Lifestyle
Senin, 7 Mei 2012 - 09:00 WIB

Raut Timpang Solo Masa Depan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Musik jazz mengalun pelan memenuhi lobi Hotel Solo Paragon, Kamis (3/5) tengah hari. Dua orang tengah asyik bermain laptop di sofa empuk dengan kaki yang diselonjorkan di karpet tebal yang tak kalah halusnya. Jam makan siang baru saja berlalu–meninggalkan The Coral Restaurant dalam kesunyiannya. Waitress menyapa tamu dengan gayanya yang anggun. Promo April hingga Juni yang ditawarkan The Coral Restaurant adalah bermacam-macam sate, mulai dari sate yang berbahan seafood hingga sate dari buah segar dengan harga sama, yakni Rp35.000/porsi. Special drink mulai dari mocktail hingga cocktail dibanderol dengan harga mulai dari Rp 35.000 hingga Rp75.000. “Promo ini banyak yang suka banyak lho. Bisa dilihat saat jam makan siang tiba. Nah karena The Coral Restaurant bukan hanya ditujukan untuk para tamu hotel melainkan juga masyarakat umum, biasanya tempat ini ramai ketika jam-jam tertentu, contohnya saat lunch itu. Mereka yang datang kebanyakan pengusaha dan orang-orang kantoran. Berbeda dengan food court yang ada di Mall Paragon, jadi meski harga makanan di The Coral lebih mahal namun di sini kan lebih privasi,” ujar Marketing dan Communication Coordinator Solo Paragon, Nicky Olivia.
Masih di siang yang sama. Bukan lagi musik jazz yang menenangkan saat saya meninggalkan Hotel Paragon menuju ke arah selatan Solo, tepatnya di Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Semanggi melainkan suara Syahrini dari tape recorder sumbang yang memekakkan telinga. Tak ada pendingin ruangan, tak ada pengharum kamar melainkan sengatan sinar matahari–yang terasa mulai dari pintu masuk hingga pelataran parkir basement. Partini duduk di ubin putih, di kamarnya yang berada di lantai III Rusunawa. Ibu dari dua anak itu tengah menyibukkan diri dengan menjaga warung sembako kecil sambil makan tempe goreng dingin. Kegiatannya terhenti saat ada pembeli yang datang. Raut senang langsung nampak saat transaksi dibayar dengan uang. Namun tak jarang pula wajah riang itu berubah murung ketika mereka yang datang hanya mengganti barang dengan kata utang. Menjadi istri seorang sopir yang bekerja di pabrik obat dengan gaji Rp1 juta/bulan, tak pernah sedikit pun terlintas di benak Partini makan siang di sebuah hotel berbintang. Setelah 15 tahun mengabdi di sebuah pabrik obat, menurut Partini, gaji Rp1 juta/bulan merupakan pencapaian tertinggi suaminya. Dengan uang itu, Partini mengaku harus bisa mengelolanya hingga akhir bulan. “Memang kalau dihitung mana cukup Rp1 juta untuk satu bulan. Karena itulah saya harus membantu dengan membuka toko. Tapi mau cukup mau tidak ya kata suami Rp1 juta itu harus cukup sampai akhir bulan. Jadi pengeluaran dalam satu hari tidak boleh lebih dari Rp 33.000, mulai dari makan untuk kami berempat (suami-isteri dan dua orang anak), bayar abonemen listrik, sewa kamar dan lainnya,” ujarnya sambil tersenyum.
Partini menambahkan, meski dua orang anaknya sudah bekerja namun karena hanya lulusan SMA gajinya tak seberapa. “Semuanya juga masih ikut saya. Mungkin gaji mereka malah masih di bawah upah minimum kota (UMK). Saya tak berani menanyakannya, kasihan,” tambahnya.
Partini tak sendiri. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Solo, ada lebih dari 365.504 orang di Kota Bengawan yang pendapatannya antara 150.000 hingga Rp 749.999/bulan pada 2010 lalu. Padahal kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan Dinsosnakertrans bersama pengusaha serta buruh pada tahun yang sama Rp785.000/bulan. Meski catatan BPS tentang mereka yang pendapatannya berada di bawah KHL masih banyak namun yang tercantum dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Walikota Solo Tahun Anggaran (TA) 2011 menunjukkan sebaliknya. Dalam LKPj Walikota disebut pendapatan per kapita atau pendapatan rata-rata warga Solo mencapai Rp18 juta/tahun. Jika dibagi per bulannya menjadi Rp1,5 juta. Anggota DPRD Solo, Umar Hasyim, mempertanyakan tingginya pendapatan per kapita itu, “Tinggi sekali itu,” ujar dia.
Kesangsian Umar dipatahkan Kepala BPS Solo, Toto Desanto. Menurut dia angka-angka itu memang menunjukkan kebenaran. “Mereka yang miskin memang masih banyak, begitu pun dengan keluarga menengah. Tapi yang namanya pendapatan per kapita itu kan pendapatan domestik regional bruto (PDRB) atau pendapatan seluruh orang Solo dibagi dengan jumlah penduduk. Hasilnya ya Rp18 juta/tahun itu,” papar Bambang.
Memang kadang tak adil, sambung Toto, segelintir orang dengan kapital tinggi membuat angka pendapatan per kapita jadi melambung. Makin tinggi kapital yang mereka miliki, makin tinggi pula pendapatan per kapita Solo, sesuai dengan keterangan LKPj bahwa pendapatan per kapita Rp18 juta/tahun pada 2011 adalah pendapatan yang sangat tinggi, lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp17,3 juta/tahun.
BPS membuat hitungan yang lebih mendetail yakni melalui gini ratio (GR). Melalui penghitungan GR ini akan diketahui tingkat kesenjangan sebuah kota, termasuk rendah, sedang ataukah tinggi. Menurut Kasi Distribusi BPS Solo, Bambang Nugraha, sesuai dengan standar World Bank, GR Kota Solo masuk kategori rendah yakni 0,33. Ada tiga kategori GR menurut World Bank yakni yang pertama rendah atau yang berada di kisaran 0,0-0,4, kategori ketimpangan sedang yakni antara 0,4-0,7 dan kategori tinggi antara 0,7-1. “Solo sekarang ini memang ada di kategori rendah yakni 0,33. Namun demikian dibandingkan kota/kabupaten se-Jateng, GR atau tingkat ketimpangan di Kota Solo menduduki posisi teratas. Masih mengacu kepada data kami, angka rata-rata tingkat ketimpangan di kota/kabupaten se-Jateng hanya 0,2,” urai Bambang.
Walau belum membuat perhitungan tingkat ketimpangan pada tahun ini namun menurut Bambang, melihat tren yang ada cenderung naik. “Kalau berangkatnya dari dugaan awal sepertinya naik. Apalagi kalau rencana pembangunan sejumlah hotel dan mal terlaksana, bukan hanya pendapatan per kapita yang naik namun tingkat kesenjangan juga bakal tambah naik,” ujarnya.
Untuk meminimalisasi angka kesenjangan sosial, menurut Bambang, salah satunya bisa dengan mengoptimalkan penggunaan SDM Kota Bengawan. “Solo sebagai penyedia tenaga kerja murah harus bisa dioptimalkan sehingga kue bisa terbagi rata meski dalam persentase penerimaan bisa beda jauh. Tapi kalau hotel dan mal mengutamakan tenaga kerja profesional yang asal daerahnya tidak menjadi persyaratan, angka ketimpangan bisa menjadi melonjak. Harus diwaspadai karena pendapatan per kapita tinggi bukan berarti kemakmuran bagi semua masyarakat,” imbuh dia.
0

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif