Lifestyle
Sabtu, 24 Desember 2022 - 17:55 WIB

Menunggu Palang Kereta

Haniah Nurlaili  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen_Menunggu Palang Kereta (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Ketika kamu merasa waktu berjalan begitu cepat, coba saja menunggu di belakang palang kereta. Waktu tiga sampai lima menit menunggu kereta lewat dan palang dibuka akan menjadi waktu yang sangat lama.

Kamu akan bolak-balik menengok arloji, gelisah melihat ke kanan dan ke kiri. Membatin dalam hati, kapan si kereta akan lewat dan mengakhiri penantian ini. Kalau tidak percaya, coba saja. Karena setiap hari aku sudah membuktikannya.

Advertisement

Seperti pagi ini, layaknya hari-hari lain di hari kerja, aku memboncengkan anak pertamaku yang akan berangkat sekolah. Dua menit lagi kereta lewat dari arah selatan. Aku sudah mengantre paling depan, persis di belakang palang kereta.

Dari kaca spion, kulihat puluhan motor sudah berdesakan, berlomba untuk menduduki posisi paling depan. Begitu palang dibuka, layaknya bendera start mulai dikibarkan di arena balapan, semua motor akan segera tancap gas. Berlomba bukan untuk menjadi juara pertama melainkan mengejar waktu agar tidak terlambat mengantar anaknya ke sekolah ataupun tidak terlambat sampai ke tempat kerja.

“Ayah, kemarin Zidan nakal lagi. Dia ngrebut pensil Naura!” celoteh Arka di antara hiruk-pikuknya menunggu kereta lewat. Bagiku, tiga sampai lima menit menunggu kereta adalah kesempatan terbaikku untuk dekat dengannya. Kapan lagi dia akan bercerita tentang teman-temannya padaku ketika seharian aku berada di tempat kerja dan saat pulang dia sudah tertidur lelap.

Advertisement

Aku tak pernah memaksanya berangkat lebih pagi agar tidak terkena hiruk-pikuknya kemacetan di belakang palang kereta. Sejak pukul lima, istriku sudah sibuk di dapur, menyiapkan makanan untuk Arka, bekal untukku, dan makanan pendamping ASI untuk anak kedua kami yang masih bayi. Rasanya tak elok jika harus menuntut istriku untuk menyiapkan semua lebih pagi. Ketika baru siap berangkat pukul setengah tujuh dan harus berpapasan dengan kereta, aku tak apa.

“Nanti kalau Zidan masih nakal lagi bilang pada ibu guru saja ya,” jawabku sambil mengelus-elus lutut Arka yang membonceng di belakang. Kutengok ia mengangguk-angguk setuju.

“Yah, keretanya sudah kelihatan!” tunjuknya ke arah selatan. Rasanya mau menunggu tiga menit atau sepuluh menit pun, aku tak akan pernah keberatan.

***

Advertisement

Aku dibesarkan di pemukiman persis di seberang rel kereta yang lebih sering disebut daerah kulon palang, yaitu desa di sebelah barat palang kereta. Desa kami adalah desa yang terletak di pinggiran kota dengan penduduk cukup padat.

Pasar, sekolah, puskesmas, dan pusat pemerintahan terletak di sebelah timur rel kereta sedangkan pemukiman penduduk terletak di barat rel kereta. Sehingga, menyeberangi rel sudah menjadi aktivitas sehari-hari kami.

Karena aku dilahirkan di daerah ini, tentu aku sudah akrab dengan kereta api. Saat masih balita, kalau sedang susah makan, ibu akan menggendongku dan menyuapiku sambil melihat kereta yang lewat. Ibu senang karena tak perlu susah-susah mencekokiku dengan jamu yang pada akhirnya hanya akan membuatku gulung-gulung dan tetap tidak mau makan. Cukup keluar rumah, melihat kereta lewat, makanku pun langsung lahap.

Saat remaja, saat sedang jatuh cinta maupun putus cinta, melihat kereta dari teras rumah bisa terasa berbeda. Ketika jatuh cinta, melihat kereta yang lewat seperti berharap kereta itu akan membawa sang pujaan hati agar rasa rindu yang membuncah di dada ini tak perlu kutahan lagi. Sebaliknya, ketika sedang putus cinta, ingin rasanya naik kereta, pergi ke ujung dunia agar bisa melupakan semuanya.

Advertisement

Walaupun kereta sudah menjadi sahabatku sehari-hari, tapi kereta juga sempat menjadi hal yang sangat kutakuti. Saat itu, aku masih duduk di bangku kuliah.
Pagi hari ketika matahari baru terbit, warga desa kulon palang dikejutkan penemuan jasad seorang pemuda yang bunuh diri dengan cara berbaring di rel kereta. Saat ditemukan, kepalanya sudah terpisah dari tubuhnya. Anggota tubuh yang lain pun hancur, bahkan jari-jarinya ditemukan terlempar beberapa meter.

Tiga hari kemudian aku harus mengungsi ke kos teman. Bukan karena rumor hantu tanpa kepala yang sudah membuat geger warga desa. Aku hanya takut, saat itu aku yang sedang stres memikirkan skripsi yang tak kunjung selesai, jadi ikut-ikutan mengikuti jejak pemuda tadi.

Namun, ketakutanku kini kembali muncul. Bukan, tak ada lagi seorang pemuda yang bunuh diri, melainkan istriku, yang bagai petir di siang bolong, tetiba hari ini dia meminta pindah rumah. Dia benci karena setiap mau keluar rumah harus menunggu kereta lewat.

Kereta yang lewat dalam enam kali sehari itu sering bebarengan dengan jadwal istriku ke pasar, menjemput Arka, atau jadwalnya mengirim pesanan ke ekspedisi. Belum lagi suara kereta yang keras kadang mengganggu tidur anak kedua kami yang masih bayi.

Advertisement

“Kemarin aku ketemu temanku, dia mau beli perumahan baru di dekat persawahan ujung desa. Tapi tidak jadi.” Istriku mengawali cerita.

“Lalu?” jawabku sambil mengernyitkan dahi.

“Katanya tidak fleksibel. Mau keluar rumah ketemu dengan kereta. Menunggu kereta lewat itu sama saja dengan membuang-buang waktu. Mas tahu sendiri kan, kalau kereta lewat, macetnya minta ampun,” lanjutnya.

“Kamu tinggal atur waktu saja, kapan harus ke pasar dan ke ekspedisi agar tidak ketemu kereta. Arka kalau pagi sudah kuantar. Jadi paling kamu ketemu kereta hanya saat menjemput Arka,” jawabku memberi solusi. Masih masuk akal bukan? Daripada harus tiba-tiba pindah rumah. Menurutku, masalah ini masih bisa dicarikan solusi dengan kepala dingin.

Baca Juga: Cerita yang Mengalir

Tapi, nampaknya dia belum puas dengan jawabanku barusan. Dia memilih masuk ke kamar. Memang, jika dilanjutkan akan sampai ke mana-mana. Aku adalah anak tunggal sedang bapak sudah tiada. Kau tahu kan, pastilah aku mempunyai kewajiban untuk menjaga ibu. Sedangkan ibu tak akan semudah itu mau ikut pindah rumah. Apa ibu rela meninggalkan ayam-ayamnya di kandang dan berbagai tanamannya di kebun belakang? Terlebih lagi, ini adalah tanah kelahiran kami.

Advertisement

***

Hari ini hari Senin. Hari yang lebih sibuk dari hari lainnya. Para orang tua berjajar di belakang palang kereta dengan wajah cemas, takut anaknya terlambat mengikuti upacara. Aku masih memikirkan perkataan istriku kemarin lusa hingga tak sadar Arka mengajakku bicara.

“Yah, kok banyak petugas pakai seragam di dekat rel?” Arka menunjuk ke arah selatan di mana banyak petugas dari perusahaan kereta berkumpul. Pasti agenda untuk menaikkan rel beberapa senti seperti sebelum-sebelumnya. Rel kereta memang harus berkala dinaikkan agar tidak ambles bersama tanah.

Benar saja, esoknya, rel sudah kelihatan agak menonjol, terlihat naik daripada kemarin. Jika sudah seperti ini, biasanya kemacetan akan menjadi lebih parah. Bagaimana tidak, motor-motor itu akan tertatih-tatih menyeberangi satu demi satu batang rel dan tak jarang menyebabkan roda mereka tersangkut.

Mobil yang ada di belakangnya otomatis menjadi melambat, membuat motor-motor lain di belakang tak sabar dan ikut meringsek ke depan karena gugup melihat lampu lalu lintas sudah bertransisi dari hijau ke merah. Yang jelas, pagi itu menjadi pagi yang lebih kacau dari biasanya.

Sesampainya di tempat kerja, aku jadi kepikiran istriku. Pasti dia tambah sebal saat tahu keadaan itu. Aku sadar, aku dan istriku memang berbeda sudut pandang. Aku begitu menikmati waktu tiga sampai lima menit menunggu kereta karena di saat itulah aku bisa dekat dengan Arka. Tapi, bagi wanita dengan anak yang masih bayi dan seabrek tugas rumah tangga, pasti waktu lima menit sangatlah berharga.

Di tengah kecamuk pikiranku, gawaiku tetiba berbunyi. Tertera nama Ibu memanggil.

***

Di sebuah bilik sempit di IGD rumah sakit, istriku menangis tersedu-sedu sambil memeluk Arka sementara anak kedua kami berada di gendongan ibu. Kudengar dari ibu, wali kelas Arka tadi tiba-tiba menelepon istriku. Arka menangis meminta pulang karena dirundung temannya yang bernama Zidan.

Istriku yang panik, takut terjadi sesuatu pada Arka langsung meluncur ke sekolah tanpa sempat menitipkan anak kedua kami pada ibu. Ketika perjalanan pulang melintasi rel, roda motornya tersangkut, kemudian diseruduk pengendara lain di belakangnya.

Istriku oleng, malangnya kaki Arka tertindih knalpot panas. Untung anak kedua kami masih selamat dalam gendongan. Aku bingung, menatap langit-langit rumah sakit. Kemarin aku memang tidak menganggap masalah ini terlalu besar, tapi nyatanya hal buruk telah terjadi.

Aku mengusap-usap punggung istriku yang masih menangis. Sampai detik ini, aku belum bisa memutuskan apakah aku jadi pindah rumah. Apakah aku akan tega meninggalkan ibu sendirian di rumah atau tega melihat istriku susah payah. Yang jelas, pandanganku tentang tiga sampai lima menit menunggu palang kereta dibuka tak akan pernah lagi sama.

Haniah Nurlaili, lahir di Sragen, 27 Mei 1989. Sudah cukup lama vakum dari dunia kepenulisan dan sekarang sedang memulai kembali. Karya terakhir yang dimuat di media massa adalah cerpen di Detikhot berjudul Rambut Ibu pada 12 November 2022. Beberapa judul yang pernah dimuat di media cetak adalah Malam Pertama Rani (Joglosemar), Job Fair (Solopos), Pengemis Pasar (Joglosemar), Aku dan Pengemis Tua (Solopos). Pada Desember 2021 mengikuti event membaca cerpen yang diadakan akun Youtube Litera Cafe dan berhasil meraih juara pertama.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif