SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Kepergian (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Hatimu bergejolak membaca pesan yang dikirim cucumu. Semacam transkrip yang memiliki nilai sempurna. Ia selalu menutup pesannya dengan kalimat, “Aku akan menjadi perwira yang lebih hebat dari ayah dan kakek.”

Tangismu berderai. Dadamu sesak. Kau kepalkan tanganmu dengan begitu erat. Anak itu pergi tanpa permisi. Hari ketika ia pamit, kau menolak habis-habisan. Ia yang masih remaja kala itu kau kunci di kamarnya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Ia tidak berontak sebagaimana anak laki-laki yang dikurung dalam kamar. Tepat tengah malam, ia pergi melalui jendela. Hal yang tidak pernah kau bayangkan. Hari di mana ia mendaftar dan kemudian diterima menjadi tentara.

Kau melihat sekilas kakimu. Kau adalah lelaki yang hanya memiliki satu kaki. Kau hela napasmu. Anakmu memiliki nasib yang lebih buruk darimu. Cucumu bagaimanapun tak boleh menjadi tentara sebagaimana kamu dan anakmu.

Kau tidak ingin ia menjadi tentara melebihi apa pun. Ia boleh menjadi apa saja, asalkan jangan menjadi tentara. Kau pandangi lagi video-video yang ia kirimkan. Kau tersenyum sekilas, bangga, akan tetapi tak lama kemudian, bayangan-bayangan gelap itu berdatangan kembali.

Ia memiliki ketangkasan sepertimu, bahkan lebih hebat lagi. Ia mahir dalam pertarungan jarak dekat. Ia mampu membidik dengan tepat lemparan pisau meski dibidik hanya dengan sekelebatan mata.

Dalam pertarungan satu lawan satu ia lebih unggul daripada teman-teman sejawatnya. Gerakannya teramat lincah dan teknik kunciannya sungguh tidak terduga. Ia bisa mengunci lawan dalam hitungan detik.

Ia memiliki masa depan yang cerah sepertinya. Namun, lagi-lagi bayangan hitam itu berkelebat. Pertarungan jarak dekat tak akan banyak berguna di lapangan ketika dihadapkan dengan martir, peluru, granat, ranjau, dan semacamnya. Apa gunanya lemparan pisau jika dihadapkan dengan desingan peluru dan granat?

Lagi-lagi kau memutuskan untuk tidak membalas pesannya. Kau diamkan pesan itu. Meski dalam hati kau bangga, kau tidak merestuinya untuk bergabung dengan tentara. Ada luka yang tak bisa disembuhkan.

Kau tak bisa melupakan malam itu. Operasi Seroja. Perang yang tak pernah dimenangkan. Kau masih menjadi seorang perwira muda, kau datang ke sana dengan semangat berapi-api.

Kenyataan yang kauhadapi, kau kebingungan ketika sampai di sana. Pasukan yang konon disebut sebagai pemberontak, Fretilin, lebih menguasai medan perang. Mereka berlindung di rawa-rawa dan hutan belukar. Kau dan beberapa kawanmu ditugaskan untuk mengejar mereka.

Nahasnya pengejaran itu tidak dilakukan dengan cermat. Ranjau berada di mana-mana. Saat itulah kau melihat sendiri beberapa kawan karibmu meledak dan hancur berkeping-keping ketika menginjak ranjau. Kau berhati-hati. Kau awasi gerak-gerik musuh yang mungkin saja menyelinap dan menghabisi kalian saat tidak berdaya.

Namun, musuh tak kunjung keluar. Kau telah selamat hingga ke tengah. Kau rasanya ingin kembali, memperhitungkan kembali pengejaran itu. Yang kautakutkan di depan sana, semakin jauh masuk ke dalam hutan, lebih banyak ranjau yang bisa meledakkanmu kapan saja. Kau tak takut mati. Hanya saja, mati karena nekat, tanpa memperhitungkan lawan dan medan, adalah kematian konyol.

Menyerang tidak boleh asal membabi buta. Kau menunggu perintah. Ketika hujan peluru tiba-tiba menyerang dari arah tak terduga, komandan pasukanmu memerintahkanmu mundur. Dan itulah yang terjadi. Kau menginjak ranjau, kau terpental begitu jauh. Telingamu berdenging demikian memekakkan.

Di batas kesadaranmu, kau mendengar orang-orang berteriak memanggil namamu, menepuk pipimu hingga kau sadar kembali, sementara hujan peluru masih berdesing. Kau mencoba berdiri, tetapi kawan-kawan seperjuangan segera memapahmu menuju ke tempat aman.

Hatimu koyak tak terkira melihat kakimu sendiri. Kau tak bisa melanjutkan peperangan. Kau ingin menangis, tetapi entah kenapa kau merasa air matamu begitu kering dan sulit sekali untuk ditumpahkan. Kau lihat kaki kirimu. Telah hancur berkeping-keping. Kau tak lagi bisa bertarung. Hal itulah yang menyebabkan kau melarang anak-anak hingga seluruh keturunanmu menjadi tentara. Selalu ada pertaruhan nyawa yang terkadang berujung mati sia-sia.

Kau ingat hari kematian anakmu. Ia anak yang keras kepala. Kau mengatakan agar ia tidak usah menjadi militer. Ia adalah anak yang cerdas, memiliki nilai akademik yang bagus di sekolah. Kelak ia bisa saja menjadi pengajar yang baik atau menjadi dosen yang baik.

Ia begitu takjub dengan ceritamu tentang peperangan. Tentang hujan peluru, granat, dan senapan. Ia begitu bersinar mendengar pertarungan-pertarungan yang kau alami. Sesekali kau menceritakan tentang Mahabarata, tetapi rupanya ia lebih tertarik tentang cerita peperangan yang kaualami.

Ia mendaftar menjadi tentara tanpa sepengetahuanmu. Sebelumnya ia telah berlatih bela diri di sekitar rumahmu yang juga tanpa kau tahu.

Anakmu ditugaskan menjaga pendemo yang mulai rusuh ketika kerusuhan ‘98. Setiap hari, selalu ada orang yang melempari rumahmu batu dan hampir selalu ada kaca atau genteng yang pecah. Kau tak pernah berusaha mencari tahu siapa pelakunya. Menantumu sedang mengandung ketika suaminya sedang bertugas. Semua orang cemas ketika anakmu bertugas. Kau mengajak seluruh keluargamu berdoa, semoga kerusuhan yang tak diharapkan segera mereda.

Kau mendengar cerita yang menjadi saksi kematian anakmu. Ia sedang beristirahat ketika itu. Ia memilih beristirahat sendiri di tempat yang jauh dari kerusuhan. Ia melepaskan semua atribut tentara yang melekat pada tubuhnya, kecuali seragam. Ia benar-benar ingin bersembunyi.

Namun, ia salah memilih tempat beristirahat. Beberapa gerombolan mahasiswa sedang lewat dan ia menjadi sasaran amuk mahasiswa itu. Ia sempat melawan, ia berhasil menjatuhkan beberapa orang, tetapi ia seorang diri. Ia telah meletakkan senjatanya. Ia terus melawan, mencoba membikin ambruk beberapa orang.

Namun, ada yang melempar batu yang tepat mengenai pelipisnya. Pandangannya kabur. Ia tak bisa melihat apa-apa lagi. Lemparan itu disusul dengan lemparan yang berikutnya. Ia tak menguasai pertarungan. Seseorang menghantam wajahnya, menghajar tengkuknya. Ia tak ingat apa-apa lagi sampai akhirnya ada sekompi pasukan yang melihatnya yang segera berusaha menyelamatkannya.

Namun ia tak tertolong. Luka di bagian kepalanya cukup parah. Ia tak bisa diselamatkan.



Baca Juga: Pernikahan Setahun

Kau berduka yang sedalam-dalamnya. Sejak itu kau bertekad anaknya kelak harus dilindungi dari berbagai macam godaan menjadi tentara.

Namun nasi telah menjadi bubur. Sebagaimana ayahnya yang keras kepala, cucumu tetap mendaftar TNI. Ia marah begitu mengetahui bagaimana ayahnya mati. Ia dibunuh para pengecut. Kau ingin sekali menyampaikan mana yang lebih pengecut, lemparan batu kepada anakmu atau deru senapan dan granat terhadap lawan tidak bersenjata?

Kau melihat sendiri peristiwa itu. Salah seorang temanmu berhasil menangkap seorang anggota Fretilin. Ia tidak ditangkap atau dimasukkan ke dalam penjara. Pasukan Fretilin yang tertangkap itu disuruh lari ke dalam rawa menuju tempat persembunyian mereka. Tentu saja ia tidak dibiarkan lari begitu saja. Prajurit itu dibiarkan lari tapi kemudian setelah jaraknya agak jauh, ia dihujani peluru. Ia ambruk. Peluru menyasarnya tanpa henti. Ia rebah di atas ranjau dan meledak berkeping-keping. Kau melihatnya sendiri. Saat kau ditugaskan sebagai administrasi di sana setelah sebelah kakimu tak berfungsi lagi.

Belakangan kau tak bisa tidur dengan nyenyak. Malam telah larut. Lewat tengah malam matamu tak kunjung memejam sampai akhirnya sebuah pesan dari cucumu masuk.

Ia mengabarkan akan menjalani misi perdamaian pertamanya ke luar negeri. Beberapa kali ia telah ikut seleksi, tetapi ia tak pernah terpilih. Kali ini ia girang bukan kepalang.

Kau hela napasmu. Perang selalu berat. Tidak ada yang baik-baik saja ketika perang terjadi. Perang sudah berubah. Apa gunanya keahlian pertarungan jarak dekat jika menghadapi peralatan perang yang semakin hari menggunakan peralatan yang makin canggih.

Kau menutup ponselmu tanpa membalasnya. Kau memcoba memejamkan mata. Kau bimbang di antara mendoakan keselamatannya atau menyuruhnya pulang.

Ciputat, 14 Februari 2021

 

Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan Komunitas Prosatujuh. Cerpennya dimuat berbagai media cetak dan daring. Buku pertamanya yang akan terbit berjudul Melepaskan Belenggu. Buku itu akan diterbitkan oleh Penerbit Jagatlitera.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya