SOLOPOS.COM - Tuty Adib (kanan) dalam sebuah fashion show busana muslim, beberapa waktu yang lalu. (FOTO: Istimewa)

Tuty Adib (kanan) dalam sebuah fashion show busana muslim, beberapa waktu yang lalu. (FOTO: Istimewa)

Dulu busana muslim hampir tidak diperhitungkan dalam dunia mode. Satu dari sedikit orang yang berani memulainya adalah Tuty Adib, perempuan asal Solo yang kini dikenal sebagai perancang fashion muslimah. Namun siapa sangka jika semua ini berawal dari ketidaksengajaan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Dulu pada 1996 saya menikah dan pakai busana muslim. Tapi saat saya mencari, saya tidak menemukan ada busana muslim yang bisa jadi fashion, tidak membosankan dan keluar life style-nya,” kata Tuty, Sabtu (28/7) lalu.

Saat itu masih jarang ada orang yang memasukkan busana muslim sebagai salah satu cabang mode. Di benak orang, busana muslim memang jauh dari dunia mode, apalagi dipamerkan di catwalk. Justru dari situlah Tuty menemukan ide bisnis yang dia geluti sampai hari ini.

Gara-gara sulit menemukan baju muslimah yang cocok, saat itu Tuty memutuskan untuk membuat pakaian sendiri. Dia mulai merancang dan menggambar, kemudian dia serahkan pembuatannya pada penjahit kepercayaannya. Saat jadi dipakai sendiri dalam sebuah acara resmi, ternyata pujian bermunculan karena saat itu benar-benar jadi hal yang baru.

“Banyak teman yang merespons positif. Terus karena suami saya juga pebisnis, dia melihat ada potensi bisnis di sini. Dia lihat ada yang jadi pembeda,” kenangnya.

Dari situlah langkah Tuty untuk menjadikan busana muslim sebagai bisnis menjadi serius. Didukung dengan hobinya menggambar rancangan busana sejak kecil, dia memulai usaha dengan mengembangkan kemampuannya terlebih dahulu. Sadar bahwa dia tidak memiliki latar belakang pendidikan desain secara formal, dia pun belajar mulai dari nol. “Saya dulu kuliah di peternakan Universitas Diponegoro yang membuat saya jadi agak tomboi maka saya harus mulai belajar dari dasar.”

Tuty tidak mengambil kursus tertentu, namun memilih belajar secara autodidak. Namun autodidak yang dimaksudkannya bukan berarti asal-asalan, melainkan juga memakai pedoman. Demi belajar perancangan busana, perempuan kelahiran Magelang ini membeli banyak buku tentang teori rancang busana. Materinya pun tidak langsung meloncat pada soal mode tapi mulai bagaimana membuat pola pakaian.

Selain mempelajari teori dari berbagai buku, Tuty juga menyempatkan diri belajar dari perancang-perancang busana senior. Uniknya waktu itu dia belajar dari para perancang baju konvensional alias bukan busana muslim. Dia mau belajar dari mereka karena tahu bahwa teori perancangan pakaian di mana pun selalu sama. “Sama saja, yang berbeda kalau fashion muslimah kan ada koridor-koridornya. Harus menutup aurat, tidak tembus pandang, tidak keluar lekuk tubuh dan sebagainya.”

 

Bikin Pasar Sendiri

Begitulah akhirnya perempuan bernama asli Shriebangun Pujiastuti ini berani membuka rumah mode muslimahnya di Hotel Sahid Raya pada Oktober 2000 lalu dengan nama Bilqis. Beda dengan butik atau toko busana biasa, Tuty berani menawarkan baju-baju rancangannya sendiri dengan brand yang dibuatnya sendiri. Di Bilqis, dia menempatkan diri sebagai seorang perancang busana.

Jika saat ini nama Bilqis sudah jadi merek populer, Tuty mengaku hal tersebut tidak pernah terbayang dalam benaknya saat baru memulainya. Saat itu dia mengaku tidak punya reputasi sebagai perancang, namun kini dia justru makin eksis dengan buku-buku fashion dan mode yang ditulisnya. Ada dua buku yang sudah terbit, yaitu Classic Glam dan Flowing yang baru terbit Maret lalu.

“Saya dulu enggak menyangka bisa jadi seperti ini. Dulu niatnya hanya ingin menjadikan ini sebagai bisnis saja. Tapi jujur saja kalau perkembangan ini memang tidak terlalu lama.”

Tentu saja pencapaian ini tidak instan. Bisa dibilang, Tuty mengerahkan segala kemampuannya untuk mencapainya mulai dari kualitas rancangan, pendekatan media, sampai jeli melihat pasar. Dulu Tuty banyak memproduksi busana yang disebutnya ready to wear atau busana harian biasa. Setelah itu dia memunculkan brand dengan kelas berbeda dengan nama Bilqis White Label yang memiliki ciri berupa pakaian resmi. Di luar itu Tuty juga meluncurkan produk eksklusif yang diberinya label High End. “Ini tidak bisa di-repeat banyak, hanya satu sampai empat saja tiap item.”

Pasar pun terbentuk dengan sendirinya. Dengan harga mulai dari ratusan ribu rupiah untuk produk massalnya, pasar Bilqis memang berbeda. Namun Tuty mengaku tidak membuat produk untuk kalangan tertentu. “Mungkin banyak diminati kalangan menengah ke atas, tapi bukan berarti saya bikin produk hanya untuk menengah ke atas.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya