SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Musim Dingin Kejam (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Hari itu Minggu. Hari saat Marry merayakan ulang tahunnya. Layaknya Putri Salju, gadis kecil itu terlihat begitu cantik saat mengenakan gaun putih. Ia tersenyum malu seusai meniup lima lilin di kue ulang tahunnya.

Sekelompok badut yang sengaja diundang untuk menghibur pesta ulang tahun Marry sukses menarik perhatian anak-anak. Namun, suasana kegembiraan seketika berubah menjadi kepanikan saat Memei—a-yi (pengasuh anak) ditemukan tak sadarkan diri di dekat tangga dengan mulut berbusa.

Promosi Kampung Rosela Malang Terus Berkembang Berkat Pemberdayaan BRI

Semua orang yang melihat kejadian itu dibuat panik. Tanpa pikir panjang Xin Dao Chong dan istrinya segera membawa pengasuh anaknya itu ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk.

Di instalasi gawat darurat, Memei tergolek tak sadarkan diri setelah dokter rumah sakit berpacu dengan waktu menyelamatkan nyawanya yang nyaris tak tertolong. Di ruang tunggu, Xin Dao Chong berjalan mondar-mandir bagai orang linglung. Wajahnya merah dipanggang rasa amarah yang berkobar di dadanya seusai dokter yang menangani Memei memberitahu ada cairan racun tikus di tubuhnya. Ia yakin pengasuh anaknya itu hendak bunuh diri. Tidak mungkin ada orang lain yang hendak mencelakakannya.

“Aku akan melaporkan kejadian ini ke pihak keamanan Kota Beijing. Aku tidak akan membiarkan kejadian seperti ini terulang untuk kali ketiganya,” kata Xin Dao Chong geram.

Istrinya, Lee Tzie, menghampiri suaminya dan mencoba menenangkannya, “Tenanglah sayang. Pastilah ada sesuatu yang disembunyikan Memei hingga ia nekat melakukan tindakan gila ini.”

“Jika kamu tidak setuju dengan rencanaku, maka itu menjadi tugasmu untuk mencari tahu apa yang membuat Memei ingin mengakhiri hidupnya. Rumah kita bukan permakaman umum, dia harus tahu itu,” balas suaminya sebelum pergi dengan membawa api amarahnya yang masih menyala, membakar dadanya.

***

Sudah sepekan Memei bekerja seperti biasa, mengurus kedua anak majikannya setelah dinyatakan sehat dan boleh beraktivitas kembali oleh dokter rumah sakit yang menanganinya. Meski sudah diizinkan kembali bekerja, perempuan berusia 25 tahunan itu tidak seperti biasanya. Ia sering melamun, terutama saat bersama putri kecil majikannya. Tentu saja hal itu membuat Lee Tzie curiga. Dengan penuh perhatian Lee Tzie memanggil Memei ke kamarnya.

“Di kamar ini tidak ada siapa pun kecuali aku dan kamu. Putriku masih bocah dia tidak akan mengerti bahasa orang dewasa,” ujar Lee Tzie di hadapan pengasuh anaknya itu, “Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi padamu Mei?”

Memei menggeleng.

“Ada apa, Mei?”

Memei diam.

Sambil memegangi kedua pundak Memei, Lee Tzie kembali berujar, “Aku mohon dengan sangat ceritakanlah apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidup. Tidak sekali, tetapi dua kali. Apakah kamu tahu, apa yang kamu lakukan itu dapat menghancurkan keluargaku? Anggaplah aku sebagai kakakmu jika kamu segan untuk menceritakan alasan di balik tindakan nekatmu menenggak racun tikus yang nyaris merenggut nyawamu.”

Memei menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan air mata yang sudah di ujung sebelum ucapan yang membingungkan keluar dari mulutnya yang kering seperti sawah di musim kemarau,

“Mungkinkah semua orang kota merawat anak gadisnya seperti ini? Sejak aku bekerja di rumah ini, setiap kali aku melihat Marry meniup lilin ulang tahunnya, ia tampak seperti cerita dalam dongeng!”

“Apa yang kamu katakan, sungguh aku tidak mengerti.”

“Aku juga dulu mempunyai anak perempuan. Jika putriku masih hidup pastilah ia sama besarnya dengan Marry. Jika ia mengenakan rok seperti anak kota lainnya, pastilah sama cantiknya, sama lincahnya, dan merah pipinya pastilah sama merahnya dengan putri Nyonya. Sayang putriku yang malang telah dirampas hak hidupnya oleh tradisi yang kolot.”

Lee Tzie memeluk Memei erat. Sambil mengelus pundaknya ia berujar, “Ceritakanlah Mei, aku juga seorang ibu, aku merasakan apa yang kamu rasakan. Karena hal inikah kamu ingin bunuh diri?”

“Mungkin saja dengan bunuh diri aku dapat memeluk putri mungilku yang kedinginan.”

Lee Tzie tak kuasa meneteskan air matanya saat mendengar cerita Memei yang selama ini belum pernah didengarnya, bahkan dalam novel maupun serial film paling sedih sekali pun.

***

Di sebuah desa kecil di kaki Gunung Yimeng (yang luput dari perencanaan nasional Pemerintah China) nyaris warganya hidup dalam kemiskinan sampai-sampai mereka tidur dengan perut panas lantaran menahan rasa lapar.

Mereka seperti penghuni gua yang terisolasi dari dunia luar hingga tidak ada sesuatu yang dapat diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan hidup selain bertani.

Waktu itu tahun 1989, di usianya yang masih hijau Memei harus menukar masa remajanya yang penuh kegembiraan dengan tangis sedu sedan setelah dua tahun menjalani hidup sebagai seorang istri. Pada rahimnya yang masih muda, keluarga mertuanya menggantungkan masa depannya. Mereka menanti dengan debar saat Memei akan melahirkan bayi pertamanya.

Di kamarnya yang kecil hanya ditemani bidan desa, Memei mengerang kesakitan, tetapi ia begitu semangat saat bidan desa itu berujar, “Kepalanya sudah terlihat. Ayo dorong sekali lagi gadis cantik!”

Benar saja, tidak lama setelahnya tangis bayi merobek keheningan. Memei masih mengingatnya dan selamanya tidak akan pernah bisa ia lupakan kejadian yang begitu mengerikan dalam hidupnya.

Petang itu, di luar rumah salju tebal turun tidak hanya menutupi pandangan, tetapi juga membawa dingin yang membekukan tulang (tanda musim dingin yang kejam telah tiba). Tangisan suara bayi yang sudah sembilan bulan lamanya dinantikan tiba-tiba redup.

Bagai kobaran api disiram hujan, tangisnya yang menghangatkan jiwa Memei seketika padam, tidak lagi terdengar. Memei bertanya pada bidan di mana anaknya, ia ingin memeluknya — menyusuinya untuk kali pertama. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban apa pun.

Memei memperhatikan bidan yang menundukkan wajahnya saat keluar membawa baskom. Tidak lama kemudian suaminya datang membawakan sup dan teh hangat.

“Minumlah. Ini teh yang sudah dicampur madu. Sangat bagus untuk memulihkan tubuhmu yang lemah,” ujar suaminya dengan suara lemah.

Memei menampik mangkuk yang disodorkan suaminya sambil berujar pelan, “Di mana anakku? Kenapa tidak terdengar lagi tangisnya?”

Hening.



Memei yang sudah dipenuhi rasa curiga bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan sempoyongan keluar dari kamar, meninggalkan suaminya yang tak kuasa mencegahnya.

“Di mana anakku?” kata Memei setibanya di ruang keluarga. Semua orang yang ada di ruangan itu mendadak menjadi bisu. Ibu mertuanya menghampirinya dan mendudukkan Memei.

“Di mana anakku, Bu?” tanyanya lagi.

“Dia bukan anak, dia hanya seonggok daging merah,” balas mertuanya marah.

“Apa yang Ibu katakan?”

“Dengar baik-baik, jika yang kamu lahirkan seorang bayi, maka aku sudah menggendongnya dan menyanyikan lagu merdu untuknya.”

Memei yang curiga dengan jawaban mertuanya segera keluar rumah dan betapa terkejut dia saat melihat bayinya kaku direndam air dalam baskom. Seketika Memei jatuh pingsan melihat bayi yang belum disusuinya tergolek kaku dipenuhi salju.

Sepekan lamanya Memei mengurung diri dalam kamar. Hatinya masih diliputi kesedihan tak terperikan. Apa yang dulu sering ia dengar bahwa bayi perempuan tempatnya di langit, bukan di bumi barulah ia pahami. Ia kini mengerti apa arti kalimat berselubung kabut itu. Berbagai tanya kini berkelindan di kepalanya. Siapa yang mewarisi tradisi bengis ini? Ini bukan kehendak Tuhan, ini pembunuhan.

Sejak Dinasti Xia hingga China di bawah kepimpinan Deng Xiaoping, sistem pembagian tanah berdasarkan jumlah anggota keluarga sudah lazim dan terus-menerus dilestarikan. Dan, sejak Dinasti Tang pula perempuan tidak berhak mendapatkan tanah. Sejak saat itu, bayi laki-laki adalah mahkota. Mereka tidak hanya meneruskan marga, menjaga kehormatan keluarga, tetapi juga mewarisi dan mengelola kekayaan.



Baca Juga: Tiga Cita-cita Kasmin

Setiap anak laki-laki yang sudah mimpi basah berhak mendapatkan sebidang tanah dari pemerintah untuk dikelola. Itu sebabnya setiap orang tua yang menikahkan anak-anaknya mendambakan cucu-cucu bayi laki-laki. Terlebih mereka terlanjur memercayai nubuat leluhurnya bahwa masyarakat yang hidup bertani menganggap tenaga laki-laki lebih dibutuhkan untuk membajak sawah, menjaring ikan di laut, dan juga berburu binatang di tengah lebat hutan ketimbang tenaga perempuan yang tidak seberapa ketangkasannya.

Atas alasan itulah keluarga mertua Memei sangat marah dan tidak bisa menerima saat menantunya itu melahirkan bayi perempuan. Mereka telanjur percaya perempuan yang baik harus melahirkan bayi laki-laki, bukan bayi perempuan. Seperti hukum yang tidak boleh dilanggar, begitulah penduduk desa di kaki Gunung Yimeng menaatinya.

“Melahirkan bayi laki-laki adalah tugas suci para perempuan dan setiap anak gadis yang sudah menikah seharusnya sudah memahami itu,” kata mertuanya suatu hari menasihati Memei yang masih bersedih.

***

Waktu berjalan begitu lambat. Bergantinya nama bulan seperti bergantinya tahun. Di atas pengetahuannya yang sempit, Memei masih berjuang menjadi seorang ibu yang baik—yang melahirkan bayi laki-laki, bukan bayi perempuan.

Demi menjaga kehormatan keluarga, Memei dan suaminya diminta tinggal di kota. Mertua Memei tidak mau keluarganya dipergunjingkan banyak orang karena menantunya belum melahirkan bayi laki-laki. Sebagai seorang istri, Memei hanya menunduk pasrah, mengikuti suami dan kehendak mertuanya.

Kini sudah lima tahun lamanya Memei tidak berani pulang ke kampung halamannya. Suaminya juga sudah dua tahun yang lalu meninggalkannya seorang diri di tengah kota. Selama tinggal di kota, Memei bekerja sebagai pengasuh anak pada keluarga cukup mapan.

Setiap kali melihat ibu yang menggendong bayi laki-laki, Memei kerap mengajukan pertanyaan yang dianggap ganjil bagi orang kota, “Bagaimana caranya memperoleh bayi laki-laki?”



Pertanyaan yang ganjil pula Memei ajukan saat menceritakan masa lalunya kepada majikannya, Lee Tzie: Bagaimana perasaan Nyonya menjadi seorang ibu? Apakah mertua Nyonya tidak menyesal menantunya telah melahirkan bayi perempuan? Aku dulu juga mempunyai tiga anak dan semua yang kulahirkan bayi perempuan. Semuanya meninggal sebelum berumur sehari. Karena rahimku tak kunjung melahirkan bayi laki-laki, suamiku pun pergi meninggalkanku. Sebab, di desaku seorang perempuan baru dikatakan menjadi ibu jika melahirkan bayi laki-laki, lain tidak.

“Bayi perempuan hanyalah seonggok daging merah,” ujar Memei begitu marah saat menirukan ucapan mertuanya yang masih terngiang di telinganya.

 

 

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya