SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Perayaan Kematian (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Tidak seperti hari kematian yang dirayakan hingga seribu hari sesudahnya, di Kampung Langkap  hari kelahiran hanya diingat sepintas lalu. Para orang tua tidak pernah mau mengingat tanggal, bulan, dan tahun kelahiran. Mereka hanya menggunakan kejadian-kejadian besar: saat Gunung Semeru meletus, saat seluruh sawah terkena serangan wereng, saat musim petrus, atau kejadian besar lain yang digunakan sebagai penanda kehadiran anaknya di dunia. Sementara itu, kematian diperlakukan lebih istimewa, dirayakan dengan banyak ritual, dimeriahkan dengan berbagi jenis makanan.

Hari ke-1

Promosi Pelaku Usaha Wanita Ini Akui Manfaat Nyata Pinjaman Ultra Mikro BRI Group

Dengan berat hati aku mulai menorehkan potongan arang di dinding kamar setelah para pengantar peti jenazahmu kembali ke rumah kita. Kematian itu datang dalam senyap, saat langit di sebelah timur masih memerah, saat aku sibuk meniup api pada tungku menggunakan bambu, saat wajahku memanas karena nyala api yang memerah.

Bumi masih sepenuhnya gelap saat sebuah erangan kecil terdengar dari arah kebun belakang, tempat kamar mandi dan jamban berada. Aku masih menjerang air dan menggoreng beberapa buah pisang sehingga erangan itu tidak terlalu menarik perhatianku.

Setelah segelas kopi dan gorengan pisang di piring mulai dingin, baru aku sadar bahwa kamu belum mentas sejak pamit untuk mandi sebelum menuju ladang. “Oh, mungkin sebelum mandi dia sakit perut,” pikirku.

Udara pagi yang dingin sering kali membuatmu duduk berlama-lama di dalam bilik bambu berukuran satu rentangan tangan di tengah kebun sambil menuntaskan hajat perutmu. Rokok yang tersemat di sudut bibir membuat kenikmatan pagi itu tak bisa diganti, katamu selalu.

Akan tetapi, hingga tumis pare yang kusiapkan sebagai bekalmu meladang matang, kamu belum juga masuk ke rumah. Aku membuka pintu dapur, menyipitkan mata menatap jauh ke tengah kebun kemudian mengedarkan pandangan memperhatikan halaman belakang yang berlanjut memastikan keberadaanmu di kamar. Kosong. Aku mulai memanggil-manggil namamu. Tidak ada sahutan. Sambil mengangkat jarik hingga lutut, sambil terus menggerutu, sambil terus berteriak memanggilmu, aku bergegas ke arah jamban. Langit di sebelah timur sudah menguning membuat tanah di sekitar kebun menjadi lebih terang. Saat tiba di depan sumur, aku melihatmu sudah tergelak dengan bibir yang membiru.

“Pak … Pak e ….” Aku menepuk-nepuk pipimu, mungkin kamu pingsan, pikirku.

Kamu tidak menjawab, membuka mata pun tidak. Aku terus mengguncang-guncang tubuhmu, memanggil-manggil dengan suara lebih keras dan mulai berseru-seru meminta tetangga mendekat. Satu per satu orang berdatangan dan bertanya perihal apa dan mengapa. Mereka membantuku membawamu ke dalam rumah.

Tubuhmu yang kaku dengan bibir dan ujung kuku membiru dibaringkan di lincak di ruang tamu kita. Aku hanya bisa menangis sambil bersimpuh di lantai dan mengusap-usap pipimu.

Seorang tetangga memanggil tetua desa untuk memeriksa apakah jiwamu masih melekat pada raganya atau sudah terpisah. Saat kepala tetua mengangguk-angguk pelan usai meraba leher, pergelangan tangan, juga memperhatikan kuku kakimu, tangisku pecah.

“Digigit ular,” suaranya tenang, tegas, dan tertancap di dada, membuat persediaan udara di ruang tamu kita yang sempit semakin terasa menipis.

Upacara pemakaman di kampung itu tidak pernah sederhana. Para tetangga mulai memilih kambing mana yang akan disembelih, mulai menyiapkan makanan sebagai sajian bagi yang ikut mengurus jenazah hingga menyiapkan kebutuhan pemakaman seperti peti, tambang, sesaji, bunga tujuh rupa, serta air tujuh sumur.

Tukang gali kubur juga mulai bekerja, menggali tebing di dekat bukit untuk tempat menyimpan peti jenazah. Semuanya butuh makan. Semuanya butuh bayaran.

Hari ke-7

Torehan arang di dinding kamar sudah menjadi tujuh garis. Kesedihan itu masih kental. Mungkin kamu melihat, setiap hari sebelum fajar aku akan berjalan ke halaman belakang. Di situ aku meletakkan sebuah nampan berisi kue kecil, kopi, dan rokok, disertai bunga warna-warni, di tanah tempat aku menemukanmu tergeletak tujuh hari lalu.

Pada hari ke tujuh kematianmu—sebagaimana kebiasaan di kampung kita—para tetangga kembali berdatangan. Sebenarnya sejak malam pertama, dua, tiga orang tetangga kerap datang untuk memeriahkan malam. Para lelaki akan menggelar tikar di halaman—kadang-kadang sambil bermain kartu, sekadar berbincang atau menghabiskan kopi dan gorengan yang dihidangkan para perempuan yang sibuk di dapurku. Mereka meninggalkan rumah, merelakan hangatnya dipan dan bergelut dengan udara dingin di luar sekadar untuk bisa menghibur tuan rumah yang ditinggal mati salah satu kerabatnya.

Jumlah orang yang datang di hari ke tujuh jauh lebih banyak lagi. Bukan hanya tetangga dekat, tetapi juga kerabat hingga aparat turut hadir. Satu ekor kambing dengan ekor gemuk terpilih untuk disembelih pada hari itu. Mungkin kamu mulai menghitung berapa sisa kambing peliharaanmu di kandang.

Baca Juga: Lelaki Tua di Kursi Roda

Hari ke-40

Sambil membawa sebuah nampan yang terbuat dari anyaman bilah bambu—yang di atasnya ditata aneka buah, kue manis, serta benda-benda lain kesukaanmu—aku berjalan sejak pagi tadi menuju tebing, tempat jasadmu dikuburkan.

Di belakangku, para perempuan berjajar dan berjalan pelan. Kami beriring-iringan berjalan melintasi jalan berbatu keluar dari kampung menuju sebuah bukit. Anak-anak kecil yang  mengekor terdengar ramai bersenda gurau.

Tepat di baris ke-40 torehan arang di dinding kamarku, perayaan kematianmu yang ketiga digelar. Kambing yang kamu pelihara sejak beberapa tahun lalu sudah tidak ada lagi di kandang. Dua yang tersisa sejak kemarin sudah disembelih dan kepalanya dipikul dua lelaki di bagian depan barisan, diiringi sebuah tumpeng besar berwarna kuning dihias aneka perkedel, sayur mayur, dan ayam panggang.

Tiba di bukit, satu per satu makanan di nampan yang kupegang harus di lempar ke lembah di bawahnya. Kata tetua, hari ke-40 adalah saat rohmu benar-benar pergi dari rumah dan terputuslah hubunganmu dengan dunia untuk selamanya. Angin yang bertiup pelan membuat air mata yang mengalir pada pipi mengering dengan cepat.

“Setidaknya kamu tahu kan meski tertatih kuupayakan sebuah upacara perayaan yang memadai. Saat sudah di langit, berdoalah semoga aku bisa membayar semua utang-utang itu,” bisikku pelan entah kepada angin atau kepadamu yang perlahan naik ke awan.

Kesedihanku bukan lagi tentang sepinya rumah tanpamu atau tanpa tetangga yang sejak hari pertama sudah kerap datang, tetapi karena mengingat masih ada dua perayaan kematian lagi yang harus dilakukan sementara utang pada juragan—akibat membiayai upacara tersebut—sudah menjulang.

Hari ke-100

Benarkah arwahmu turun untuk menjengukku? Benarkah kamu bisa tahu apa kesulitan hidupku? Setelah kepergianmu, aku yang sepenuhnya menggantikan pekerjaanmu di ladang. Meski hanya sepetak, bagaimana pun itu adalah sumber penghasilan kita. Biasanya tugasku hanya menyiapkan bekal atau membawakanmu makan siang serta mengurus kebun singkong di halaman belakang.

Di hari ke seratus, tamu semakin banyak berdatangan. Halaman depan—yang sudah digelari tikar pandan dan terpal—tampak penuh. Sementara di ruang tamu, dapur, juga halaman belakang dijejali para perempuan yang bahu-membahu menyiapkan makanan. Sementara aku hanya duduk memandang gurat-gurat hitam pada dinding kamar yang menandakan jumlah hari sejak kematianmu.

Apakah kamu tengah duduk di sebelahku? Apakah kamu tengah memikirkan jalan supaya aku bisa melunasi utang-utang itu? Perayaan kematianmu yang keseratus telah menambah beban itu. Seekor kepala kerbau yang diletakkan di tengah-tengah halaman dan dikelilingi tamu-tamu yang datang membuat kepalaku berdenyut.

“Kalau kepala kerbaunya habis dimakan burung, artinya arwah suamimu tenang,” ucap tetua setelah membacakan doa-doa.

Kepala kerbau itu selanjutnya akan diarak berkeliling kampung dan diletakkan di tengah hutan. Akan ada dua orang yang setiap hari mengeceknya, memastikan apakah kepala itu sudah habis dimakan burung atau justru membusuk dimakan cacing-cacing.

Hari ke-1.000



Setelah perayaan kematian di hari ke seribu, bukan berarti tidak ada lagi upacara yang akan dilakukan. Dengan alasan untuk menghargai kematian dan menghibur yang ditinggalkan, perayaan-perayaan itu tetap harus dilakukan meski aku sungguh terseok-seok memenuhi semuanya.

Kamu tahu, bukan, jika aku melanggar apa yang sudah biasa dilakukan, mereka akan menganggapku sebagai istri tidak berbakti atau bahkan bisa lebih parah. Mungkin aku akan dituduh sengaja membiarkanmu membiru dipatuk ular. Anggapan-anggapan itu tentu tidak ada yang mengenakkan. Meski tidak diberi keturunan, kamu pasti ingat bahwa aku adalah istri yang selalu mengabdi kepada suami selama belasan tahun.

“Ini perayaan terakhir, harus ada tujuh kepala kerbau berukuran dewasa,” ucap seorang tetua kampung kepadaku di hari ke-990.

“Tujuh?” tanyaku gamang.

“Sudah tidak usah dipikir, nanti aku carikan kerbau jantan paling baik. Kamu harus mengantar suamimu, mengikhlaskan kepergiannya, dan memulai hidup baru. Kerbau-kerbau itu akan menjadi penutup baktimu kepadanya. Setelah ini, kamu boleh menikah lagi.”

Tetua berikat kepala hitam itu mengguncang kesadaranku. Bagaimana aku bisa memulai hidup baru jika utang-utang perayaan itu membuat kepalaku pening setiap Subuh? Bagaimana aku akan ikhlas jika ladang sepetak terpaksa aku jual demi membiayai perayaan kematian yang katanya adalah upacara terakhir itu? Bagaimana mungkin ada seorang lelaki yang bersedia menikahi perempuan dengan utang menumpuk?

Di Kampung Langkap, kematian memang akan diingat lebih lama daripada kelahiran. Bukan karena orang-orang di kampung kita menghargai kehidupan, tetapi karena setelah perayaan kematian ada beban utang menggunung yang mungkin butuh belasan atau puluhan tahun untuk diselesaikan.

Puspa Seruni. Penulis yang tinggal di Bali ini terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya