SOLOPOS.COM - Ayu/Prawitasari

Ayu/Prawitasari

Ratusan gelas plastik bekas menumpuk di dalam keranjang bambu. Menggenggam pisau dengan jari-jari tangannya yang dibalut perban kecil, Wandiyem, 60, dengan cekatan membuang plastik penutup gelas. Setelah bersih, gelas-gelas itu ia pindahkan ke dalam karung plastik.

Promosi Safari Ramadan BUMN 2024 di Jateng dan Sulsel, BRI Gelar Pasar Murah

Upah membersihkan gelas plastik 1 kg Rp1.000. Dalam satu hari, perempuan tua itu bisa membersihkan 4 kg-5 kg gelas plastik bekas. Dengan upah itu, ia bisa membeli beras dan segenggam kerupuk mentah untuk lauk makan siang dan malam. Tiga kali makan terlampau mewah, nenek dari belasan cucu itu menyebut makan dua kali sehari sudah cukup.

Jadi, jangankan Wandiyem berpikir membuat jamban sehat, terlintas membuat jamban yang tidak memenuhi standar kesehatan saja tak pernah. “Kan sudah ada sungai di belakang rumah,” ujar dia berkilah saat ada orang bertanya. Tak takutkah Wandiyem turun dari Tanggul Minapadi, Nusukan, Banjarsari ke Kali Anyar tiap kali panggilan alam datang, dia hanya tertawa. “Kalau pagi ya tidak takut kan sudah terang. Kalau malam agak takut, ya tinggal bawa lampu,” tuturnya terkekeh.

Tetangganya, Lestari, 52, mengacungkan jempolnya. “Ini memang nenek berani. Kalau saya tidak. Makanya saya buat WC meskipun sekadar WC blong,” tambahnya.

Yang dimaksud WC blong oleh Lestari adalah WC tanpa septic tank alias kotoran langsung menggelontor ke Kali Anyar, sungai besar yang ada di belakang rumahnya.

“WC dengan septic tank itu WC-nya orang berduit sebab uangnya gede, Rp2 juta lebih. Kalau WC blong murah, tak sampai Rp1 juta, Rp 500.000 lebih dikit sudah dapat,” begitu alasan Lestari.

Lagi-lagi alasan tambahan sama terdengar. “Kan sudah ada sungai,” imbuh Lestari.

Di tempat berbeda, waktu yang tidak sama. Ketua RT 003/RW 006 Pucangsawit, Jebres, Sularno, memilih duduk sendiri di bangku tengah pada acara sosialisasi pembangunan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) di Pucangsawit, Selasa (15/5) malam. Mukanya serius dengan pandangan lurus ke depan sementara tangannya tak henti menulis rangkaian kata di lembaran kertas undangan. Sularno rupanya tengah bersiap bertanya kepada sejumlah orang di bagian depan.

“Yang ingin saya tanyakan apakah warga miskin nantinya bisa mendapat keringanan ketika ingin menyambung pipa limbah PDAM. Sebenarnya saya dan warga berminat sekali dengan program ini. Tapi, karena hampir semua warga saya adalah warga tidak punya, jangankan disuruh bayar biaya pasang pipa, untuk makan saja sudah ngos-ngosan,” ujarnya.

Hampir semua warganya tinggal di dekat tanggul Sungai Bengawan Solo. Yang memprihatinkan, tak ada satu pun dari mereka yang punya jamban keluarga sehingga semuanya bergantung pada enam WC umum. Siang-malam tak jadi masalah. Namun pada pagi atau sore hari, barulah terjadi rebutan.

Yang paling cepat dialah yang mendapat. Selalu seperti itu, kata Sularno. Mereka yang bangunnya agak siang harus rela turun ke sungai untuk mandi dan buang hajat. “Jelas tidak sehat namun mau bagaimana lagi,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya