SOLOPOS.COM - Ilustrasi orang batuk. (Freepik.com)

Solopos.com, SOLO-Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan pasien tuberkulosis atau TB yang menyebabkan mereka enggan menyelesaikan pengobatan. Simak ulasannya di info sehat kali ini.

“Pasien TB yang tidak mau mulai pengobatan atau pun tidak menyelesaikan pengobatan gara-gara masalah stigma,” kata dia dalam webinar TB-CAPS: Together Reducing Tuberculosis Stigma, dikutip dari Antara pada Kamis (24/8/2023).

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

Menurut Imran, masalah stigma dan diskriminasi perlu disikapi cukup serius melibatkan tidak hanya petugas kesehatan tetapi perlu adanya kerja sama dari sektor-sektor lain termasuk komunitas.

“Masih kurangnya pengetahuan masyarakat dan petugas kesehatan dan seringkali pasien menstigma dirinya sendiri, petugas kesehatan (harus) mempunyai perilaku kesadaran jangan menstigma pasien TB,” jelas dia.

Menurut Kementerian Kesehatan, stigma terkait pasien TB yang berkembang salah satunya adalah anggapan masyarakat bahwa ini merupakan penyakit masyarakat tidak mampu.

Selain stigma dan diskriminasi, pasien TB juga mengalami masalah dalam mengakses layanan TB yang berkualitas dan untuk mengatasi hal ini Imran mendorong adanya suatu umpan balik dari masyarakat terhadap pelayanan TB yang disediakan pemerintah.

Di sisi lain, dibutuhkan juga data dan informasi terkait hambatan dalam mengakses layanan TB, membuat lingkungan bersahabat bagi pasien untuk menyelesaikan pengobatan dengan baik serta memperkuat komunitas dan masyarakat untuk membuat lingkungan yang menyenangkan dan bersahabat bagi pasien.

Dari segi pengobatan, ini pun menjadi bagian dari tantangan bagi pasien. Menurut Imran, durasi pengobatan cukup lama membuat pasien TB sering disingkirkan atau diberhentikan dari pekerjaan karena dianggap tidak bisa bekerja dengan baik selama masa pengobatan.

Oleh karena itu, imbuh dia, nantinya diharapkan adanya pengobatan TB yang memungkinkan pemulihan pasien lebih singkat semisal dua bulan.

“Ke depan ada rejimen pengobatan yang hanya dua bulan dan pasien TB RO itu ke depan harapan kita ada pengobatan yang membutuhkan waktu empat bulan sehingga mereka jadi lebih cepat pulih dan segera kembali beraktivitas,” demikian harap Imran.

Menurut Kementerian Kesehatan merujuk laporan Global TB 2022 diketahui jumlah kasus TB terbanyak yakni pada kelompok usia produktif terutama pada usia 25 tahun sampai 34 tahun. Sedangkan di Indonesia jumlah kasus TB terbanyak yaitu pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 tahun sampai 54 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya