SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Antara(

Solopos.com, JAKARTA-Keberadaan orang Tionghoa di Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat, terkait erat dengan fenomena keluarnya mereka dari tanah kelahiran untuk berdagang ke seluruh dunia sejak berabad silam, salah satunya menuju Nusantara. Luasnya persebaran mereka tidak semata-mata membuatnya tetap menjadi etnis homogen. Proses akulturasi selama ratusan tahun juga telah melahirkan karakteristik unik dari orang Tionghoa di Nusantara, khususnya di Kota Padang.

Etnis Tionghoa perlahan mulai terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Padang bersama suku Minangkabau, Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda, dan Mentawai. Mayoritas masyarakat Tionghoa di kota seluas 695 kilometer persegi itu adalah sebagai pedagang.

Promosi Selamat! 3 Agen BRILink Berprestasi Ini Dapat Hadiah Mobil dari BRI

Mereka banyak terkonsentrasi di kawasan Pondok, pesisir Padang dekat muara Batang Arau, sungai yang membelah kota dengan Gunung Padang di Kecamatan Padang Selatan. Wilayah pesisir menjadi favorit etnis ini ketika menjejakkan kaki di suatu wilayah untuk tujuan berniaga sebelum menyebar ke wilayah yang lebih jauh di daratan Sumbar.

Sejarawan Mardanas Safwan, dalam Sejarah Kota Padang, menyebutkan bahwa masyarakat Tionghoa sudah berdiam di Kampung Pondok selama delapan generasi dan jumlahnya telah berkembang menjadi sekitar 20.000 jiwa pada 2021, seperti dilansir dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Padang.

Kendati tidak diketahui pasti kapan mereka mendarat di Ranah Minang, antropolog Belanda Fredericus Colombijn berkata lain.

Colombijn menduga, orang-orang Tionghoa masuk ke Padang dan daerah lainnya di Sumbar hampir bersamaan dengan tibanya bangsa Belanda. Yaitu, ketika organisasi dagang Hindia Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mendirikan markasnya di Padang pada abad 17 atau sekitar tahun 1664. Demikian ia ungkapkan di Patches of Padang: The History of an Indonesian Town in the Twentieth Century and the Use of Urban Space.

Kedatangan pertama etnis Tionghoa ke pantai barat di Minangkabau diperkirakan melalui pantai barat Sumatra. Seorang Indonesianis asal Inggris, Christine Dobbin, ketika meneliti budaya Minangkabau pada awal 1980-an menemukan bukti bahwa sesungguhnya orang-orang Tionghoa yang kini bermukim di Padang awalnya bermigrasi dari Pariaman dan sebagian lainnya dari tanah Jawa pada era 1630-an.

Dalam penelitiannya, Dobbin mengetahui, kapal-kapal dagang saudagar Tionghoa itu bersandar di Pariaman sejak awal abad 17.

“Kapal-kapal dagang etnis Tionghoa merapat di Pariaman termasuk dari agen dagang mereka di Banten untuk mencari rempah dan garam. Mereka dilaporkan sudah membangun usaha di Pariaman sejak 1633,” tulis Dobbin dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847.

Kesamaan sifat dan kebiasaan seperti etos berdagang, cepat beradaptasi dengan kehidupan lokal, serta kemiripan latar sosial budaya membuat etnis Tionghoa mudah diterima oleh penduduk asli Padang, yaitu suku Minangkabau. Pada sisi lain, menurut dosen sejarah Universitas Negeri Padang, Erniwati, semakin bertambahnya jumlah penduduk etnis Tionghoa dari masa ke masa awalnya turut disebabkan oleh kondisi alam. Itu terjadi ketika ada perubahan siklus muson setiap enam bulan.

Dalam bukunya Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatra Barat, Erniwati menyebut, setelah siklus muson berbalik arah ke daratan Asia, maka saudagar-saudagar Tionghoa akan balik ke negaranya. Tak sedikit pula dari etnis Tionghoa yang akhirnya memutuskan menetap dan melakukan kawin campur dengan masyarakat setempat.

Mereka kemudian membentuk sebuah identitas lokal baru yang unik dan di kemudian hari memperkaya khasanah budaya Minangkabau.

Dalam berkomunikasi, mereka banyak menyisipkan kosa kata bahasa ibu ke dalam bahasa tutur masyarakat lokal dan menghasilkan bahasa Minang Pondok. Contohnya cidang atau cici gadang untuk menyebut perempuan lebih tua. Cici artinya kakak perempuan dan gadang dalam bahasa Minang adalah besar.

Ada lagi batok dalam dialek Tionghoa yang berarti batuk, meski orang Minang melafalkannya sebagai batuak. Begitu pula ketika air diucapkan sebagai aek oleh para penutur Minang Pondok ketika masyarakat Minangkabau menyebutnya sebagai aia.

Tak hanya masyarakat Minangkabau yang dapat menerima orang-orang Tionghoa ke dalam kehidupan di Ranah Minang. Hal serupa juga telah membawa masyarakat Tionghoa khususnya kelompok pedagangnya kehadirannya disambut kolonial Belanda.

Mereka mendapatkan beberapa kemudahan di sektor perniagaan dan menciptakan ekosistem dagang yang lebih maju di pantai barat dan tengah Sumatra. Itu ditandai dengan mulai derasnya kedatangan kapal-kapal dagang dari Persia dan India selaku relasi usaha pedagang Tionghoa Padang.

Dobbin menulis, pada 1829, empat saudagar Tionghoa Minang seperti Li Heng, Li ma-chiao, Li Shing, dan Hu A-chiao muncul sebagai orang-orang terkaya karena kesuksesan mengekspor kopi asal Minangkabau ke Amerika dan daratan Eropa. Belanda juga mulai mengangkat patih dari kelompok Tionghoa untuk membantu mengatur perniagaan dan memungut pajak. Itu dilandasi oleh kemahiran patih-patih ini dalam berniaga dan menguasai beladiri kungfu.

Tujuan Wisata

Kolonial Belanda juga menetapkan Kampung Pondok sebagai permukiman khusus etnis Tionghoa di Padang lewat kebijakan wijkenstelsel yaitu Besluit van den Gouverneur van Sumatra’s Westkust nomor 758 tanggal 30 Oktober 1884. Hasilnya, Kampung Pondok menjadi pusat kegiatan etnis Tionghoa terbesar di Sumbar yang tecermin dari keberadaan Kelenteng See Hien Kiong, Pasar Tanah Kongsi, serta berbagai organisasi perkumpulan.

Dalam perkembangannya, hanya ada dua perkumpulan besar yang masih bertahan hingga kini, yakni Himpunan Tjinta Teman/Hok Tek Tong (HTT) dan Himpunan Bersatu Teguh/Heng Beng Tong (HBT). Pada masa sekarang ini, kawasan Pondok telah menjelma menjadi ikon baru wisata budaya di Kota Padang.

Perwujudan akulturasi masyarakat Tionghoa dan Minangkabau di Kampung Pondok yang telah terjalin berabad silam ditunjukkan lewat beragam kegiatan. Misalnya dalam menyambut Tahun Baru Imlek seperti adanya Pasar Malam Imlek, Festival Cap Go Meh, dan Festival Bakcang Ayam Lamang Baluo.

Seperti dikutip dari Info Publik, ketika membuka Pasar Malam Imlek, Rabu (11//2023), Wali Kota Hendri Septa menyebutkan, kegiatan tersebut untuk membuktikan sinergi tiap etnis di Padang dalam membangun negeri. Selain menjadi kegiatan tetap Dinas Pariwisata Sumbar, Pasar Malam Imlek adalah pembuka dari sekitar 46 event pariwisata di Kota Padang sepanjang 2023 untuk menyambut Visit Beautiful West Sumatra 2023.

Tokoh masyarakat Tionghoa Padang, Albert Hendra Lukman seperti diwartakan Antara menuturkan, rangkaian kegiatan tadi merupakan bagian dari perayaan Imlek yang kembali dilakukan secara terbuka setelah absen selama tiga tahun karena pandemi. Puncaknya akan terjadi pada 5 Februari 2023 ketika diadakan pawai besar-besaran berupa atraksi barongsai, reog dan kesenian Minang dari Jembatan Siti Nurbaya Batang Arau menuju Kota Tua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya