Lifestyle
Minggu, 6 Agustus 2023 - 10:44 WIB

Pernikahan Setahun

Putri Oktaviani  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Pernikahan Setahun (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Kegelisahan menghantui pikiran Mariah. Suara-suara yang terlontar dari mulut orang tuanya bersarang di gendang telinganya. Suara mereka memekik keras seperti memaki-maki meskipun mereka sudah tidak ada di dunia lagi.

Penyesalan selalu dia tahan di sepanjang pernikahannya yang baru setahun. Ini bukan persoalan Mariah salah memilih suami, tapi kehidupan pernikahan yang melenceng dari bayangannya.

Advertisement

“Sebenarnya apa yang kamu pikirkan?” tanya suaminya pada suatu malam.

Namun, Mariah enggan menjawab, takut sang suami kesal padanya. Dibandingkan membuat perkara baru, dia memilih diam sambil terus memunggungi suaminya.

Hari-hari berikutnya Mariah menjadi lelah sendiri lagi. Pernikahan mereka memang belum dikaruniai seorang anak. Meski begitu, suaminya tak pernah menuntut lebih.

Mariah melayani semua kebutuhan suaminya dengan tubuh dan pikirannya sendiri. Sementara itu, suaminya fokus bekerja sampai terkadang berlarut-larut. Ini tidak seperti yang ada di bayangan Mariah. Kehidupan pernikahannya terasa hambar meskipun tidak ada pihak ketiga yang mengganggu mereka, termasuk keluarga suaminya yang terkesan cuek.

“Masakanmu semakin sedap setiap harinya,” puji suaminya pada suatu Minggu pagi.

Hari libur suaminya hanya Minggu. Hari itu selalu suaminya habiskan dengan mobil tua kesayangannya. Mobil itu dia bersihkan, diutak-atik selama tiga sampai empat jam di bengkel. Mariah hanya menyiapkan kopi dan pisang goreng pada pagi hari. Selepasnya, dia kembali sibuk di dapur dan membersihkan rumah.

Pernah sekali dia meminta izin untuk bekerja lagi, tapi suaminya melarang. Sang suami beralasan gajinya masih lebih dari cukup untuk menghidupi mereka berdua.

Advertisement

“Aku tidak pernah melihatmu tersenyum tulus lagi belakangan ini. Apa yang sebenarnya kamu pikirkan Mariah?”

Mata Mariah tertuju pada piring kosong. Suaminya baru saja menghabiskan makanan di piring itu. Makan malam mereka berdua terasa sepi dan keheningan merayap berulang. Jiwa Mariah seperti hilang ditelan bumi, tapi raganya masih berdiri kokoh di atas tanah.

“Aku tidak bahagia dengan pernikahan kita,” ungkap Mariah pada akhirnya.

Raut kebingungan terpancar dari wajah suaminya. Dengan heran dia bertanya, “Sejak kapan?”

“Aku tidak tahu. Kita seperti dua manusia yang hidup dalam satu rumah tanpa kebahagiaan. Ini sangat jauh berbeda dari bayanganku ketika remaja dulu. Juga kehidupan rumah tangga kedua orang tuaku.”

“Apa yang kurang, Mariah? Aku memberikan segalanya untukmu. Aku bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecil kita yang tak kunjung memiliki anak. Ya, anak. Aku tidak pernah menuntutmu tentang itu meskipun aku sangat ingin punya anak. Aku juga selalu pulang tepat waktu, ya terkadang terlambat pada akhir dan awal bulan. Aku tidak pernah keluyuran atau berkumpul dengan teman-teman meskipun mereka mengajakku. Aku selalu memujimu. Aku selalu suka dengan apa yang kamu berikan padaku. Aku tidak pernah memarahimu. Kenapa kamu tidak bahagia dengan pernikahan kita?”

Mariah tercengang mendengar kalimat panjang dari bibir tipis suaminya. Ini adalah kali pertama suaminya berkata sebanyak itu. Yang dikatakan suaminya memang sebuah kebenaran, tapi Mariah merasa seperti ada yang kurang.

Advertisement

“Bagaimana kehidupan rumah tangga yang kamu bayangkan? Dan bagaimana kehidupan rumah tangga orang tuamu? Jelaskan padaku!” Intonasi suaminya meninggi membuat Mariah sedikit ketakutan. Suaminya tak pernah menaikkan pita suara sebelum ini.

“Aku rasa kita tidak punya waktu bersama untuk bersenang-senang. Kehidupan rumah tangga kita terlalu datar. Kamu seperti menghabiskan seluruh waktu hanya untuk dirimu sendiri.”

“Seluruh hariku dihabiskan untuk kepentingan keluarga kita. Aku bekerja untukmu, rumah tangga kita. Tidak ada hal lain yang kulakukan di luar sana selain bekerja.”

Memang benar apa yang dikatakan suaminya, tapi bagi Mariah, tetap saja ada yang kurang. Tidak ada agenda untuk mereka menikmati hari-hari pernikahan yang baru.

Dengan piring yang belum dibereskan, Mariah meninggalkan suaminya di meja makan dalam kebisuan. Kakinya terseok-seok menaiki anak tangga menuju kamar. Air matanya menetes perlahan. Dia menjatuhkan diri di kasur dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Kamu tidak akan hidup bahagia bersama dia, Mariah. Lebih baik cari suami yang tinggal satu kota dengan kita.” Itu adalah kata-kata sang ibu sebelum Mariah menerima lamaran teman kampusnya di perantauan yang kini menjadi suaminya.

“Lebih baik menikah dengan anak teman Bapak. Dia sudah sangat akrab dengan keluarga kita. Jadi kamu tidak perlu tinggal jauh dari kami.” Bapaknya menimpali sang ibu.

Advertisement

Namun, Mariah menolak saran kedua orang tuanya untuk kali pertama. Dia begitu tergila-gila pada suaminya di masa itu. Lelaki yang tak pernah mencuri mata pada teman-teman perempuannya. Suaminya adalah pekerja keras dan pandai dalam segala hal. Tak banyak mengobral janji manis seperti lelaki berhidung belang.

Mariah mengira tokoh fiksi yang ia baca selama remaja tak pernah tervisualisasi di kehidupan nyata, tapi ternyata sosok itu benar adanya. Itulah suaminya sekarang.

Bulan pertama hingga ketiga pernikahan, hati Mariah masih berbunga-bunga. Mariah rela meninggalkan kota kelahirannya dan berpindah pulau bersama suaminya. Dia yakin suaminya bisa memberi kebahagiaan lebih baik dibandingkan yang kedua orang tuanya berikan.

Baca Juga: Sumur Pandan

Suara pintu terbuka membuat Mariah menahan isak tangis di dalam selimut. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan suaminya setelah ia mengeluarkan semua keresahan dalam benaknya. Pergerakan yang dilakukan suaminya di belakangnya sangat terasa.

“Maafkan aku.”

Hanya itu yang Mariah dengar. Suara lembut suaminya terdengar dari belakang. Dia ragu untuk membuka selimut agar bisa menatap wajah suaminya.

Advertisement

“Apa yang kamu inginkan sekarang? Bagaimana kehidupan pernikahan yang kamu dambakan?”

Seperti baju robek yang dijahit, begitulah hati Mariah luluh seketika. Dia membuka selimut dan berbalik badan. Menatap wajah suaminya yang sabar.

“Aku menerima lamaranmu meskipun orang tuaku menolak. Mereka bilang, aku tak akan bahagia jika menikah denganmu. Kupikir mereka berkata begitu karena tak ingin aku pergi jauh dari rumah, tapi ternyata mereka benar, aku tidak bahagia hidup denganmu.”

“Kamu tidak pernah memberikan bunga ataupun kata-kata manis setiap pagi. Kamu tidak pernah mengajakku jalan-jalan ketika libur. Kamu tidak bertanya apakah aku bahagia setiap harinya. Apakah aku senang hidup bersamamu atau apakah aku menikmati kehidupan keluarga bersamamu.”

Suaminya menggenggam tangan Mariah. “Aku tak perlu melakukan itu semua. Kehidupan rumah tangga tidak seperti yang tertulis di buku fiksi. Ini dunia nyata. Selama tidak ada masalah yang menghampiri, kita hanya mengikuti alur kehidupan. Terserah bagaimana takdir membawa arus keluarga kita.”

“Terserah pada takdir? Omong kosong. Kita bisa mengarahkan arus kehidupan keluarga dengan menciptakan kebahagiaan-kebahagiaan kita sendiri. Kita berdua adalah sepasang suami-istri.”

Suara cicak di dinding seperti wasit dalam pertengkaran sunyi keduanya. Wajah mereka berdua masih saling menatap. Tidak ada pergerakan dari mereka berdua. Permasalahan itu benar-benar diselesaikan di kasur tanpa ada campur tangan pihak ketiga.

Advertisement

“Oke. Sekarang bagaimana?” kata suaminya.

“Aku mau merencanakan liburan kita dan kamu mengambil cuti. Setidaknya tiga atau empat bulan sekali tidak masalah. Tolong jangan sekadar memuji masakanku, sekali-kali temani aku di dapur. Saat kamu libur, tolong jangan memberi perhatian lebih banyak pada mobil kesayanganmu. Berikan sedikit perhatianmu padaku juga. Temani aku berbelanja bulanan di supermarket tiap Minggu malam. Kita makan di luar sekali-kali. Atau kita juga bisa menonton film bersama di rumah. Buatlah tujuan rumah tangga kita dalam sepuluh sampai 30 tahun ke depan. Apakah kita perlu mobil atau rumah baru. Berapa banyak anak yang kita inginkan untuk menemani hari tua kita.”

Suaminya akhirnya mengeluarkan tawa kecil, membuat Mariah kebingungan. “Kenapa tertawa? Aku berkata serius, Mas.”

“Itu benar-benar tokoh fiksi yang ada di dalam bukumu.”

“Apakah itu sulit bagimu?”

Ada sedikit jeda sebelum akhirnya suaminya menjawab, “Tidak juga.”

Mariah sedikit lega mendengar jawaban sang suami. Dia benar-benar telah mencurahkan segala bentuk keresahan dalam hatinya.

Advertisement

“Jadi, seperti ini masalah pernikahan yang baru menginjak setahun. Tidak semrawut yang kupikirkan dan tidak seburuk yang beberapa rekan kerjaku alami.”

Mariah mengangkat kedua alisnya. “Memang seperti apa permasalahan kehidupan rumah tangga rekan kerjamu?”

“Tidak. Tidak perlu dibahas,” jawab suaminya yang langsung memeluk Mariah dengan erat hingga Mariah kemudian tertidur.

Selepas istrinya pulas, suaminya langsung mengambil ponsel. Laki-laki itu mengirim pesan pada seseorang.

Kupikir Mariah tahu hubungan kita, tapi ternyata tidak. Hubungan kita masih aman.

 

Putri Oktaviani lahir di Tangerang pada tahun 2000. Alumnus Akuntansi UNPAM ini menulis novel dan cerpen. Karya tulisnya terpercik di sejumlah media online. Dia adalah penikmat novel genre thriller, misteri, dan penggemar cerita horor.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif