Lifestyle
Selasa, 3 Januari 2012 - 17:03 WIB

Nata de Cassava, Olahan Singkong yang Bernilai Tinggi

Redaksi Solopos.com  /  R. Bambang Aris Sasangka  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - NATA DE CASSAVA -- Suyatni, 42, warga Dusun Poncol, Desa Tempursari, Kecamatan Sidoharjo, menunjukkan Nata de Cassava yang dibuatnya. (JIBI/SOLOPOS/Ayu Abriyani KP)

NATA DE CASSAVA -- Suyatni, 42, warga Dusun Poncol, Desa Tempursari, Kecamatan Sidoharjo, menunjukkan Nata de Cassava yang dibuatnya. (JIBI/SOLOPOS/Ayu Abriyani KP)

Singkong atau ketela pohon yang selama ini dianggap murah dan biasa saja, ternyata dapat diolah menjadi berbagai kreasi yang mampu meningkatkan harga jual. Salah satunya menjadi Nata de Cassava yang dibuat oleh warga Dusun Poncol, Desa Tempursari, Kecamatan Sidoharjo, Wonogiri.
Advertisement

Awalnya, pembuatan makanan itu berasal dari penelitian mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Dan kemudian dipraktikkan di beberapa rumah warga. Nata de Cassava mirip dengan Nata de Coco. Hanya kalau Nata de Coco terbuat dari air kelapa, Nata de Cassava terbuat dari air rebusan singkong.

Singkong diparut dan direndam di dalam air selama tiga hari tiga malam. Setelah itu, hasil rendaman ketela pohon diperas dan diambil airnya. Sedangkan, ampasnya digunakan untuk pakan ternak.

Air tersebut kemudian dimasak dengan dicampur emulsi dan asam cuka 90%. Air itu kemudian dimasak dalam suhu 100 derajat celcius selama 30 menit hingga satu jam. Setelah itu, didiamkan selama sepekan dan dicetak di nampan-nampan. Jika telah mengendap dan mirip lembaran kain, kemudian direbus kembali tiga hingga lima kali untuk mengurangi rasa asam.

Advertisement

Nata de Cassava itu kemudian dipotong-potong dan dicampur dengan air gula untuk memberi rasa manis. Setelah itu, dikemas dalam gelas plastik yang kedap udara dan siap dijual.

Menurut salah satu warga yang membuat makanan itu, Suyatni, 42, pemasaran makanan tersebut baru sebatas pasar lokal Wonogiri seperti di kios-kios dan sekolah-sekolah. Harga jualnya kisaran Rp 1.000 hingga Rp 3.500/gelas plastik.
“Itu masih sedikit karena kami belum berani memasarkan lebih banyak. Saat ini kami masih menunggu izin dari Kementerian Kesehatan untuk keamanan konsumsi. Walaupun dari dinas (Disperindagkop dan UMKM-red) memperbolehkan untuk memasarkan terlebih dulu,” ungkapnya.

Sementara itu, Kades Tempursari, Trisno Widodo, produk ini masih terkendala bahan baku yang minim jika musim hujan tiba. Sebab, singkong lebih banyak dipanen saat musim kemarau. Untuk itu, warga menyiasatinya dengan membuat sebanyak-banyaknya saat musim kemarau karena jumlah panen singkong yang berlimpah. Saat direndam di dalam air, ketela pohon tersebut dapat bertahan hingga dua tahun.

Advertisement

“Kami berharap, usaha ini mampu menjadi usaha rumah tangga bagi masyarakat dan mampu meningkatkan pendapatan warga. Juga menjadi lokasi percontohan bagi wilayah lain di Wonogiri,” jelasnya.

JIBI/SOLOPOS/Ayu Abriyani KP

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif