SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pergi ke dokter gigi menjadi hal yang jarang dilakukan sebagian orang. Umumnya mereka malas datang ke dokter gigi lantaran kondisi giginya dianggap baik-baik saja, ada pula yang merasa takut melihat mesin bor gigi. Salah satunya Arum Purwanto, 26, warga Sukoharjo ini merasa tidak perlu datang ke dokter gigi, apalagi membuat data gigi atau odontogram.
“Hla buat apa ke dokter gigi kalau giginya baik-baik saja. Kecuali kalau saya sakit gigi baru ke dokter gigi. Membuat data gigi juga belum pernah karena saya merasa belum perlu,” katanya ketika dijumpai Espos, Selasa (22/5).
Hal senada diungkapkan Nurfajriyah, 23. Pegawai di sebuah perusahaan swasta di Solo ini tidak merasa butuh membuat data gigi. “Saya takut ke dokter gigi melihat mesin bornya, terakhir ke dokter gigi tahun lalu saat cabut gigi, setelah itu tidak pernah datang lagi,” katanya.
Periksa ke dokter gigi apalagi membuat data odontogram saat ini belum menjadi kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia. Padahal, selain untuk kesehatan, membuat data gigi atau odontogram kepada dokter gigi sangat berguna sewaktu-waktu khususnya jika suatu saat seseorang mengalami musibah maupun kecelakaan seperti yang dialami para korban jatuhnya pesawat Sukhoi SuperJet 100 di Gunung Salak, Bogor, baru-baru ini. Data gigi yang dimiliki korban dapat membantu proses identifikasi.
Walaupun hampir setiap orang tidak menginginkan meninggal karena kecelakaan, tidak ada salahnya orang membuat data medis dari mulai data gigi hingga data rekam sidik jari untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Sebab, tidak ada seorang pun manusia yang tahu apa yang akan terjadi padanya di kemudian hari.
Kepala Instalasi Forensik dan Medikolegal RSUD dr Moewardi Solo, dr Wahyu Dwi Atmoko, mengakui meskipun sangat berguna, belum banyak orang yang memiliki data rekam medis maupun data odontogram. Data odontogram, menurut Wahyu, merupakan data primer untuk melakukan identifikasi. Begitu juga dengan sidik jari dan deoxyribo nucleic acid (DNA) dapat mempermudah proses identifikasi. Dari ketiga data tersebut, data paling mudah yang bisa dipersiapkan sebagai antisipasi menghadapi kemungkinan terburuk berupa sidik jari dan odontogram. Sementara DNA tidak semua orang bisa mempersiapkan lantaran biayanya sangat mahal.
“Setiap orang pasti tidak mau mengalami musibah atau kecelakaan, mungkin itu alasan mengapa mereka tidak memiliki data medis termasuk data odontogram atau gigi geliginya dan sidik jari karena setiap orang struktur giginya tidak sama, begitu juga dengan sidik jari setiap orang berbeda-beda,” katanya.
Meski begitu, tidak setiap kecelakaan harus dilakukan proses identifikasi atau pencocokan. Proses tersebut umumnya dilakukan ketika ada kecelakaan maupun musibah besar yang menelan banyak korban namun jenazahnya tidak mudah dikenali seperti kecelakaan pesawat Sukhoi, musibah bom Bali maupun tsunami dan meletusnya Gunung Merapi hingga kasus pembunuhan dengan korban tidak dikenali.
Pada kasus kecelakaan Sukhoi, lanjut Wahyu, para korban awalnya sulit diidentifikasi karena jasadnya tidak utuh lagi. Hal tersebut membuat tim Disaster Victim Identification (DVI) harus bekerja keras dalam mengidentifikasi para korban.
“Kalau jenazahnya secara kasatmata bisa dikenali, tidak perlu identifikasi. Tapi, kalau jenazahnya tidak utuh seperti para korban Sukhoi tentu harus dilakukan identifikasi. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain, manusia begitu mulia walaupun meninggal dalam kondisi hancur tidak karuan tapi sebisa mungkin jasadnya dikumpulkan lagi sampai utuh dan diidentifikasi untuk kepentingan keluarganya,” terangnya.
Petugas forensik RSUD dr Moewardi yang menangani forensik gigi, drg Andy Yok MKes menambahkan proses identifikasi membutuhkan data antemortem dan postmortem. Data antemortem atau data sebelum kematian berupa data primer yang meliputi data ilmiah pada tubuh korban seperti sidik jari, data gigi geligi dan DNA. Setelah data antemortem lengkap, proses identifikasi dilanjutkan dengan mencocokkan data postmortem atau data setelah kematian.
“Kalau data sekunder bisa didapat dari properti yang digunakan dan dibawa korban seperti pakaian, perhiasan, tas, dompet,KTP. Data sekunder setiap orang bisa sama tapi data primer hanya ada pada satu orang,” katanya.

Promosi Kecerdasan Buatan Jadi Strategi BRI Humanisasi Layanan Perbankan Digital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya