SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Solopos.com, SOLO — Satu sabda Nabi Muhammad SAW yang sering disampaikan para penceramah adalah “Katakan yang benar walaupun itu pahit” (HR. Ahmad). Terhadap hadis tersebut sedikitnya terdapat tiga pemahaman.

Pertama, kebanyakan orang memahami sabda Nabi ini sebagai peringatan agar tetap berpendirian dalam menyuarakan kebenaran. Tidak peduli akibat dan risikonya pahit sekalipun. Pahit dalam arti berakibat buruk dan berat baik bagi diri pribadi maupun keluarganya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Kedua, sabda Nabi tersebut secara tersirat juga menunjukkan bahwa mengatakan sesuatu yang benar tidaklah selalu mudah, terlebih menyuarakan kebenaran kepada pemimpin atau penguasa yang zalim. Karena kebenaran yang diungkapkan itu dapat menyebabkan kemarahan pemimpin zalim terhadap orang yang menyampaikan kebenaran dan berbalik menghukumnya.

Ketiga, sabda Nabi tersebut dipahami agar setiap orang mengatakan apa yang benar tentang diri sendiri atau tertuju kepada diri sendiri. Bukan kebenaran yang menyangkut orang lain atau pemimpin. Sebab umumnya orang memang merasa berat—atau terasa pahit—untuk mengungkapkan keadaan diri sendiri yang sesungguhnya.

Dengan kata lain, mengatakan sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya menyangkut diri sendiri memang terasa berat karena berbagai alasan. Misalnya rasa khawatir kalau keburukan atau kelemahannya diketahui orang lain. Padahal sikap jujur pada diri sendiri ini akan menguntungan dalam proses perjalanan hidup berikutnya.

Mengapa demikian? Karena pada dasarnya kemampuan untuk mengakui kesalahan diri sendiri itu sudah cukup menunjukkan kebesaran jiwa dan keteguhan hati. Sebab hanya orang yang benar-benar teguh hati kepada harga dirinya sendiri saja yang sanggup dengan ringan mengakui kesalahannya jika dia memang salah.

Karena rasa harga diri yang kukuh itu maka suatu pengakuan akan kesalahan diri sendiri secara jujur tidak akan dirasakan sebagai kekurangan atau keburukan. Hal ini justru sikap yang baik dan merupakan suatu keuntungan, yaitu terbangunnya kebesaran jiwa untuk mengoreksi diri atas perilaku di masa lalu demi kebaikan masa sekarang dan yang akan datang.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Beruntunglah orang yang banyak mencari kesalahan diri sendiri, dan bukannya mencari-cari kesalahan orang lain” (HR. Ad-Dailami). Manusia itu begitu rupa semangatnya berkenaan dengan masalah kesalahan orang lain. Dalam pepatah Melayu diungkapkan: “Kuman di seberang lautan tampak, gajah bertengger di pelupuk mata tidak kelihatan”.

Betapa manusia sering mampu melihat kesalahan orang lain, biar sekecil apa pun, namun lupa akan kesalahan sendiri, biar sebesar apa pun. Bagi sebagian besar orang, mencari dan melihat kesalahan orang lain adalah manis dan menyenangkan. Sedangkan menyadari kesalahan diri sendiri adalah sesuatu yang pahit dan menyakitkan hati.

Mengatakan yang benar meskipun pahit, lebih tepat dipahami dalam rangka untuk banyak mawas diri. Kemampuan mawas diri atau introspeksi diri memerlukan rasa keadilan. Hanya orang yang mempunyai rasa keadilan yang tinggi yang mampu melakukan mawas diri. Sebab rasa keadilan yang tinggi itu yang akan membuat seseorang sanggup melihat segi kelemahan diri sendiri dan mengakuinya, di samping sanggup melihat segi kelebihan orang lain.

Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Wahai sekalian yang beriman, jadilah kamu semua orang yang teguh memegang keadilan, sebagai saksi-saksi bagi Allah, sekalipun mengenai diri kamu sendiri, atau kedua orang tua dan kerabat,” (QS. An-Nisa’/4:135). Memang tidak mudah bersikap adil dan mawas diri, namun itulah jalan terbaik menjadi menuju keberuntungan.

 

Mutohharun Jinan
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya