Lifestyle
Sabtu, 29 Oktober 2022 - 08:00 WIB

Pagi Ini, Ibu Menelepon

Mashdar Zainal  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cepern Pagi Ini (Istimewa)

Solopos, SOLO—Pagi ini, ibumu menelepon. Panggilan biasa. Bukan panggilan video. Ibumu tak pernah suka panggilan video sebab suaranya kemresek, tidak jelas, putus-putus.

Jarang-jarang ibumu menelepon terlebih dahulu, kecuali ada hal-hal penting yang ingin dia tanyakan atau sampaikan. Biasanya kau yang menelepon terlebih dahulu. Dari seberang kau mendengar suaranya yang serak. Putus asa. Kau yakin, ada kabar penting yang musti kau dengar pagi ini.

Advertisement

Bapakmu! Bapakmu!

Suara ibumu terdengar patah-patah. Seolah sangat lelah dan ingin menyerah.

Bapakmu kambuh lagi!

Wajah itu membayang di pelupuk mata. Wajah bapakmu. Bergantian dengan wajah ibumu. Anak-anak rambut yang beruban, tulang-tulang pipi yang menonjol. Kisut keriput yang semakin merata. Sepasang renta yang semakin renta dari waktu ke waktu.

Haloo? Apa suara ibu terdengar?

Bapakmu kambuh lagi. Sudah seminggu ini. Setiap hari bapakmu mengoceh soal hari kiamat. Katanya dalam beberapa hari ke depan, kabut tebal akan turun dan matahari akan terbit dari arah barat.

Gunung-gunung akan beterbangan dan tanah akan bengkah, terbelah. Laut akan tumpah dan banjir bandang akan ruah. Sudah seminggu ini bapakmu tinggal di masjid. Tidak mau diajak pulang. Katanya, kalau banjir datang, masjid akan berubah jadi perahu dan menyelamatkan orang-orang yang berada di dalamnya.

Advertisement

Bapakmu memasukkan semua baju-bajunya ke dalam tas kain lawas miliknya, lalu menggotongnya sendiri ke masjid. Semula, bapakmu memaksa ibumu dan adikmu buat ikut, tinggal di masjid. Tentu saja ibumu dan adikmu menolak. Tapi, bapakmu bersikeras, tetap berangkat, sendiri, meninggalkan ibumu dan adikmu. Sambil menuding-nudingkan jari, bapakmu mengatakan ibumu dan adikmu bakal menyesal dan ditimpa celaka.

Sekurang-kurangnya, dalam sehari, lima waktu, ibumu datang ke masjid, meletakkan rantang berisi makanan ke hadapan bapakmu. Juga botol minum. Selepas ikut salat berjemaah, ibumu akan duduk di sebelah bapakmu untuk membujuknya makan. Kadang ibumu berusaha menyuapinya, seperti merayu anak kecil buat makan. Tapi, bapakmu selalu menolak, mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat sendok melayang mendekati mulutnya.

Kalau lelah, ibumu akan menyerah dan memilih pulang. Meninggalkan makanan itu dalam keadaan terbuka, di hadapan bapakmu. Dan bapakmu nyaris tak menyentuhnya. Bapakmu tidak mau makan, acapkali malah menyumpahi ibu. Katanya dunia akan segera berakhir, tapi ibumu masih sempat memikirkan soal makan, soal duniawi. Sungguh perempuan celaka.

Kata-kata bapakmu menjadi sangat agamis dalam kegilaannya. Hanya saja tingkah lakunya tidak. Saat orang-orang datang untuk melakukan salat jamaah, bapakmu tidak mau ikut salat. Cuma duduk melamun di saf paling belakang. Kadang menangis, kadang berzikir dengan suara sangat keras, kadang meraung-raung, hingga mengganggu jemaah lain. Saat ibumu menimpali bahwa orang yang tidak ikut salat juga bakal celaka, bapakmu mengatakan bahwa dirinya sudah melakukan salat sepanjang waktu.

Haloo? Begitulah. Ibu tak tahu harus berbuat apa lagi.

Bapakmu tidak mau diajak pulang. Adikmu pernah mencoba menggotongnya pulang, tapi malah kena bogem. Bapakmu juga tidak mau disuruh mandi. Badannya kurus. Gemetaran. Baunya sebusuk kaus kaki basah yang direndam berhari-hari, sungguh mengganggu para jemaah.

Untung saja bapakmu masih mau pergi ke toilet saat buang air. Bapakmu benar-benar sudah membuat keributan di masjid dan merepotkan banyak orang. Para tetangga terlalu baik, tak berusaha mengusir bapakmu. Katanya, selama masih dalam batas wajar dan tidak macam-macam, biar saja dia tinggal di masjid.

Advertisement

Pada akhirnya, ibumu mengalah, datang membawa sebaskom air untuk menyeka tubuh bapakmu yang tak terbasuh air selama berhari-hari. Itu pun dilakukan saat bapakmu tertidur. Ibumu terpaksa mencampurkan obat tidur dalam botol minumnya.

Ibumu lelah sekali. Sangat lelah. Begitu juga adikmu. Sementara pekerjaan di ladang terbengkalai. Adikmu sudah izin tidak masuk kerja selama lima hari. Pekan depan adikmu harus masuk. Mungkin kau memang harus pulang. Tak perlu lagi bertanya.

***

Bapak masih seorang bapak—yang kau kenal dulu, yang selalu mencemaskan anak-anaknya. Dalam sepasang matanya yang cekung, kau melihat ketakutan yang begitu besar. Sebuah ketakutan yang dipelihara hingga berkembang biak menjadi sebuah kesedihan.

Bapakmu tak banyak berkata-kata, tapi tatapan dan sikapnya berujar banyak: dia tak ingin melihat anak-anaknya hidup menderita dan serba kekurangan dan tak bahagia. Tanpa mengatakan apa pun, dia bersedia menukar nyawanya untuk itu.

Bapak masih seorang bapak—yang kau kenal dulu, yang giat memberi makan ternak di kandang, yang selalu ingin pergi ke ladang untuk menyiangi rumput, mengairi padi, serta memanen beberapa buah yang matang untuk dibawa pulang, jadi kudapan anak-anaknya. Kalian lima bersaudara dan empat di antaranya sudah berkeluarga. Menyisakan si bungsu, bocah lelaki 19 tahun, yang sampai detik ini tidak doyan makan sayur dan hidupnya sangat bergantung pada ibu.

Bapak masih seorang bapak. Kau selalu ingat, saat sepasang kakinya dipenuhi lumpur dan satu tangannya mencangking cangkul, sementara bahunya menyunggi buah nangka sebesar anak kambing dari ladang. Kau tak bisa lupa, saat dia pulang dari kondangan dan membawa nasi berkat dalam besek, kalian menunggunya dan dia membiarkan kalian berkerumun, bersantap bersama, sementara dia menatap kalian sambil merokok. Bayangan-bayangan itu akan bertahan dalam kepala kalian. Hanya sebagai bayangan. Sulit membayangkan hal-hal semacam itu terjadi di kemudian hari.

Advertisement

Tubuh bapak kini sudah begitu ringkih, wajahnya tirus, alis dan kumisnya mulai ditumbuhi uban. Dan dia tak pernah lagi tersenyum. Sepanjang hari dia hanya melamun dan melamun. Menatap sesuatu yang tak ada. Mengkhawatirkan perkara-perkara yang tak terbaca.

Pertengahan 2000, saat kau—anak sulung bapak—menikah, untuk pertama kalinya bapak dijangkiti penyakit itu. Kalian menyebutnya penyakit ingatan. Ketika itu, bencana alam dan kejadian-kejadian sakit datang silih berganti di negeri ini, dari tahun ke tahun, mulai dari tsunami, gempa, bom bunuh diri, berita-berita kriminal.

Bapak menyaksikan itu semua di TV, jadi bahan obrolan di warung-warung. Hingga suatu petang, ibu mendapati bapak menangis sesenggukan di sudut kamar. Badannya gemetar dan suhu tubuhnya meningkat. Itulah permulaan yang kalian ingat. Ketika itu, si anak bungsu masih balita. Dan kau sudah menikah serta adikmu yang nomor dua sudah merantau keluar kota. Bapakmu mencemaskanmu dari jauh, tanpa tahu bagaimana cara mengatasinya.

Baca juga: Gustavo

Selanjutnya, penyakit bapak berkembang dan merentet ke mana-mana. Sepanjang hari dia mengunci pintu rumah. Omongannya melompat-lompat. Dari satu bayangan ke bayangan lain. Dari satu kejadian ke kejadian lain. Dia menyuruh semua anggota keluarga untuk bersembunyi di kolong ranjang atau bawah meja. Katanya ada pemeriksaan.

Para tentara datang membawa senapan dan akan mengambil orang-orang dari tiap keluarga. Ibu tak boleh pergi ke ladang, apalagi berbelanja atau menemui tetangga. Begitu juga anak-anak. Bapak tak mau keluarganya hilang atau ditangkap.

Kau mengingat, tahun-tahun itu adalah tahun-tahun paling buruk dalam keluargamu, bulan-bulan paling goyah, dan hari-hari paling menyedihkan. Upaya penyembuhan tak henti-henti dilakukan, mulai dari mengundang psikiater sampai minta jampi-jampi ke orang pintar. Hasilnya nihil. Puncaknya, bapakmu diringkus dan dibawa ke rumah sakit jiwa secara paksa. Kau tak bisa lupa kejadian itu, ketika tubuh bapakmu harus diikat paksa dan digotong beramai-ramai ke dalam mobil. Seperti tawanan.

Advertisement

Terapi dan obat berangsur-angsur membuat keadaan bapak membaik. Seiring dengan itu, kau melihat perubahan drastis pada fisiknya. Tubuhnya selalu saja gemetar, tulang pipinya semakin menonjol, dan sepasang matanya semakin masuk dalam cekungan. Bertahun-tahun kemudian kondisi bapak kembali normal. Anak-anaknya yang lain tumbuh, merantau, menikah, dan meninggalkannya satu per satu. Bapak kembali pergi ke ladang, meramban pakan ternak, pergi ke warung dengan rekan-rekan sebayanya, serta melakukan hal-hal normal lain seperti orang tua-orang tua lain. Hingga pandemi datang.

***

Bapakmu tak mengerti, mengapa akhir-akhir ini semua orang menutup hidung mereka saat keluar rumah. Mengapa jalan-jalan ditutup. Gang-gang dibuntu. Pasar-pasar tak boleh buka. Sekolah-sekolah diliburkan. Orang bekerja dicutikan. Dan masjid-masjid tak lagi dikunjungi.

Sementara, di TV, setiap hari ada orang mati. Para tetangga dan kerabat jatuh sakit pada sore hari dan mati di pagi hari. Mengeluh pusing pada malam hari, dan tak bernyawa pada siang hari. Ini pagebluk. Tanda akhir zaman, kata bapakmu. Kiamat akan datang.

Sebelum sakit bapakmu kambuh, bapakmu menyuruh ibumu menelepon anak-anaknya setiap hari. Bapakmu tak akan tidur tenang sebelum ibumu meneleponmu dan adik-adikmu satu per satu. Padahal, ketika menelepon, bapakmu enggan ikut bicara. Selalu ibumu yang paling banyak bicara dan bertanya ini-itu.

Kian hari, ketika para tetangga dan kerabat semakin banyak yang sakit lalu tiada, Bapakmu semakin mengunci diri. Hingga tiba-tiba, dia memasukkan baju-bajunya ke dalam tas dan mengatakan ingin tinggal di masjid. Sebab, kiamat bakal datang dalam hitungan hari.

Haloo? Ya. Akhir pekan ini aku akan pulang, Bu!

Advertisement

***
Kau menutup teleponmu. Di hadapanmu, istrimu menangis tanpa suara. Cemas menatapmu.

“Ibu baru saja menelpon, katanya bapak kambuh lagi,” ujarmu.

Istrimu tak menimpali. Ia hanya menyodorkan sebutir kapsul dan segelas air. Menyuruhmu meminumnya.

“Ibu baru saja menelepon, katanya bapak kambuh lagi,” kau mengulangi kata-katamu.

Istrimu ingin menjawab bahwa ibumu tak mungkin menelepon sebab sudah dua bulan lewat dia dimakamkan, persis di samping makam bapakmu yang pergi tiga hari sebelumnya. Mereka dimakamkan dengan protokol ketat. Tanpa peziarah, tanpa pelayat.

Bahkan, ketika itu, kau tak bisa pulang untuk menghadiri pemakaman itu. Sampai detik ini, kau belum bisa berziarah ke makam mereka. Seolah dunia tak mengizinkan.

Sekitar tiga bulan silam, ibumu memang menelepon, mengabarkan bahwa bapakmu kambuh. Itulah telepon terakhir dari ibumu. Ketika itu kau bersikeras hendak pulang, tapi kondisi belum memungkinkan. Seolah dunia tak mengizinkan. ***

Advertisement

Malang, 2021

 

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, penyuka prosa. Buku terbarunya ‘Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon’, Penerbit Basabasi, 2020. Kini bermukim di Malang.

Advertisement
Kata Kunci : Cerpen Bapak Pageblug
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif