Lifestyle
Kamis, 21 Februari 2019 - 02:15 WIB

Jangan Sembarangan Bersikap terhadap Anak Keras Kepala

Redaksi Solopos.com  /  Ivan Indrakesuma  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 Solopos.com, SOLO— 

Aku enggak mau pakai sepatu merah!

Advertisement

Aku belum mau tidur!

Aku malas berangkat les!

Advertisement

Aku malas berangkat les!

Pokoknya aku mau nonton konser sama teman-temanku!

Begitulah sejumlah respons ngeyel dari beberapa anak yang tak jarang membuat orang tua geleng kepala. Ada kalanya orang tua menanggapi keras kepala buah hatinya dengan kepala dingin. Namun ada juga yang berujung perseteruan.

Advertisement

Misalkan saat diarahkan agar makan bubur di kursi tinggi. Sembari menangis, dia akan meronta minta makan di lantai sembari memainkan makanannya. Demikian juga soal pemilihan pakaian. Ada kalanya si kecil memaksakan keinginannya pakai kaus dan celana rumahan padahal diajak menghadiri kondangan.

“Biasanya kalau lagi sabar, aku bujuk si kecil. Dibilangi, masak enggak malu teman-teman seumurannya pakai baju bagus. Tapi kadang enggak keburu waktu, kami sudah siap pergi ya terpaksa deh dia dikasih baju yang enggak dia mau walaupun menangis. Ya, mau gimana lagi,” terangnya ketika berbincang dengan Solopos.com.

Yulia juga merasakan sulungnya yang duduk di kelas dua SD lebih kreatif dan keras kepala ketimbang adiknya. Saat diberi tahu jangan minum es pas cuaca sedang tidak menentu, alih-alih menurut, ia membangkang dan beralasan banyak temannya jajan membeli tapi baik-baik saja. “Pas dikasih tahu nekat, ngeyel, terus ujungnya sakit radang tenggorokan,” beber dia.

Advertisement

Pengalaman lain dirasakan Ima, 45. Ibu dua anak ini merasakan perbedaan membesarkan anak dengan karakter keras kepala dan penurut. “Sebenarnya ada plus dan minusnya. Yang keras kepala itu cenderung tahu apa yang dia mau. Yang satunya kayak pasrah saja gitu, kurang inisiatif, dan kalah mandiri ketimbang adiknya,” jelas Ima.

Ada kalanya Ima kerap dibuat jengkel oleh si bungsu yang punya sikap keras kepala. Terlebih sejak anaknya masuk SMP dan lingkar pergaulannya semakin luas dari beragam kalangan. “Dari SMP itu makin ngeyel. Kadang merasa lebih ngerti ketimbang orang tuanya. Jadinya malah di rumah kayak berdebat kusir,” paparnya.

Agar tidak stres menghadapi si kecil yang doyan ngeyel, alih-alih memberitahu segala hal, Ima mulai sedikit membiarkannya. Ia pun mengganti gaya pola asuhnya dari dogmatis ke demokratis.

Advertisement

“Modelnya berbeda. Satunya minta disetir, yang lainnya enggak bisa dikasih tahu. Jadi cara penanganannya juga lain. Yang ngeyelan biasanya aku biarkan dulu. Kalau misal kena batunya, baru deh pas suasana hatinya oke aku mulai ajak diskusi. Dari situ dia juga belajar tanggung jawab sendiri. Enggak perlu dikit-dikit dicereweti. Yang ada aku yang tensi.”

Sementara itu, Adi juga merasakan anak-anak yang beranjak dewasa ada kalanya ngeyel atau berargumen ketika diberi tahu. “Misalkan pas dikasih tahu kuota internet cepat sekali ludes, dia suka ngejawab HP enggak dipakai nge-game kok. Paling dipakai Youtube-an. Dikasih tahu jangan minum es juga gitu. Alasannya seharian belum beli,” jelasnya.

Adi dan istrinya biasanya merespons sikap keras kepala anak baru gedenya dengan cara berbeda. Kalau dia lebih memberi pengertian pelan-pelan, istrinya kadang memberi tahu dengan nada tinggi. “Kadang kalau pakai nada tinggi malah miskomunikasi. Karena anak kadang merasa lebih paham,” ujarnya.

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif