Lifestyle
Senin, 14 Mei 2012 - 08:47 WIB

OBAT: Iklan, Seminar, dan Imej Obat

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Obat generik berlogo (OGB) yang diproduksi badan usaha milik negara (BUMN) adalah standar obat murah yang digunakan fasilitas kesehatan atau rumah sakit (RS) pemerintah. Nah, ketika semua instansi pemerintah menggunakannya, apakah kualitas generik masih patut diragukan?

Direktur RSUD Solo, Sumartono Karjo, mengibaratkan OGB itu masakan padang sementara obat bermerek di pasaran seperti nasi rames, pecel, soto dan lainnya. “Isi pokoknya tetap nasi kan? Hanya cara memasak lauknya yang berbeda. Seperti itulah cara gampang menjelaskan OGB atau obat generik dengan obat bermerek,” ujarnya, pekan lalu.

Advertisement

Karena mengandung zat aktif sama, lanjut Sumartono, kemampuan obat generik dalam menyembuhkan penyakit tidak berbeda dengan obat bermerek. Yang berbeda hanyalah obat bermerek lebih dikenal karena ada biaya promosi. Kemasannya juga lebih bagus. Terkadang, sambung Sumartono, obat bermerek mengandung zat tambahan yang bisa mempercepat penyembuhan. Karena itu, sebagian masyarakat dan dokter lebih memilih obat branded.

Sumartono menggambarkan secara sederhana, kalau obat bermerek bisa menyembuhkan penyakit dalam waktu setengah jam, obat generik butuh waktu empat jam. Keunggulan tersebut sering dipublikasikan dalam seminar kesehatan sehingga membentuk kesan bahwa yang berlabel itu lebih baik.

“Yang diharapkan dokter ketika memeriksa pasien adalah kesembuhan. Kalau obat berlabel bisa menjanjikan kesembuhan secara cepat ya tentu obat itu yang dipilih. Apalagi jika pasien juga ingin obat bermerek,” tutur dia.

Advertisement

Disinggung mengenai tanggung jawab dokter memberikan pemahaman yang benar mengenai obat generik kepada masyarakat, Sumartono mengakuinya. “Seharusnya dokter memberi edukasi. Saya lihat sudah banyak yang melakukannya. Namun kalau image dokter bahwa obat berlabel juga lebih baik, mau bagaimana lagi. Tergantung pribadi masing-masing,” ujarnya.

Sebagai dokter yang bekerja di RS pemerintah, Sumartono terikat aturan untuk menggunakan obat generik. Jika tak berpraktik di instansi kesehatan pemerintah, dokter tak dilarang meresepkan obat bermerek.

Meski demikian, kala tak berpraktik di RS pemerintah, Sumartono tidak berubah dalam memilih obat. “Saya tetap memilih generik kecuali pasiennya tidak mau. Ada lho, bahkan sering pasien menolak generik karena merasa tidak mantap. Pilihan pasien bagaimanapun harus dihormati,” ujarnya.

Advertisement

Mesti dokter swasta meski tidak terikat untuk menggunakan obat generik, dalam pertemuan dengan pemerintah, mereka selalu mendapat imbauan supaya menggunakan obat murah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif