Jan! Cari Ibu sampai ketemu! Katakan Bapak sakit. Bapak ingin minta maaf secara langsung kepada Ibu!” kata Duki.

Marjan tak bisa mengelak. Di antara mereka bertiga, hanya dia yang belum terbebani tanggung jawab mengurus keluarga. Segera, Marjan mendatangi saudara-saudara ibunya yang tinggal satu kota. Untungnya, di antara mereka ada yang tahu alamat lengkap ibunya.

Esoknya, naik travel Marjan menuju Pesawaran, Lampung. Butuh waktu enam jam. Turun dari angkutan yang penuh sesak itu Marjan naik ojek. Setengah jam kemudian dia tiba di sebuah rumah bata. Halamannya cukup luas. Sekelilingnya dipenuhi tanaman singkong.

Marjan membayar tukang ojek sesuai perjanjian dan tidak ada yang terlalu mahal untuk urusan yang satu ini. Bapaknya memang belum terlalu tua. Namun, kematian bisa datang kapan saja tanpa disertai tanda-tanda.

Anak perempuan yang sedang bermain lompat tali itu mengiyakan ketika Marjan menanyakan rumah Bu Narti. Marjan mengetuk pintu kayu yang mulai kehilangan warna pernisnya. Lelaki seusia bapaknya menyambut.

Advertisement

Tanpa berlama-lama, Marjan menyebutkan identitasnya dan tujuan kedatangannya. Laki-laki barkaus oblong dan bersarung itu mengangguk-angguk lalu menyilakan Marjan duduk di ruang tamu. Dia masuk ke ruang tengah. Tak lama kemudian dia keluar lagi, menuntun perempuan berdaster lusuh.

Marjan coba menggali ingatan dan tak yakin perempuan yang dituntun seperti orang buta itu ibunya. Seingatnya, ibunya cantik dan lincah. Bukannya kuyu dan layu seperti daun pisang terlalu lama terpanggang matahari.

“Bu, saya Marjan. Dari Banten. Anak Pak Sholeh!”

Perempuan itu tak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan tangisan lalu disusul pelukan. Telapak tangan yang luar biasa kasar itu mengusap-usap rambut dan wajah Marjan dan entah kenapa Marjan tak terlalu larut dalam suasana itu.

Perasaannya cenderung biasa-biasa saja. Bisa jadi karena dia jarang nonton sinetron sehingga tidak bisa memeragakan adegan sebagaimana biasanya dalam situasi yang sama.

“Bapak sakit, Bu. Ingin bertemu,” kata Marjan setelah suasana yang sedikit emosional itu mereda. “Bapak merasa punya salah. Mungkin sangat besar. Bapak ingin minta maaf secara langsung kepada Ibu.”

Tanpa disangka-sangka Marjan, reaksi dari ucapannya itu ternyata berupa tangisan yang tiada henti-hentinya. Serupa dengan letusan mercon renteng ketika Tahun Baru Imlek tiba. Bahkan tubuh perempuan itu sampai tergoncang-goncang dengan dahsyatnya …

Advertisement

***

Marjan tak jadi menginap. Duki menyuruh pulang hari ini juga. Bapak terus menanyakan kamu, katanya. Lewat telepon pula, tanpa menyebutkan alasan,
Duki membatalkan perintah memboyong ibunya. Bisa jadi atas suruhan bapaknya. Marjan pamitan, diantar laki-laki berkaus oblong itu ke terminal.

Selama perjalanan pulang Marjan terus tergiang-giang pengakuan ibunya dan tanpa sadar dia menitikkan air mata. Betapa bapaknya, bapak nomor satu di dunia itu, pria kecil itu, begitu tangguh dan berhati mulia.

Dia sanggup menyimpan luka yang demikian memilukan itu untuk dirinya saja. Seutuhnya. Tidak dibagi-bagi kepada siapa-siapa, bahkan anak-anaknya.
Marjan mengusap air mata, menerawang. Bisa jadi peristiwa jahanam itu terjadi di kamar depan yang sekarang dijadikan tempat salat.

***

Dua hari kemudian laki-laki yang punya banyak senyuman itu mengembuskan napas terakhir. Sesaat sebelumnya, sang bapak menggenggam tangan Marjan, memandangi dengan mata tuanya. Bibirnya yang keriput itu melebar.

“Jan, kamu saksinya,” orang tua itu mengeratkan genggaman, “Jika suatu ketika bertemu ibumu, katakan padanya: aku telah memaafkannya.”

Marjan mengangguk, menangis, memeluk bapaknya erat-erat. Didekapnya sang bapak sampai napasnya tiada. Sementara itu, pada saat sama, perasaan sedih, pedih, pilu, dan bangga bercampur baur jadi satu. Perasaan itu begitu menyiksa. Perasaannya sebagai seorang anak sekaligus sebagai laki-laki.

***

Hari itu juga pensiunan guru itu dimakamkan di kompleks pemakaman tak jauh dari rumahnya. Bersama jasadnya, buku bersampul hitam itu ikut dikuburkan. Pula, semua rahasia di dalamnya.

Kajen, 27 Juli 2022

 

Dewanto Amin Sadono, guru dan penulis. Beberapa karyanya memenangi lomba dan dimuat di media massa cetak dan online: Tempo, Kompas id, Solo Pos, Ideide. Novel Ikan-Ikan dan Kunang-Kunang di Kedung Mayit menjadi Juara I Perpusnas Writingthon Festivaal, Oktober 2022. Naskah lakon Ikan-Ikan di Kedung Mayit menjadi Nominator Lomba Naskah Lakon Dewan Kesenian Jakarta, Desember 2022.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif