SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Matinya Seorang Badut (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Beberapa jam sebelum insiden penembakan, Sofian menenteng nasi bungkus untuk makan malam. Dia melewati jalanan kampung yang sempit dan sumpek. Bocah-bocah kecil meneriakinya.

“Dasar anak iblis. Aku akan membunuh bapakmu!”Ia ingin menempeleng kepala salah satu dari mereka. Niat tersebut pupus. Bapaknya sudah sejak tadi menunggu di rumah. Ada anak yang berulang tahun menanti kehadiran laki-laki itu.

Promosi Tenang, Asisten Virtual BRI Sabrina Siap Temani Kamu Penuhi Kebutuhan Lebaran

Sodrun, bapak Sofian, melihat pantulan dirinya di depan kaca. Matanya cekung, senyumannya lebar mirip lengkungan pisang. Rambutnya serimbun semak belukar berwarna hijau stabilo. Perut Sodrun bulat layaknya ibu hamil.

Sofian menyiapkan dua piring dan sendok. Mereka makan dengan tenang. Tidak ada obrolan sore itu. Tidak soal ibu Sofian atau bunyi token listrik. Bapaknya menenteng koper berisi alat-alat sulap, menyalakan motor, dan menaruh pantat di bangku kemudi.

Sofian mengantarnya sampai depan rumah. Ia menatap lekat punggung bapaknya sebelum hilang ditelan jarak.

Riuh-rendah, gemuruh teriakan anak-anak meramaikan malam. Ketika sampai ruang tamu, Sodrun bersalaman dengan Harmoko. Matanya melirik sekilas ke kebun samping.

Para orang tua mengawasi anak-anak kecil. Duduk bergerombol mirip kawanan lebah. Busana mereka sempat membuat Sodrun tak percaya diri. Pasti dari kalangan ningrat, batinnya.

Ia mengembuskan napas panjang sebelum merapal sesuatu. Itu bukan pertunjukan pertamanya. Dari kamar ganti ia mengintip pesta yang berubah bak kapal pecah. Anak-anak menangis, merengek, dan berkelahi satu sama lain. Pembawa acara menyebut nama Sodrun.

Laki-laki itu keluar dari rumah sambil melompat mirip kelinci. Anak-anak menjerit, memanggil orang tua mereka. Telinga Sodrun berdengung. Ia tetap tenang, berusaha menguasai diri. Ia kemudian mengeluarkan lelucon pamungkas yang sering dia bawakan.

Anyep. Tidak ada tawa dari penonton. Keringat dingin keluar dari wajahnya. Riasan Sodrun hampir hilang entah karena keringat atau tangis. Sebagian orang tua membawa anak mereka pergi.

Kipas menyala meniup rambut laki-laki itu. Ia terbayang wajah Harmoko dan kariernya sebagai badut. Waktu berjalan lambat. Sodrun merasa seperti di neraka.

Ia melihat kue besar, tinggi menjulang. Segera tangannya meraih pisau dan mencari bocah pesta. Sodrun menempelkan belati di leher anak Harmoko.

Semua orang memandang laki-laki itu, ada yang memanggil polisi atau memegang kursi, hendak memukul kepala Sodrun. Namun, dicegah seseorang di sebelahnya.

“Kalian punya dua pilihan: menangis atau tertawa sepulang dari acara ini!”

Baca Juga: Malam di Kepala Tokoh Aku

Mereka menurut. Mengeluarkan bunyi mirip sapi mau dijagal. Si badut tersenyum puas, bibirnya melebar dengan mulut terbuka. Tawanya membuat tamu bergidik dan mengelus dada.

Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Dari kejauhan Harmoko membidik kepala Sodrun. Laki-laki itu tumbang ke tanah. Mulutnya menganga sementara matanya putih sempurna. Darah segar mengalir jatuh ke tanah. Bau anyir merebak ke udara. Leher sandera tergores, Harmoko memanggil istrinya agar membalut luka bocah itu.

***

Pelayat meninggalkan rumah duka dengan raut muka menahan tawa. Mereka mengingat kematian Sodrun sebagai tragedi. Orang-orang yang mengenal mendiang tak kurang-kurang memberi tahu soal bakat. Tak selamanya kerja keras membuahkan hasil. Ia harusnya menyerah sejak lama. Meski Sodrun pernah mencoba melawak saat sedang duduk bersama bapak-bapak lain, mereka tertawa karena rasa sungkan semata.

Sofian duduk melihat foto keluarga. Ada Mia, ibunya, yang setinggi kulkas dapur dengan kulit pucat dan bekas jerawat di muka. Ia gemar membakar uang untuk perawatan kulit. Sementara Sodrun memiliki mata mirip burung hantu dan jalannya sedikit pincang akibat pernah jadi korban tabrak lari semasa kecil. Keduanya gambaran dongeng dalam dunia nyata.

Mia mengajaknya kabur dengan seorang pria. Sofian baru pulang dari sekolah, masih berseragam, dan menenteng tas. Ia melihat ibunya duduk di sebelah laki-laki asing. Pria itu memakai setelan jas rapi dan kacamata hitam. Sofian mengira itu atasan ibunya.

“Kamu mau ikut dengan Ibu, Nak?”

“Bagaimana dengan Ayah?”

Kepulan asap rokok membumbung. Mia lalu membenamkan puntung ke dalam asbak setelah melihat anaknya batuk.

“Ayahmu sudah dewasa. Kamu masih butuh Ibu.”

“Aku mau menemani Ayah.”

Wanita itu menghela napas. Ia sudah mengira kalau anak itu lebih mirip bapaknya.

Mia memberikan kartu nama dengan nomor telepon. Ia bisa menghubungi ibunya jika terjadi sesuatu dengan Sodrun. Sofian mengantar dua orang itu sampai halaman rumah. Matanya tak bisa lepas melihat ibunya dicium dan digandeng lelaki asing. Mobil meninggalkan debu yang menyiksa mata.

Beberapa saat kemudian Sodrun datang membawa makanan untuk makan malam. Ia hampir selalu tersenyum setiap habis bekerja. Mereka makan di meja dengan tenang. Membicarakan apa yang terjadi pada hari itu. Sofian tidak menceritakan perihal kedatangan Mia. Sodrun mencium bau parfum istrinya menguar, tersisa di ruang tamu. Namun, ia memilih memendam hal itu.

“Sofian, meski Ayah tidak punya banyak uang. Ayah ingin kamu bahagia.”

Ia mengangguk.

“Ayah ingin jadi obat jiwa-jiwa yang mati dan tersakiti. Ibumu mau menikah denganku sebab hanya Ayah yang mampu membuatnya tertawa,” ungkap Sodrun. Sofian masih menyimpan kartu nama pemberian ibunya di dalam saku.

***



Sepeninggal Sodrun, Sofian menjalani hidup seperti petapa. Ia betah berlama-lama belajar di perpustakaan demi mempertahankan beasiswa. Sebab itu ia membeli kacamata baru. Di saat tidak ada mata kuliah, Sofian menjaga tempat fotokopi di depan gang. Cukup untuk biaya makan dan mengerjakan tugas dari dosen.

Kostum badut milik bapaknya tersimpan rapi di lemari. Di meja ada foto lama berbingkai, potret bayi kecil yang cuma bisa menangis. Seorang wanita tergolek lemah di kasur, mengulas senyum lembut.

Sofian kecil berada dalam dekapan manusia dengan riasan bedak putih tebal dan bibir semerah darah. Sodrun baru pulang dari pesta langsung menuju rumah sakit.

Niat untuk meneruskan wasiat bapaknya sering kali hinggap di kepala. Namun, ia ragu apabila ditertawakan banyak orang. Ia tak sanggup memakai baju kedodoran. Sofian merasa ada hawa pembunuh dalam kostum itu. Semenjak insiden di rumah Harmoko, banyak badut kehilangan pekerjaan dan beralih pekerjaan.

Televisi menghapus acara lawak. Kalangan konservatif punya dalih hanya setan yang suka tertawa. Pemerintah secara tidak langsung melarang rakyat untuk tertawa. Dewan perwakilan rakyat sedang menyiapkan undang-undang. Acara yang menampilkan rakyat miskin dan gosip artis lebih digemari oleh khalayak ramai.

***

Setelah lulus kuliah Sofian mendaftar sebagai anggota partai. Berbekal pengalaman ikut organisasi kampus dan kenalan sewaktu demo menentang kebijakan pemerintah. Sofian mengunjungi gedung perwakilan partai di kotanya. Bagian penerimaan menanyakan dosa-dosa laki-laki itu.

Rekam jejak sebelum menjadi politikus sangat penting bagi partai. Setelah menyerahkan berkas persyaratan ia diminta menunggu. Bagian administrasi mengatakan dosa terbesar Sofian adalah menjadi putra dari badut kriminal. Catatan hitam Sodrun yang pernah mengacau di rumah Harmoko, anggota dewan, bisa jadi bahan empuk bagi lawan politik.

Sofian sempat khawatir tidak bisa lolos menjadi calon anggota dewan.



“Jangan khawatir, Pak. Kami punya buzzer untuk menghalau serangan dari oposisi. Tapi, bapak harus ingat, tidak ada makan siang gratis. Semua ada timbal baliknya.” Perkataan petugas dengan dasi itu cukup membuatnya tenang.

“Semua bisa diatur, Pak. Asalkan saya bisa jadi anggota dewan.”

Keduanya berjabat tangan.

Setelah dinyatakan lolos oleh KPU, poster Sofian dengan tampang tersenyum dan kopiah bertebaran di sudut jalan. Sofian mempelajari cara untuk terlihat bersahabat dari Sodrun. Ia gemar membagikan bantuan sembako ke tiap kampung. Memberi pidato penyemangat kepada kaum papa dan terpinggirkan.

Saat hari pemungutan suara, hasil menunjukkan Sofian lolos ke Senayan mewakili rakyat daerahnya. Hampir sebagian besar warga kampungnya tak percaya dia bisa menebus dosa Sodrun.

Sebelum berangkat ke Jakarta, Sofian menggelar acara syukuran, menanggap penyanyi dangdut lokal. Beberapa pejabat setempat ikut datang. Jalanan kampung ditutup demi suksesnya acara tersebut. Warga menanti pidato Sofian, tanda acara dimulai. Laki-laki itu memakai pakaian necis, kopiah hitam, dan dasi. Sepatu pantofelnya mengkilat seperti habis disemir. Senyumnya menyapu mata kerumunan manusia yang menunggu santunan amplop.

“Saya Sofian, berjanji akan jadi pelayan bagi rakyat. Memikirkan nasib orang-orang susah dan mengurus janda tua. Setiap tuntututan kalian adalah perintah mutlak. Jika saya mengingkari janji, silakan Anda sekalian penggal leher saya.”

Pidato Sofian disambut tepuk tangan meriah juga gelak tawa.

Bumi Majapahit, 1 Maret 2023



Mufa Rizal, Cerpenis asal Mojokerto. Cerpen-cerpennya dimuat Suara Merdeka, Banjarmasin Post, Fajar, Rakyat Sultra, dan sejumlah koran lain. Buku kumpulan cerita terbarunya, Seekor Ikan Mencintai Kucing (Rua Aksara, 2023)



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya