SOLOPOS.COM - Nizomjon Polvonov, Allamyrat Garajaya dan Dovran Nurberdiyev. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Nizomjon Polvonov, Allamyrat Garajaya dan Dovran Nurberdiyev. (FOTO: Adib Muttaqin Asfar/JIBI/SOLOPOS)

Indonesia bukan dikenal sebagai negara dengan fasilitas pendidikan terbaik. Namun, kuliah di Indonesia masih menarik perhatian bagi anak-anak muda dari berbagai negara berkembang, termasuk dari Asia Tengah.

Promosi BRI Dipercaya Sediakan Banknotes untuk Living Cost Jemaah Haji 2024

“Kami coba-coba saja. Saya sengaja pilih UNS, berdasarkan pengalaman dari teman-teman kami yang pernah kuliah di Indonesia, katanya di sini berkualitas. Di sini benar-benar kuliah, ada disiplinnya,” kata Nizomjon Polvonov, pemuda asal Tajikistan yang kini menempuh kuliah S1 di Jurusan Teknik Informatika UNS, Sabtu (4/8).

Sudah lima tahun Nizomjon tinggal di Indonesia. Perkenalannya dengan pendidikan Indonesia dimulai begitu dia lulus dari SMA di negara asalnya pada 2007. Di kalangan pelajar setempat, ada beberapa beasiswa ke luar negeri yang cukup populer. Di antaranya adalah beasiswa dari Passiad, lembaga asal Turki yang menjalin kemitraan pendidikan dengan negara-negara Asia Pasifik. “Beasiswa ini untuk kalangan orang yang kurang mampu. Tapi juga melalui seleksi di antaranya ilmu (tes akademik), akhlak dan kebersihan.”

Begitu lolos dari seleksi, Nizomjon dikirim ke Indonesia untuk belajar bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Nizom memperlihatkan kecocokannya dengan Indonesia. Dia hanya butuh waktu empat bulan belajar bahasa Indonesia. Baru setelah itu dia mengikuti seleksi masuk ke UNS melalui jalur reguler.

Kuliah di Indonesia memang tidak membuat mereka kesulitan. Selain karena iklim yang dianggap lebih bersahabat ketimbang negara asal, Nizomjon menganggap kuliah di sini lebih bebas. Maklum, di negaranya sistem perkuliahan mengadopsi model Rusia yang tanpa menggunakan sistem kredit semester. “Di sini kan seperti di Turki, lebih mirip Amerika. Kami lebih bebas menentukan waktu kuliah, tidak harus empat tahun,” ujar Nizomjon.

Di Solo, Nizomjon tidak sendirian. Ada sekitar 14 mahasiswa asal Asia Tengah yang kuliah di berbagai jurusan di UNS, kebanyakan berasal dari Turkmenistan dan beberapa dari Tajikistan. Mereka mengaku tidak kesulitan beradaptasi, apalagi biaya hidup di Solo tidak jauh berbeda dengan negara asal mereka.

“Biaya hidup hampir sama tapi di Turkmenistan gas dan minyak bisa diperoleh gratis,” kata Alamyrat Garajaya, mahasiswa asal Turkmenistan yang kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris UNS.

Dengan biaya hidup dan kuliah yang sepenuhnya ditanggung oleh Passiad, kehidupan mereka hampir sama seperti mahasiswa lokal. Mereka tinggal di kos-kosan yang sama dengan mahasiswa lain dan membeli makanan yang sama. Mereka harus beradaptasi dengan makanan lokal yang sangat berbeda dengan di negara mereka.

“Makanan di sini pedas tapi kami sudah terbiasa. Yang susah adalah di sini kebanyakan orang bicara dalam bahasa Jawa, kami sulit memahaminya,” kata Dovran Nurberdiyev, mahasiswa asal Turkmenistan yang kuliah di Jurusan Manajemen FE UNS sejak 2009.

Meskipun tinggal terpisah dan tak ada komunitas khusus, para mahasiswa asal Asia Tengah ini sering berkomunikasi dengan sesamanya yang kuliah di berbagai kota. Selain di Solo, mereka juga ada yang kuliah Jakarta, Bandung dan Jogja. Dengan sesama warga Asia Tengah, mereka tidak memakai bahasa Inggris, Rusia atau bahkan bahasa negara mereka sendiri namun bicara dalam bahasa Turki. Maklum, di negara-negara Asia Tengah, bahasa Turki adalah bahasa resmi di samping bahasa Rusia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya