SOLOPOS.COM - Ilustrasi Stunting di Jawa Tengah. (Solopos.com/Whisnupaksa)

Solopos.com, SOLO — Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, dr. Lovely Daisy, MKM, juga menyampaikan ada beberapa hasil survei yang perlu diperhatikan kaitannya dalam penurunan angka stunting.

Menurutnya berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia 2022, bahwa 18,5% dari bayi-bayi yang lahirnya itu sudah dengan stunting.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Hal itu perlu diperhatikan agar ke depan bayi-bayi tidak lahir dengan stunting. Salah satu upaya dini yang dapat dilakukan adalah dengan penguatan Ibu-ibu hamil,” ujar Lovely Daisy dalam Webinar Hari Gizi 2024: Dari Stunting Jadi Stunning, Senin (22/1/2024), yang disiarkan di Youtube Espos Live.

Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa ketika bayi tersebut memasuki usia 0-5 bulan, atau saat mendapatkan ASI eksklusif, ternyata angka stunting turun menjadi sekitar 11,7%. Dengan begitu menunjukkan jika nutrisi berdampak cukup besar dalam upaya menurunkan stunting.

Hanya, saat bayi mencapai usia 6-23 bulan, atau ketika bayi sudah mendapatkan makanan pendamping ASI, ternyata angka stunting kembali meningkat 1,5 kali lipat.

“Dari dua fokus utama ini sebenarnya, jika ingin cepat menurunkan stunting kita harus mencegah agar jangan sampai ada bayi lahir dengan stunting. Kemudian jangan sampai terjadi peningkatan angka stunting di usia 6-23 bulan. Intervensinya pada ibu hamil, sudah ada standar pemeriksaan kehamilan minimal enam kali. Kemudian pada balita di usia 6-23 bulan yang kita harapkan makanan pendampingan asinya benar-benar memenuhi kebutuhan nutrisinya,” kata dia.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai anak-anak mengalami sakit saat usia 6-23 bulan tersebut. Sebab jika anak sakit, maka nutrisi yang masuk dalam tubuh akan digunakan lebih banyak untuk menyembuhkan penyakitnya. Dengan begitu pada anak yang sakit, maka berat badannya tidak meningkat.

Target Pemerintah

Di sisi lain, sampai akhir 2024, pemerintah menargetkan 14% untuk angka stunting di Indonesia dari sebelumnya di 2022 sekitar 21,6%. Untuk merealisasikan target tersebut butuh upaya semua pihak serta perlunya pencegahan secara dini.

Kepala BKKBN, Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) yang juga Ketua Tim Pelaksana Penanganan Stunting, menyampaikan perlu upaya strategis untuk menurunkan angka stunting tersebut.

Menurutnya ada upaya jangka pendek, menengah dan jangka panjang dalam penanganan stunting. Pada jangka pendek, jika ada bayi yang mengalami kekurangan nutrisi, dan tidak ada latar belakang lain, dapat diatasi dengan faktor spesifik. Jika penanganan dilakukan sebaik-baiknya diharapkan akan cepat terkoreksi.

“Namun dengan catatan tidak ada masalah yang terlalu berat. Jadi untuk faktor dekat ini, misalnya dengan pemberian makanan tambahan, ASI ekslusif, dan lainnya,” kata dia dalam Webinar yang sama.

Kemudian untuk jangka pendek, misalnya adalah dengan melakukan antisipasi agar bayi yang lahir tidak stunting. Misalnya dengan menyasar calon ibu hamil dan ibu hamil. Ibu yang mau hamil, diupayakan jangan sampai kondisinya tidak memenuhi syarat untuk hamil misalnya mengalami anemia, kekurangan gizi, terlalu kurus dan lainnya.

Menurutnya berdasarkan data yang ada di BKKBN, wanita yang siap nikah atau siap hamil tapi kondisinya masih kurus jumlahnya masih di atas 15%. Hal tersebut penting untuk dikendalikan agar jangan sampai berdampak pada anak yang dikandungnya. Disebutkan jika jumlah pasangan menikah dalam satu tahun yang tercatat sekitar 1,9 juta. Dari jumlah itu yang hamil di tahun pertama sekitar 1,6 juta. Sebab dari data yang ada, 80% dari wanita yang menikah, hamil di tahun pertama.

“Bisa dibayangkan kalau stunting 20%, sekarang 21%, itu kalau yang nikah 1,9 juta maka yang lahir tahun pertama 1,6 juta. Jika dihitung, 21% dari jumlah bayi yang lahir hampir 320.000 anak, sehingga bisa dibayangkan ada 320.000 anak lahir stunting baru,” kata dia.

Hasto mengatakan secara teori, hal itu bisa diantisipasi dengan edukasi. Namun perlu keterlibatan berbagai pihak dalam hal ini. dikatakan jika edukasi tersebut dapat dilakukan dengan menyentuh jalur masuk pernikahan. Seperti di KUA, gereja atau lainnya.

Dengan kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama dan pemerintah daerah, bisa dibuat semacam ketentuan yang mewajibkan semua pasangan yang akan menikah harus periksa kesehatan. Jika memang tidak sehat, maka perlu adanya treatment khusus.

Sedangkan pada strategi jangka panjang, yakni menyasar pada sanitasi, pendidikan dan kemiskinan. Namun perlu dipahami bersama, jika pembenahan sanitasi dilakukan di tahun ini, bukan berarti dampaknya akan terlihat di satu tahun berikutnya. Dampak tersebut mungkin baru akan terlihat di beberapa tahun kemudian.

“Jadi jika diinginkan penurunan stunting yang cepat, maka treatment yang harus dilakukan adalah pada penyelesaian jangka pendek dan intermediate,” kata dia.

Staf Ahli Menko PMK Bidang Pembangunan Berkelanjutan, drg. Agus Suprapto, M.Kes, menjelaskan sebagai upaya pencegahan dini kasus sunting, perlu adanya pemahaman atau edukasi yang baik di masyarakat termasuk di kalangan sekolah maupun kampus.

Selain bisa mengedukasi masyarakat, pelibatan kalangan mahasiswa dalam kegiatan berkaitan dengan penanganan stunting juga bisa memberikan pembelajaran dan pengalaman yang baik untuk kalangan remaja, yang mungkin sebentar lagi memasuki usia menikah.

“Oleh sebab itu di Merdeka Belajar, terutama mahasiswa, mereka juga bisa belajar secara langsung. Mereka dipersilakan untuk ikut serta di dalam kegiatan mengatasi stunting. Maka di forum rektor juga ditegaskan kembali partisipasi semua kampus dan semua fakultas tidak hanya kesehatan masyarakat atau kedokteran atau yang lain. Jadi semuanya bisa mengikuti Merdeka Belajar kaitannya dengan stunting. Ini menjadi pembelajaran sekaligus learning by doing bagi mereka yang sebentar lagi menikah dan punya anak,” kata dia dalam acara tersebut.

Dengan begitu peran para mahasiswa atau kalangan remaja tersebut bisa menjadi motor besar dalam upaya percepatan penurunan stunting. Selain itu pendekatan di kelompok sekolah berbasis agama juga diperlukan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya