Lifestyle
Sabtu, 27 Mei 2023 - 07:34 WIB

Dia Ingin Segera Menghambur ke Pelukan Ibu

Iin Farliani  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Cerpen Kembali Ke Pelukan Ibu (Solopos/Istimewa)

Solopos.com. SOLO—Lea bertanya-tanya mengapa dahulu saat dia masih kecil, ibunya tidak pernah membuat kue Lebaran. Mengapa ibunya tidak belajar memasak kue-kue lezat yang kini terhidang di ruang tamu Lea? Dahulu dia, ibu, dan ayahnya terbiasa berkunjung dari satu rumah kerabat ke rumah kerabat lain. Membantu menggantungkan hiasan-hiasan Lebaran, menyantap ketupat, melihat kartu-kartu Lebaran yang bertebaran di karpet ruang tamu.

Sesudah salam hangat, merangkul, dan mengecup pipi satu sama lain, mengobrol dan makan-makan, biasanya mereka akan pulang dengan membawa banyak bingkisan. Mereka membawa banyak bingkisan yang hampir tak muat untuk digantungkan di tiap sudut motor ayah sehingga Lea terpaksa duduk di tangki motor.

Advertisement

Kalau saja dulu ibu ingin membuat kue Lebaran sendiri, mereka tak perlu repot-repot pergi jauh ke rumah Bibi Merr dan rumah kerabat lain yang perjalanannya menempuh waktu berjam-jam lalu pulang dengan membawa banyak bingkisan. Motor Ayah yang dinaiki dengan banyak muatan itu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau ada yang menyenggol, barangkali membuat mereka tergelincir, jatuh berguling-guling dengan berbagai bingkisan yang tumpah dan berceceran di jalan.

Lea masih ingat tangannya yang lengket sehabis tak sengaja menyentuh jajan-jajan ketan, kue-kue basah hasil fermentasi yang aromanya menyengat. Ibunya akan mengambil nampan, pisau besar, dan talenan lalu mengiris tipis-tipis satu bongkah jajan tujak yang berwarna putih dan hitam.

Jajan tujak dinikmati dengan sepiring kecil poteng hijau. Ibunya mengiris jajan tujak itu sambil sibuk merapikan kerudungnya. Ia menyodorkan pada Lea sepiring jajan tujak. Lea menggeleng cepat,

“Tidak mau. Hanya ingin kue brownies.”

Bibi Merr menjulukinya “Bocah Brownies”. Meski toples-toples di meja penuh bermacam-macam kue Lebaran, seperti kuping gajah, keciput, tarek, juga tujak goreng, Lea hanya menganggap brownies cokelat yang dikukus di penanak nasi adalah satu-satunya kue Lebaran yang enak.

Sisanya sama sekali tidak menarik minatnya. Jajan-jajan kering dalam toples itu terlalu keras untuk digigit. Hanya brownies cokelat yang legit, cokelat susu yang melumer di mulut yang dianggapnya sebagai kue Lebaran terbaik.

Kini Lea tidak perlu menunggu Bibi Merr mengukus kue brownies untuknya. Dia memasak sendiri kue, opor ayam, ketupat, urap-urapan, dan kaldu lemak daging sapi yang menjadi menu favorit saat Lebaran.

Advertisement

Lea duduk di kursi ruang tamu, pintu rumah terbuka lebar. Dia memandangi anak laki-lakinya yang berlari-lari di halaman dan Bibi Merr yang duduk di bawah atap taman. Kerudung putih Bibi Merr berkilau di siang terik itu. Tamu-tamu yang tadi bersilaturahmi sudah pulang.

Bibi Merr beranjak dari taman, masuk rumah menemui Lea yang masih termangu di kursinya.

“Kau belum menghubungi ibumu?” tanya Bibi Merr, hati-hati. Lea tidak menyahut. Dia berdiri, merapikan cangkir-cangkir berisi sisa kopi dan teh yang tidak dihabiskan para tamu.

Pertanyaan Bibi Merr membuatnya gusar. Dia meletakkan cangkir-cangkir itu lagi. Tiba-tiba saja dia terduduk lemas di kursi.

“Ini sudah Lebaran yang ketiga dan kau belum bertemu dengan ibumu. Bahkan untuk mengucapkan salam pun tidak. Sampai kapan kau seperti ini Lea?”

Lea bertanya-tanya apakah sekarang ibunya sudah bisa mandiri. Apakah sekarang ia membuat kue sendiri dan tidak lagi merepotkan dirinya untuk berkeliling ke setiap rumah kerabat dan membawa pulang banyak bingkisan yang pada akhirnya tidak ia habiskan. Membiarkan penganan berhari-hari menumpuk di dapur hingga berbau masam atau menghangatkan kuah daging yang sama berkali-kali.

Mengingat hal itu saja sudah membuat Lea kesal. Menurutnya, kita tidak harus berpangku tangan selama bertahun-tahun untuk urusan kecil semacam itu!
Lea melihat toples-toples kue yang memenuhi meja ruang tamunya. Bungkus permen yang bertebaran, sepotong permen bekas gigitan tergeletak lengket di taplak meja dikerubungi semut hitam. Sirup-sirup yang bersisa di gelas dikerubungi semut hitam, dan remah-remah kue berjatuhan memenuhi lantai.

Advertisement

“Ibumu ingin datang. Tapi, ia memintaku memastikan apakah kalau ia datang, kau mau bertegur sapa dengannya. Apakah kau tidak mendiamkannya? Apakah kau mau bersikap baik lagi? Kalau kau masih belum mampu untuk semua itu, maka lebih baik tidak bertemu dulu. Sekalipun ini Lebaran terakhirnya. Begitu katanya. Siapa yang bisa tahu kalau di tahun depan kalian masih ada kesempatan untuk bertemu saat Lebaran?”

Lea tahu Bibi Merr sudah sangat kesal dengan sikap keras kepalanya. Bibi Merr tahu kalau Lea punya pendirian yang teguh dan tidak akan mudah dipatahkan begitu saja.

Lea teringat Ibu. Bagaimana ibu melarangnya menyalakan kompor, bagaimana dia diajari untuk tidak perlu repot-repot memasak dan memberitahu Lea untuk menikah dengan laki-laki yang memiliki banyak harta agar dia tidak perlu mengerjakan tugas rumah tangga dan bisa mempekerjakan asisten rumah tangga saat sudah menikah nanti.

Ibunya beralasan karena ia tidak ingin Lea mengalami kesulitan kelak ketika sudah menikah. Padahal Lea pun tahu, Ibu hanya ingin Lea seperti dirinya.

“Ini semata-mata agar kau tidak menderita,” ucap Ibu. Ibu tidak membiarkan Lea dekat-dekat dengan api kompor, tidak ingin melihat Lea membereskan pekerjaan rumah. Ibu ingin Lea duduk manis seperti tuan putri di singgasana, hanya mengerjakan tugas-tugas yang berhubungan dengan sekolah.

Setelah suaminya tiada, ibu merasa sangat terpuruk dan terpukul. Ia terlalu lama bergantung pada seseorang yang ia kira akan bisa seterusnya hidup bersama. Ia mengira dengan ketergantungan seperti itu maka hidup akan berjalan seimbang.

Setiap hari, ibu mengurung diri di kamar. Bahkan ketika hari berpulang suaminya memasuki waktu satu tahun, ia masih suka menghabiskan banyak waktu di kamar. Tidak memasak apa pun. Tidak mencuci. Tidak menyapu rumah.

Advertisement

Bibi Merr datang membantu. Ia memasak untuk Lea. Setiap hari ia datang menghibur saudaranya itu agar kembali seperti dulu. “Ingatlah kau masih memiliki anak perempuan yang mesti kauperhatikan. Lea sudah beranjak remaja,” ucap Bibi Merr saat itu.

Baca Juga: Matinya Seorang Badut

Bibi Merr membuat brownies kukus untuk Lea. Brownies yang masih hangat dikeluarkan dari penanak nasi. Lea saat itu tidak berhasrat melakukan apa pun. Dia makan sangat sedikit. Dia bertanya-tanya apakah ibu akan selamanya bersikap seperti itu.

Ingatan masa lalu itu masih menghantuinya. Tetapi, mengingat lagi kata-kata yang diucapkan Bibi Merr, Lea memutuskan pergi menjenguk ibunya sore hari nanti. Sebenarnya niat ini sudah lama dia pikirkan, beberapa bulan sebelum Lebaran.

Pertanyaan tentang apakah ibunya tetap suka mengasihani diri sendiri, tenggelam dalam kerapuhan, dan hanya mengandalkan uluran tangan orang lain masih memenuhi kepalanya. Apalagi bila mengingat hubungan mereka yang semakin memburuk ketika Lea memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang menurut ibunya takkan bisa menjadikan Lea seorang ratu. Tidak sesuai dengan kriteria Ibu.

Sejak itu, meski telah diupayakan juga oleh suami Lea untuk memperbaiki hubungan Lea dengan ibu, hal itu seperti menemui jalan buntu. Tak menemukan jalan pintas untuk berdamai.

Di sore itu, akhirnya Lea mengunjungi rumah Ibu. Sesampai di sana, dia termangu di depan gerbang. Inilah rumah masa kecilku, gumamnya. Tempat kenang-kenangan membawa pulang banyak bingkisan saat Lebaran bersama ibu dan ayah memenuhi tiap sudut rumah itu.

Advertisement

Dia berjalan perlahan, membuka gerbang yang tidak terkunci. Dia melihat ke sekeliling. Dia menyaksikan ibu dalam balutan kerudung kuning tengah mencuci piring-piring dan gelas-gelas di tempat cuci berbentuk persegi yang terbuat dari semen dengan sebuah keran pendek yang berada di tengah.

Melihat Lea berdiri tak jauh dari tempat itu, seketika ibu melepas piring-piring yang penuh busa sabun cuci. Ia bangkit dari duduknya, mencuci cepat-cepat tangannya di bawah keran yang mengucurkan air. Sangat deras bunyinya. Ibu tampak tua, helai-helai uban jatuh di keningnya.

“Kau datang,” ucap Ibu sangat pelan, hampir tak terdengar.

Pertemuan itu masih diliputi perasaan canggung. Lea masih tak tahu ingin berkata apa. Dia melihat kembali ke piring-piring dan gelas-gelas yang dicuci.

“Sepertinya banyak tamu yang datang hari ini,” ujar Lea terbata-bata.

Ibu langsung tersenyum. Ia menjawab, “Iya benar. Sekarang aku menjamu tamu-tamu di rumah. Kerabat yang dulu sering kukunjungi bertanya mengapa aku tidak pernah datang lagi ke rumah mereka. Akulah kini yang mengundang mereka datang. Akulah kini yang membungkuskan mereka penganan-penganan untuk dibawa pulang. Aku kini yang banyak memberi. Dulu aku lebih sering menerima, sekarang aku lebih banyak memberi. Mereka sangat senang dengan soto lemak sapi buatanku dan es sirup yang kuhidangkan. Aku memasak banyak sekali. Aku selalu menunggu kedatanganmu bersama anak dan suamimu, Lea.”

Ibu tiba-tiba tampak terkejut. Ia teringat sesuatu, “Tunggu sebentar,” ucapnya sambil bergegas masuk dapur. Lea ikut masuk rumah. Dia melihat sekeliling ruang tamu. Suasana tidak berubah. Dia merindukan masa kecil di rumah itu.

Advertisement

Ibu muncul dari dapur membawa panci. “Aku memasakkan ini untukmu. Brownies kukus kesukaanmu. Coba kau cicipi. Apakah rasanya sudah bisa menyamai brownies kukus buatan Bibi Merr.”

Ibu memotong brownies itu dengan garpu, menyuapkannya perlahan-lahan ke dalam mulut Lea.

Lea benar-benar terharu. Matanya berkaca-kaca. Tetapi, dia tak ingin menangis sekarang. Dia berharap ibunya tidak kesepian lagi. Dia berharap kesibukan yang dikerjakan ibunya pelan-pelan menjadi penopang keseimbangan yang baru.

Ketika Lea menyuap sepotong lagi kue brownies kukus itu, samar-samar dia mencecap rasa pahit dan mencium aroma sabun cuci. Tetapi, dia tak menggerutu sedikit pun. Air matanya kini berjatuhan. Dalam satu tarikan napas, dia ingin segera menghambur ke pelukan Ibu.

 

Iin Farliani telah menerbitkan dua buku, yaitu kumpulan cerita pendek Taman Itu Menghadap ke Laut (2019) dan kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (2022). Sejak 2013 aktif berkegiatan sastra di Komunitas Akarpohon. Tahun 2022, ia mengikuti dua festival sebagai emerging writer di Makassar International Writers Festival (MIWF) dan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF).

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif