Lifestyle
Selasa, 7 Agustus 2012 - 08:44 WIB

MAHASISWA Asing yang Tak Merasa Asing

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Jun Chizuwa (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Jun Chizuwa (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

“Asal saya dari Wonogiri,” ujar Dina Ramiaramanana setengah bercanda. Ucapan mahasiswa program Magister Administrasi Publik UNS ini memang tidak serius tapi orang bisa terkecoh jika melihat parasnya.

Advertisement

Banyak rekannya yang menganggap Dina mirip dengan orang Indonesia. Padahal asalnya jauh dari seberang Samudra Hindia, tepatnya Madagaskar, pulau besar di sebelah timur Afrika. Tapi pemuda 26 tahun tetap santai dengan komentar orang tentang dirinya dan terlihat menikmatinya. Tiga tahun berada di Solo membuatnya akrab dengan masyarakat yang memiliki latar belakang budaya sangat berbeda, meski tak sepenuhnya dia pahami.

“Di sini, di mana-mana sangat ramai. Saya heran kenapa orang-orang di sini suka sekali kumpul-kumpul dan bergosip,” katanya saat ditemui Espos, Sabtu (4/8) lalu.

Advertisement

“Di sini, di mana-mana sangat ramai. Saya heran kenapa orang-orang di sini suka sekali kumpul-kumpul dan bergosip,” katanya saat ditemui Espos, Sabtu (4/8) lalu.

Pertemuan Dina dengan Indonesia dimulai saat dia ditawari untuk mengajukan aplikasi beasiswa Kemitraan Negara Berkembang atau KNB (beasiswa yang diberikan oleh Pemerintah RI untuk pendidikan magister di Indonesia). Seperti mahasiswa asing lainnya, Dina pun harus mengikuti program khusus agar bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sebelum kuliah. Dia memang wajib bisa berbahasa Indonesia karena dia juga tidak terbiasa bicara dalam bahasa Inggris. Karena itu, saat bergaul dengan sesama mahasiswa asing lainnya, dia memakai bahasa Indonesia.

Hal ini juga yang membuat Dina cukup akrab dengan masyarakat di sekitar tempat kosnya di Jebres. Di sela-sela waktu senggangnya, dia sering menyempatkan diri mengobrol di rumah ketua RT setempat. Karena cukup akrab dengan masyarakat sekitar kampus, dia bahkan sering menyebut dirinya sebagai bagian dari masyarakat lokal. “Kami ini masih bagian dari masyarakat Jebres,” ujarnya. Dengan sisa waktunya yang sudah tidak lama lagi di Indonesia, dia berusaha menikmati semua yang ada di sini. “Saya ingin secepatnya bisa menyelesaikan kuliah dan pulang dengan ingatan (kenangan) yang terbaik di sini.”

Advertisement

Sama seperti Dina, Danijel datang ke Indonesia dengan fasilitas beasiswa KNB yang diperolehnya pada 2010. Danijel memang sengaja tidak mencari beasiswa ke negara-negara Eropa yang punya universitas besar tapi mengambil beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Alasannya sederhana. “Saya ingin pergi ke negara yang berbeda, yang budaya dan agamanya beda dari Eropa. Ini yang namanya sekolah kehidupan.”

 

Belajar Budaya

Advertisement

Begitulah demi menjalani “sekolah kehidupan”, Danijel rela meninggalkan pekerjaannya bertahun-tahun. Di negara asalnya, Danijel bekerja sebagai wartawan Dnevnik, sebuah koran regional yang berbasis di Novi Sad, Serbia Utara. Di Solo, dia menjalani kehidupan seperti mahasiswa umumnya dengan tinggal di kos biasa. Maklum, selama kuliah, dia hanya bisa mengandalkan uang beasiswa Rp2,5 juta/bulan untuk semua kebutuhan seperti makan, tempat tinggal, buku dan lain-lain.

Selama kuliah pun dia tidak kehilangan jiwa petualangannya. Di sela-sela liburan, dia menyempatkan diri untuk melakukan perjalanan ke berbagai tempat, termasuk daerah pedalaman di Kalimantan. Dengan berbekal uang yang berhasil disisihkannya, dia melakukan perjalanan sebagai backpacker. Di sana dia menginap di rumah penduduk yang mau menerima dan memberinya makan. “Tapi kami bawa barang-barang berupa mainan anak-anak dan rokok buat mereka,” tutur Danijel.

Danijel memang antusias dengan kebiasaan masyarakat lokal. Dia tertarik pada musik dangdut yang baru ditemuinya saat tinggal di Solo. Bersama Dina, terkadang dia ikut menonton pertunjukan musik dangdut yang digelar warga di sekitar kampus UNS Kentingan. Di Solo pula dia mengenal kebiasaan merokok yang sama sekali tidak pernah diisapnya saat masih di Serbia. “Sebelumnya saya tidak merokok. Tapi begitu tahu rokok kretek di sini, saya suka.” Saking sukanya, dia mengirimkan rokok-rokok kretek lokal ke rekan-rekannya di Serbia.

Advertisement

Kebiasaan dan budaya unik yang ditemuinya menjadi inspirasinya dalam menulis. Selama di Solo, Danijel masih sempat menulis artikel tentang hal-hal yang ditemuinya di Indonesia untuk Dnevnik. Pengalaman-pengalaman itu pula yang menjadi inspirasinya dalam menggarap tesis tentang desentralisasi di Asia Tenggara.

Jika belajar budaya lokal adalah aktivitas di luar kuliah bagi Danijel, maka tidak bagi Jun Chizuwa. Mahasiswa asal Jepang ini memang datang ke Indonesia untuk mempelajari seni tradisi Indonesia. Di UNS, dia mengambil Jurusan Bahasa Indonesia selama enam bulan.

Berbekal fasilitas Beasiswa Darmasiswa (beasiswa Kemendiknas dalam bidang kebudayaan), Jun datang ke Indonesia pada 2011. Sebelumnya Jun menempuh kuliah S1 di Jepang dan baru diwisuda pada Maret lalu. “Makanya Maret lalu saya pulang ke Jepang,” katanya, Sabtu lalu.

Ketertarikannya mengambil beasiswa di Indonesia memang sudah sejak lama. Sebelum mengetahui ada fasilitas beasiswa di Indonesia, Jun memang tertarik dengan salah satu seni tradisional Indonesia, yaitu tari. Bahkan di Jepang, Jun pernah belajar dari seorang guru tari asal Indonesia.

Setelah lulus dari program tersebut, Jun tampaknya belum puas. Saat ini dia sedang menyiapkan aplikasi untuk ikut seleksi dalam program magister. “Kalau diterima ya saya terus di sini. Tapi kalau tidak, saya masih ingin belajar menari,” ujar Jun.

Dina Ramiaramanana (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Danijel Apro (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Advertisement
Kata Kunci : Asing Mahasiswa Merasa Tak
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif