SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Penggunaan celah fiskal untuk kegiatan fisik dipastikan bakal menyedot anggaran untuk pelayanan dasar, semisal pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan lainnya. Kondisi ini sangat disayangkan sejumlah legislator, salah satunya Wakil Ketua DPRD dari Fraksi Golkar, Fuadi.

“Sesuai UU 32/2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang namanya celah fiskal itu untuk layanan dasar. Nah kalau uangnya untuk pembangunan fisik, ya uang yang sebenarnya untuk rakyat menjadi terpakai,” tukasnya pekan lalu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Membahas soal anggaran untuk pembangunan kantor kabupaten, Fuadi menilai terkesan nekat-nekatan. Pasalnya, walau belum jelas sumber dananya namun Pemkab digawangi Bupati bersikukuh meneruskan rencana itu. Tambahan lagi, alokasi dana senilai Rp 25 miliar pada DPU sebelumnya tidak ada pada kebijakan umum anggaran (KUA).

“Prinsipnya apabila menggunakan anggaran pemerintah daerah, kami dari Fraksi Golkar menolak. Bukankah pada mulanya Bupati sudah berjanji pembangunan gedung tidak akan melibatkan uang rakyat Boyolali. Terlebih setelah kami periksa dalam RPJMD, kegiatan pembangunan kantor Pemkab tidak menjadi kegiatan prioritas,” tegasnya.

Dengan masih nekatnya Bupati meneruskan rencana relokasi, Fuadi mengaku tidak ingin terlibat. “Seperti yang sudah saya sampaikan, kami dari Fraksi Golkar menolak penggunaan APBD untuk pembangunan. Jadi apabila nantinya adalah kasus hukum terkait persoalan pembangunan kantor Pemkab, kami tidak mau dilibatkan,” ujarnya.

Hal senada disampaikan pegiat Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Boyolali, Alif Basuki. Pelanggaran pada UU 32/2004 menurutnya membawa imbas kepada masyarakat khususnya masyarakat miskin. Sebab, dana senilai Rp142 miliar yang sebagian untuk pengentasan kemiskinan akan dialihkan untuk pembangunan fisik yang sebenarnya tidak dibutuhkan masyarakat.

Apa yang menjadi kekhawatiran wakil rakyat dan segenap elemen masyarakat memang tidak berlebihan. Pasalnya, untuk kegiatan layanan dasar, Boyolali masih punya seabrek PR besar. Salah satu contoh adalah tingginya tingkat kematian ibu melahirkan bahkan menunjukkan tren naik sejak 2006 hingga 2009. Tercatat pada 2006, jumlah kematian ibu melahirkan mencapai 66 orang tiap 100.000 kelahiran. Sementara pada 2009, jumlahnya membengkak dua kali lipat lebih menjadi 147 orang tiap 100.000 kelahiran.

Itu baru sebagian kecil kasus di bidang kesehatan. Untuk persoalan warga miskin, Boyolali juga belum mampu mengatasi. Terbukti hingga 2009 lalu, dari total jumlah penduduk sebanyak 951.717 orang, 26,12%-nya atau setara 247.446 orang masih berstatus miskin. Masih mengacu kepada pemetaan persoalan yang disebut dalam RPJMD 2010-2015, dari 599.749 orang yang masuk sebagai angkatan kerja pada 2010, sebanyak 20.000 orang di antaranya atau sebesar 3,33% diprediksi berstatus pengangguran. Jumlah ini naik dibanding 2009 dimana jumlah pengangguran mencapai 18.841 orang.

Dengan segala persoalan dalam rencana relokasi kantor kabupaten serta ketidakjelasan anggaran, anggota Badan Pekerja Forum Masyarakat Boyolali (Forabi), Munawar Syamsudin meminta Pemkab sebaiknya meninjau ulang rencana tersebut. Sebaliknya apabila rencana itu diteruskan akan menciderai masyarakat.

JIBI/SOLOPOS/Tim Espos

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya