Lifestyle
Selasa, 18 Juli 2023 - 14:35 WIB

Malam 1 Suro 2023 di Depan Mata, Begini Sejarahnya

Mia Chitra Dinisari  /  Astrid Prihatini WD  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah kerbau bule keturunan Kiai Slamet menjadi cucuk lampah saat Kirab Malam 1 Sura yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Kamis (15/11/2012) dini hari. (Foto: JIBI/SOLOPOS/dok)

Solopos.com, SOLO-Malam 1 Suro 2023 sudah di depan mata, tak ada salahnya mengetahui sejarah perayaan yang menandai awal bulan pertama Tahun Baru Jawa tersebut. Kalender Jawa kali pertama diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1940.

Tahun mengacu penanggalan Hijriyah (Islam). Di sejumlah daerah di Pulau Jawa, masyarakat Jawa masih tetap dijalani dengan laku atau lampah batin dan prihatin.

Advertisement

Dikutip dari laman Kemdikbud, satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di Bulan Sura atau Suro. Dalam penanggalan Jawa, dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu. Berdasarkan atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian).

Penanggalan Jawa memiliki siklus windu (sewindu tahun), di mana konsekuensi dari siklus ini adalah pada urutan tahun jawa ke 8 (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro berselisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharam dalam kalender Islam.

Advertisement

Penanggalan Jawa memiliki siklus windu (sewindu tahun), di mana konsekuensi dari siklus ini adalah pada urutan tahun jawa ke 8 (jimawal) jatuhnya tanggal 1 Suro berselisih satu hari lebih lambat dengan 1 Muharam dalam kalender Islam.

Setelah tahu sejarahnya ketahui pula bahwa 1 Suro biasanya diperingati pada malam hari setelah Magrib pada hari sebelum tanggal satu biasanya disebut malam 1 Suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.  Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat terlebih bila jatuh pada Jumat Legi.

Untuk sebagian masyarakat pada malam 1 Suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa atau pun melakukan ibadah lain Malam satu Suro yang sangat lekat dengan budaya Jawa, biasanya terdapat ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat atau kirab. Beberapa daerah di Jawa merupakan tempat berlangsungnya perayaan malam 1 Suro.

Advertisement

Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat keraton yang sekarang.

Menurut seorang pujangga Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit khas yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu merupakan hadiah dari Kiai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kiai Slamet saat PB II pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan.

Berbeda dengan perayaan di Solo, di Yogyakarta perayaan malam 1 Suro biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Para abdi dalem keraton, beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka menjadi sajian khas dalam iring-iringan kirab yang biasa dilakukan dalam tradisi Malam Satu Suro. Perayaan tradisi peringatan malam 1 Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan.

Advertisement

Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu, masyarakat Jawa pada umumnya selalu berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melakukan hal kebaikan sepanjang Bulan Suro. Tradisi saat malam satu Suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.

Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoni selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya. Latar belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di zaman setelah Nabi Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa.

Maka tahun 931 H atau 1443 Tahun Jawa baru, yaitu pada zaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu. Waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin  menyatukan Pulau Jawa. Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan.

Advertisement

Pada setiap hari Jumat Legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten, sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Akibatnya, 1 Muharam (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat Legi ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Sejarah Awal Mula Perayaan Malam 1 Suro

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif