SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Ajo Bariang (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Empat puluh hari setelah kematian Ajo Bariang, kuburnya ditemukan berlubang tiga. Satu di dekat nisan, satu di tengah, dan satu lagi tepat di atas kaki.

Lubangnya menyerupai galian untuk menyemai benih jagung. Alamak! Biarpun zaman sekarang membuka lahan baru perlu modal setara dengan membeli motor baru, tidaklah mungkin sampai hati menanam tumbuhan di atas kubur.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Bila ditanya satu per satu kepada warga desa, siapa kiranya yang telah berusaha mengambil tali pocong Ajo Bariang, tentulah tiada satu pun yang berkenan. Kendati pun hidup hanya dari menjual biji kopi dan beberapa jenis sayuran yang lebih sering diserang kawanan orang utan, setidaknya lebih baik daripada menyepuh kekayaan dengan cara tak beradab itu.

“Tidak sudi mengambil apa-apa dari lelaki paling jahanam itu!” ujar salah seorang warga.

“Terkutuklah sesiapa yang mengikuti jejak Ajo Bariang,” sahut yang lain.

Bila diamati saksama, lubang itu tidak seperti bekas galian harimau. Kalaupun benar lubang itu ulah harimau yang sedang kelaparan, manalah mungkin tiada satu pun isi kubur yang raib. Anggota tubuh Ajo Bariang tak berkurang satu pun apa. Begitu juga tiga lapis kafan beserta peranti tali yang membungkusnya, masih lengkap.

Kegemparan ini bermula dari Basri yang hendak memeriksa kebun kopinya, mana tahu telah dirusak kawanan orang utan dari lereng gunung, melintasi kawasan pekuburan. Siapalah kiranya yang menduga ketika menginjak pematang yang teramat licin sebab semalam baru saja diguyur hujan, membuat tubuh Basri terjerembap.

Saking tak kuasanya menahan keseimbangan tubuh, Basri tersungkur tepat di depan muka nisan bertuliskan Ajo Bariang. Sebelum segala jenis umpatan keluar dari mulutnya, mata Basri lebih dulu menangkap keganjilan di gundukan tanah.

Tiga lubang bekas cakaran menganga lebar. Untunglah ada petani lain yang juga hendak ke kebun melintasi kawasan pekuburan. Kalau tidak, Basri bisa terkencing-kencing sampai semaput dibuatnya.

***

Kepergian Ajo Bariang bukanlah suatu kabar yang memilukan. Terlebih ia bukan golongan alim ulama yang namanya patut diagungkan. Tiada keistimewaan yang mesti dipuji semasa hidupnya. Malah, ia lebih dikenal sebagai laki-laki yang gemar menyambangi lereng gunung yang konon hendak merapal ilmu hitam.

Banyak yang melihat Ajo Bariang kerap mengitari hutan sambil menyebarkan desau mitos, bahwasanya barang siapa yang memasuki hutan pastilah akan celaka. Musababnya pohon putih yang disinyalir sebagai wujud dari rupa-rupa iblis terkutuk tumbuh subur di sekitar lereng gunung.

Jangankan menebang, mengambil rerantingnya saja untuk kayu bakar tiada seorang pun yang berani. Berdasar cerita yang berkembang, Ajo Bariang menggunakan bantuan iblis untuk menanam pohon putih.

Sebelumnya, kawasan lereng gunung hanya ditumbuhi pinus dan jati. Namun, semenjak Ajo Bariang turut menjadi bagian dari hutan, banyak bertumbuhan pohon putih di lereng gunung.

Bila ditanya apa motifnya, tiada yang tahu seperti halnya tak juga seorang pun tahu penyebab meninggalnya pria yang dianggap laknat itu ketika suatu sore seorang bocah mendapatinya mati tengkurap.

Di masa sengsaranya sebab telah ditinggal anak istri yang enggan hidup melarat, Ajo Bariang jadi sering bepergian ke lereng gunung. Mencari ketenangan. Di sana ia menemukan pepohonan besar tak bertuan, tak terawat, tetapi lebih banyak yang tinggal bonggol.

Jadilah Ajo Bariang sering mengunjunginya, sekadar tetirah, tak jarang sampai pulas tertidur. Ia juga menanami sepanjang lereng gunung dengan pohon putih. Muasal dari mana ia mendapat benihnya, lagi-lagi tiada seorang pun yang tahu.

Dari pemukiman, pohon putih tampak menjulang gagah. Ketika matahari baru saja terbit dan angin berkesiur pelan, daunnya akan melambai-lambai memancarkan cahaya keperak-perakan. Teduh daunnya bak payung raksasa.

Bila tak cermat akan menganggapnya pohon beringin. Yang membedakan, seluruh batang hingga pucuk daun berwarna putih.

***

Menjelang kematiannya, tak tersiar kabar bahwasanya Ajo Bariang sakit. Tak ada isak duka yang mengiringi kepergiannya. Barangkali kematiannya hanya dipersaksikan gubuk reyot yang tinggal menunggu waktu untuk roboh itu. Adalah Subhan, bocah yang kerap kali meminta bambu di dekat rumah Ajo Bariang untuk membuat badia batuang, yang kali pertama menemukan mayatnya.

Berniat meminjam parang, Subhan dikejutkan jasad Ajo Bariang masih dalam keadaan tengkurap, lengkap dengan bantal dan sarung yang melekati tubuhnya, juga setengah gelas kopi yang telah dikerubuti semut di sampingnya.

Baca Juga: Kliwon

Singkat cerita sebab tak begitu istimewa kabar kematian Ajo Bariang mulai tenggelam. Namun, kini namanya malah kembali mencuat ke permukaan dengan rumor yang lebih menggegerkan. Siapalah kiranya yang menduga empat puluh hari setelahnya usai dikeluarkan dari kubur, mayat Ajo Bariang mengeluarkan aroma ganjil.

Aroma yang tidak selazimnya untuk mayat yang telah empat puluh hari terbenam tanah. Aroma yang belum pernah mereka cium sebelumnya. Bahkan, aroma mayat Ajo Bariang lebih harum daripada aroma kopi terbaik yang pernah ada di desa itu.

Yang membenci tetap mengelak, “Mana mungkin mayat pemuja iblis berbau harum?”

“Itu bukan suatu keajaiban. Tapi, sebuah karma dari Sang Kuasa,” imbuh yang lain.

“Benar. Bahkan Bumi pun menolak membusukkan jasadnya!”

Basri melihat jasad Ajo Bariang yang terus diolok-olok. Agak iba dia. Sebab, walau telah binasa, tak lekang namanya menjadi bahan pergunjingan. Kejam juga orang-orang itu, pikirnya.

Saking sulitnya menindih-redam gemuruh di dada sebab perkara yang tak putus di akalnya itu akhirnya Basri berniat menyambangi lepau Kai Lado di ujung desa. Ia hendak menanyakan musabab dari semuanya.

Meski hidup menyendiri, Kai Lado bukanlah golongan pemuja iblis seperti gelar yang disematkan pada Ajo Bariang. Ia lebih dikenal sebagai tetua adat yang konon memiliki karamah untuk memahami hal-hal yang tidak diketahui manusia biasa.

Menjelang Magrib, berjalanlah Basri membelah desa. Diamatinya kebun kopi miliknya dan kebun lain di sekitar. Matanya awas menyelidik, mana tahu sekawanan orang utan dari hutan lereng gunung kembali menyerang kebun. Ternyata, kebun masih utuh.

Ke manakah kawanan orang utan itu? Pertanyaan itu menyemak-belukar di kepala Basri, tetapi ia sendiri tak mampu menjawabnya.



Basri tiba di lepau Kai Lado bertepatan dengan azan Magrib. Usai melaksanakan salat, dirinya bergegas menemui Kai Lado. Pria sepuh dengan wajah yang didominasi kerutan itu tersenyum menyambut kedatangan Basri.

“Masihkah kau meragukan kuasa Allah?” tanya Kai Lado menukik tanpa basa-basi.

Basri mengerutkan kening. Firasatnya, Kai Lado telah mengerti maksud kedatangannya. “Bilamana Kai memahami sesuatu, beri tahu awak tentang apa-apa yang tidak awak ketahui,” pinta Basri, nadanya serius. Kai Lado bergeming sejenak.

“Suatu waktu,” ia memulai, “Seekor induk orang utan turun menyambangi desa ketika orang-orang sedang terlelap. Tak begitu lama sampailah induk orang utan itu di sebuah rumah berdinding gedek. Mengetahui seekor induk orang utan menunggunya, si pemilik rumah enggan menemuinya karena takut kalau-kalau tubuhnya akan dihabisi. Oleh sebab itu, si pemilik rumah meminta bantuanku untuk menanyai maksud kedatangannya.”

‘Apa gerangan tujuanmu ke desa ini?’

‘Aku ingin melihat wajah orang yang telah sudi memperbaiki rumahku.’

‘Lalu?’

‘Aku ingin mengusap perutnya.’

‘Lalu?’



‘Dan aku ingin mencium kakinya.’

Tunai bercakap dengan induk orang utan, Kai Lado menemui si pemilik rumah. Lalu, disampaikannya maksud kedatangan induk orang utan itu. Namun, tetap saja si pemilik rumah enggan menemui. Menjelang Subuh, sang induk orang utan kembali ke lereng gunung dengan perasaan kecewa.

Beberapa jenak terjeda, Basri membuka suara. “Kai,” panggilnya. “Apa maksud dari semuanya?”

Kai Lado tak lekas menyahut. Ia menyeruput kopinya yang hampir dingin sembari menyilakan Basri untuk minum juga usai beberapa saat lalu diberi suguhan gadis belia yang barangkali putri Kai Lado. Beberapa saat kemudian, Kai Lado mengentak dalam satu kalimat yang sedikit mengagetkan, “Wajah itu kan pengenal utama, maka itulah yang mau dilihat pertama kali.”

“Lalu?” Basri mengikuti gaya bicara Kai Lado ketika berkisah.

“Perut manusia senantiasa mengajarkan: mengabdilah kepada perutmu dan jadilah hamba dari perutmu. Tetapi, si pemilik rumah tidaklah demikian.”

Basri memundur-mundurkan zaman, mengenang semasa hidup Ajo Bariang yang menolak keras ketika terjadi perburuan besar-besaran di lereng gunung. Pada masa itu, harga jual orang utan dan rusa sedang tinggi-tingginya. Hidup dari menjual biji kopi tidaklah cukup untuk membuat dapur mengepul. Jangankan menyekolahkan anak hingga sarjana, sedang hasil perkebunan hanya cukup untuk membeli garam. Maka, banyak yang akhirnya menuruti hawa nafsu untuk memenuhi tuntutan perut dengan segala cara.

“Yang terakhir, kaki adalah tanda hidup yang telah dilalui. Manusia bisa saja abai, tetapi binatang tidak akan lupa cara berterima kasih. Oleh sebab kebaikan si pemilik rumah itu, setiap langkah kakinya telah tercatat dan memberikan bekasnya pada kehidupan,” papar Kai Lado panjang lebar.

Basri mengangguk. Tetapi, Kai Lado masih saja mengamati saksama wajah Basri yang penuh rasa keingintahuan itu. Menyeringailah dia. “Kau tahu berapa lima tambah lima?” ujarnya lagi.



“Sepuluh, Kai.”

Kemudian, ia tersenyum. “Ada banyak cara untuk mencapai angka sepuluh: lima tambah lima, enam tambah empat, tujuh tambah tiga, delapan tambah dua, atau sembilan tambah satu. Semua hasilnya sama. Buruk dalam satu hal, belum tentu buruk jua dalam hal lainnya.”

***

Angin berkesiur dari arah lereng gunung membawa harum pohon putih. Kawanan serangga mengerumuni pucuk daunnya diiringi koak orang utan yang bergelantungan di setiap dahan.

Tak lagi didapati kawanan orang utan turun ke permukiman. Perkebunan kopi bertumbuh subur, begitu juga desau mitos lereng gunung. Seperti halnya tiada yang mampu mengubah penilaian mereka terhadap Ajo Bariang sebab sudah telanjur mengakar dalam masyarakat.

Tentang mayat Ajo Bariang yang menguarkan aroma harum pohon putih, bagi Basri hal tersebut sebagai keajaiban Tuhan. Namun, warga tetap menganggap ilmu hitam yang masih bersemayam di dalam jiwa yang membuat mayat Ajo Bariang demikian.

Pacitan, Januari 2023

 

Finka Novitasari, mahasiswi Manajemen Universitas Alma Ata, Yogyakarta. Sejumlah karyanya telah tersiar di media cetak maupun daring. Beberapa kali memenangi sayembara cipta cerpen tingkat nasional. Aktif dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak).



 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya