SOLOPOS.COM - Sajian pecel ndeso (JIBI/SOLOPOS/Mahardini Nur Afifah)

Sajian pecel ndeso (JIBI/SOLOPOS/Mahardini Nur Afifah)

Tak sulit menemukan bakul pecel gendong di Kota Bengawan. Mereka acapkali menyusuri lorong-lorong gang sempit di salah sudut perkampungan Kota Solo setiap pagi. Apabila keberadaan mereka sulit dideteksi, pelanggan bisa menyambangi bakul pecel ndeso yang sudah mangkal di sejumlah lokasi.

Promosi Oleh-oleh Keripik Tempe Rohani Malang Sukses Berkembang Berkat Pinjaman BRI

Pecel ndeso telah menjadi bagian keseharian menu sarapan warga Kota Bengawan. Sajian makanan vegetarian ini terbilang sederhana namun istimewa. Tak perlu merogoh kocek terlalu dalam, Uang Rp3.500 sudah bisa menikmati sepincuk nasi pecel plus lauk bongko atau gembrot.

Sepincuk nasi beras merah, akan dilengkapi dengan topping aneka sayuran yang telah di-pecel dan lalapan segar. Kesemuanya akan diguyur sambal hitam keputihan berbahan dasar wijen yang memiliki cita rasa pedas, manis dan gurih. Sebagai sentuhan akhirnya, bakul pecel akan menambahkan karak.

Dedaunan yang disajikan dalam sepincuk pecel terdiri dari daun pepaya, bayam, keningkir dan daun singkong. Pelanggan yang suka bisa menambahkan lalapan yang terdiri dari daun kemangi, melanding dan potongan timun.

Meski populer di Solo, pecel sambel wijen hitam yang acapkali ditemui di Kota Bengawan ini rupanya awalnya berasal dari berbagai dukuh di Desa Gagak Sipat, Kecamatan Ngemplak, Boyolali.

Salah seorang pedagang pecel ndeso asal Dukuh Banaran, Desa Gagak Sipat, Kecamatan Ngemplak, Ngadinem, 66, ketika ditemui Solopos.com di rumahnya, Jumat (8/3/2013) mengatakan sudah 40 tahun berjualan pecel ndeso. Saat ini ia hanya mangkal di depan SD Warga di kampung Mertolulutan, Solo, sepekan sekali.

Keterbatasan energi memaksa ibu lima anak ini hanya berjualan Minggu pukul 06.00 WIB-11.00 WIB saja. Dulunya ia menjajakan pecel dari kampung ke kampung di Solo.

Kesibukan pada Jumat pagi sudah tampak di rumah Ngadinem. Dibantu salah satu kerabatnya, ia mulai menata daun pisang yang akan digunakan untuk pincuk pelanggan. Sabtu pagi, kesibukannya sudah dimulai. Perempuan paruh baya ini mulai ke Pasar Mangu untuk berbelanja bahan dagangan saat hari masih gelap.

Rutinitas tak berhenti di situ saja. Tengah hari, ia mulai menyiapkan bumbu sambal wijennya yang khas. Lalu ia mulai menyiapkan bahan lain.

“Pengolahan sayuran dimulai pukul 21.00 WIB sampai pagi hari jualan. Biasanya saya tidak tidur untuk menyiapkan bahan. Itu hal yang lumrah bagi warga sini. Kalau tidak didadak sayurnya sayup,” katanya.

Banyaknya pedagang pecel Gagak Sipat yang berjualan di Solo tak menjadi soal untuk pembagian lahan rezeki. Ngadinem dan sejumlah pedagang lain memiliki etika tersendiri dalam berjualan. Apabila sudah ada pedagang yang masuk suatu kawasan, pedagang lain dengan sukarela akan mencari daerah lain.

Ngadinem merupakan generasi ketiga penjual pecel asal Desa Gagak Sipat. Saat ini kebanyakan penjaja pecel gendong asal Desa Gagak Sipat tinggal belasan. Mereka tersebar di Dukuh Kelipan dan Banaran. Ilmu meracik sambel pecel yang membuat makanan ini istimewa diturunkan dari nenek moyangnya.

Kadus Gagak Sipat, Rohmad, ketika ditemui Solopos.com di rumahnya, mengatakan generasi pembuat pecel Desa Gagak Sipat didominasi oleh perempuan berusia 35 tahun-70 tahun. Menurut Rohmad, saat ini tidak ada generasi muda yang mau nyemplung ke dunia pecel ndeso.

Pihak desa mendukung pelestarian pedagang pecel ndeso ini melalui program pinjaman bantuan bergilir dan menyajikan pecel asli desa mereka di setiap kesempatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya