SOLOPOS.COM - Mahkota Anoman (Tri Rahayu/JIBI/SOLOPOS)

Mahkota Anoman (Tri Rahayu/JIBI/SOLOPOS)

SOLO–Sambil duduk bersandar dinding tembok, Gimin, 50, membalut kertas yang dibentuk sedemikian rupa dengan kain warna hitam. Keluwesan tangan Gimin bisa menghasilkan lebih dari 10 buah irah-irahan atau kuluk atau mahkota untuk kostum tari dan wayang orang per hari. Meskipun bekerja di industri rumahan, Gimin masih saudara dengan pemilik Gimo Collection, yakni Hadi Sugimo, 54.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Didik, karyawan lain di Gimo Collection, pun tak kalah gesitnya memasang hiasan pada bakal mahkota itu. Ia duduk tak jauh dari tempat Gimin. Hiasan dari kulit kerbau yang dicat berwarna kuning emas itu dipasang sesuai dengan jenis tokohnya. “Hiasan ini untuk mahkota tokoh gatotkaca,” ujar Didik saat dijumpai Espos, Selasa (12/3/2013) di pusat kerajian kostum tari dan wayang orang Dukuh Bacem RT 002/RW 001, Langenharjo, Grogol, Sukoharjo.

Selain Gimin dan Didik, masih ada empat orang karyawan lainnya yang bekerja bersama-sama. Mereka ada yang menjahit, ada yang memasang mote dan pernik-pernik lain pada mahkota dan bagian kostum tari atau wayang orang lainnya.

Perjalanan usaha Hadi Sugimo ini cukup panjang dan sudah melalui berbagai ujian. Keberadaan usaha yang dirintis sejak 1977 itu terus berkembang dengan kesabaran dan ketekunan Hadi Sugimo yang akrab disapa Gimo. Laki-laki asal Kulonprogo, Yogyakarta itu semula belajar membuat kostum tari di tempat pakliknya, Slamet Hadi Sumarto, di Ngemplak, Banjarsari, pada 1977. Saat itu, Gimo masih berusia 18 tahun.

“Saya yang memiliki inisiatif untuk belajar kerajinan kostum tari. Kala itu, saya minta bantuan simbok agar meminta Paklik ngajari saya. Dan ternyata disetujui. Sejak itu saya senang dan bersemangat. Tanpa digaji pun tak masalah, yang penting bisa belajar membuat kostum wayang,” ujar Gimo, saat dijumpai Espos secara terpisah.

Pria lulusan sekolah dasar (SD) ini bekerja sekaligus belajar di tempat pamannya selama 12 tahun, yakni 1977-1989. Pada 1989 itulah, Gimo menemukan pujaan hatinya, Etik Indriyani. Sejak dikaruniai seorang putri, Gimo berinisiatif untuk membuka usaha sendiri bersama istrinya. “Saya mulai mandiri sejak anak pertama saya, Vivit Ika Arifiani, masih berumur tiga bulan. Pokoknya dengan modal tekun dan sabar, saya memulai usaha dengan modal Rp100.000,” terangnya.

Modal yang minim itu dibelikan bahan untuk membuat binggel, sebuah gelang yang terbuat dari kertas bewarna emas untuk perlengkapan pakaian tari tradisional Jawa, termasuk wayang orang. Dengan bahan yang ada, Gimo dan istrinya mampu menghasilkan 20 kodi gelang dan dijual dengan harga Rp8.500/kodi. Gimo pun mampu menghasilkan Rp170.000.

“Labanya hampir 100% dari modal awal. Saya terus mengembangkan usaha itu seiring dengan banyaknya pesanan. Pesanan pertama datang dari Jogja, yakni sebanyak 12 buah mahkota kethek [kera]. Saat itu, satu buah irah-irahan saya jual Rp9.000,” kisahnya.

Hingga kini, Gimo bisa menghasilkan omzet antara Rp20 juta-Rp25 juta/bulan. Selain pakaian wayang orang, Gimo juga membuat kostum tari tradisional, seperti tari merak, kidang, golek, gambyong, gambiranom dan seterusnya. Pakaian tari itu dijual dengan harga Rp450.000/set, sedangkan pakaian wayang orang dijual dengan harga Rp800.000-Rp3 juta/set.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya