Lifestyle
Jumat, 1 April 2022 - 07:27 WIB

Hukum Ziarah Kubur Menjelang Ramadan

Damar Sri Prakoso  /  Oktina Sakti Nuraeni  /  Damar Sri Prakoso  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga menabur bunga saat berziarah di Tempat Permakaman Umum (TPU) Bonoloyo, Banjarsari, Solo, Minggu (20/3/2021), sebagai tradisi sadranan sebelum memasuki Ramadan. (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO — Di antara tradisi menjelang Ramadan (akhir Sya’ban) adalah ziarah kubur. Sebagian mengistilahkan tradisi ini sebagai arwahan, nyekar (sekitar Jawa Tengah), kosar (sekitar JawaTimur), munggahan (sekitar tatar Sunda) dan lain sebagainya.

Bagi sebagian orang, hal ini menjadi semacam kewajiban yang bila ditinggalkan serasa ada yang kurang dalam melangkahkan kaki menyongsong puasa Ramadan.

Advertisement

Memang, pada masa awal-awal Islam, Rasulullah saw memang pernah melarang umat Islam berziarah ke kuburan, mengingat kondisi keimanan mereka pada saat itu yang masih lemah. Serta kondisi sosiologis masyarakat Arab masa itu yang pola pikirnya masih didominasi dengan kemusyrikan dan kepercayaan kepada para dewa dan sesembahan.

Rasulullah saw mengkhawatirkan terjadinya kesalahpahaman ketika mereka mengunjungi kubur baik dalam berperilaku maupun dalam berdoa.

Akan tetapi bersama berjalannya waktu, alasan ini semakin tidak kontekstual dan Rasulullah pun memperbolehkan berziarah kubur. Hadis dari Buraidah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Saya pernah melarang berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah..! karena hal itu dapat mengingatkan kamu kepada akhirat.

Advertisement

Baca Juga: Doa Saat Ziarah Kubur Sesuai Ajaran Rasulullah SAW

Demikianlah sebenarnya hukum dasar dibolehkannya ziarah kubur dengan illat (alasan) tazdkiratul akhirah yaitu mengingatkan kita kepada akhirat. Oleh karena itu dibenarkan berziarah ke makam orang tua dan juga ke makam orang shalih dan para wali.

Selama ziarah itu dapat mengingatkan kita kepada akhirat. Begitu pula ziarah ke makam para wali dan orang shaleh merupakan sebuah kebaikan yang dianjurkan, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar al-Haytami dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra.

Inilah yang menjadi dasar para ustaz dan para jemaah mementingkan diri berziarah ke maqam para wali ketika usai penutupan tawaqqufan kegiatan majlis taklim. Sebagaimana yang ditradisikan masyarakat muslim di Jakarta dan sekitarnya.

Advertisement

“Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengn melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan,” ujar Ulil Hadrawi dikutip dari islam.nu.or.id, Kamis (31/3/2022).

Demikian pula perjalanan ke makam mereka. Adapun mengenai ikmah ziarah kubur Syaikh Nawawi al-Bantani telah menuliskannya dalam Nihayatuz Zain.

“Disunnahkan untuk berziarah kubur, barang siapa yang menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya.”

Demikianlah hikmah di balik ziarah kubur, betapa hal itu menjadi kesempatan bagi siapa saja yang merasa kurang dalam pengabdian kepada orang tua semasa hidupnya. Bahkan dalam keterangan selanjutnya masih dalam kitab Nihayatuz Zain diterangkan “barang siapa menziarahi kubur kedua orang tuanya setiap hari Jumat pahalanya seperti ibadah haji.”

Advertisement

Apa yang dikatakan Syaikh Nawawi dalam Nihayuatuz Zain juga terdapat dalam beberapa kitab lain, bahkan lengkap dengan urutan perawinya.

Seperti yang terdapat dalam al-Mu’jam al-Kabir lit Tabhrani juz 19. Rasulullah saw bersabda “barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya.”

Baca Juga: Inil Bacaan Doa Saat Ziarah Kubur dan Tata Caranya

Adapun mengenai pahala haji yang disediakan oleh Allah swt kepada mereka yang menziarahi kubur orang tuanya terdapat dalam kitab Al-maudhu’at berdasar pada hadis Ibn Umar ra.

Advertisement

Rasulullah saw bersabda “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya, maka pahalanya adalah sebesar haji mabrur. Dan barang siapa yang istikamah berziarah kubur sampai datang ajalnya maka para malaikat akan selalu menziarahi kuburannya.”

Akan tetapi tidak demikian hukum ziarah kubur bagi seorang muslimah. Mengingat lemahnya perasaan Kaum Hawa, maka menziarahi kubur keluarga hukumnya adalah makruh. Karena kelemahan itu akan mempermudah perempuan resah, gelisah, susah, hingga menangis di kuburan. Itulah yang dikhawatirkan dan dilarang dalam Islam.

Seperti yang termaktub dalam kitab I’anatut Thalibin. Sedangkan ziarah seorang muslimah ke makam Rasulullah, para wali dan orang-orang shaleh adalah sunnah.

Dimakruhkan bagi wanita berziarah kubur karena hal tersebut cenderung membantu pada kondisi yang melemahkan hati dan jiwa. Dari keterangan panjang ini, maka tradisi berziarah kubur tetaplah perlu dilestarikan karena tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Bahkan malah dapat mengingatkan akan kehidupan di akhirat nanti. Apalagi jika dilakukan di akhir bulan Sya’ban. Hal ini merupakan modal yang sangat bagus untuk mempersiapkan diri menyongsong bulan Ramadan.

Baca Juga: Misteri Makam Orang Belanda di Boyolali Yang Kerap Diziarahi

Advertisement

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Abdullah Faishol, mengatakan masyarakat Jawa memang masih kental dengan budaya maupun tradisi salah satu contohnya nyadran atau sadranan. Tradisi ini erat hubungannya dengan keagamaan, khususnya agama Islam. Tradisi nyadran biasanya dilakukan setahun sekali saat bulan Ruwah (Sya’ban) untuk menyambut datangnya Ramadan.

“Masyarakat Jawa menganggap tradisi nyadran ini sebagai bentuk pembersihan diri dengan cara berdoa. Yang saya tahu di beberapa daerah, nyadran itu sebagai bentuk rasa syukur untuk menyambut bulan Ramadan dengan saling memaafkan dan memberi. Saat nyadran, mereka mempersilakan semua orang untuk makan ke rumahnya walaupun hanya sedikit,” ujar Abdullah Faishol saat diwawancarai Solopos.com, pekan lalu.

Dalam tradisi nyadran terdapat kegiatan-kegiatan positif seperti silaturahmi dengan berkunjung ke rumah tetangga, menjamu tamu, berziarah ke makam untuk mendoakan para leluhur.

Menurut Abdullah Faishol, dalam hal tersebut tidak ada unsur syirik dan berarti diperbolehkan dalam agama Islam.

“Nyadran hanya berisi kegiatan-kegiatan positif yang justru dianjurkan dalam Islam, lalu jika ada orang yang bilang itu syirik, syiriknya di sebelah mana?” tambahnya.

Orang-orang yang berziarah ke makam kemudian membacakan doa atau membaca Al-Qur’an di sebelahnya dalam beberapa hadis justru disunahkan untuk mendapatkan rahmat atau barokah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif