SOLOPOS.COM - Gunung Kemukus Sragen (Dok/JIBI/Solopos)

Gunung Kemukus Sragen (Foto: Dokumentasi)

SRAGEN—Ritual di Gunung Kemukus Sragen tepatnya di makam Pangeran Samudro yang disalahartikan menjadi kegiatan seks bebas menjadi keprihatinan banyak pihak.

Promosi Kisah Petani Pepaya Raup Omzet Rp36 Juta/bulan, Makin Produktif dengan Kece BRI

Sekretaris Dinas Kebudayaan Pariwisata Budaya dan Olahraga Kabupaten Sragen, Harjuno Toto, ketika ditemui Solopos.com, Kamis (15/11/2012), menjelaskan saat ini pihaknya sudah berupaya memerangi praktik asusila yang mengatasnamakan ritual.

“Saya sudah memberikan plakat larangan berbuat asusila di sekitar kompleks makam. Namun kenyataannya masih ada. Kembali lagi kepada individu,” terangnya.

Beragam kegiatan juga sudah dilakukan perangkat desa dan kecamatan untuk memerangi praktik asusila di Gunung Kemukus. Antara lain dengan penyelenggaraan agenda seni budaya di sekitar Objek Wisata Makam Pangeran Samudro.

Camat Sumberlawang, Herry Susanto, ketika ditemui Solopos.com, berharap pandangan masyarakat terhadap citra Gunung Kemukus bisa lebih proporsional. “Pandangan peziarah dan warga bisa bergeser melalui agenda budaya ini. Nantinya kita evaluasi agar agenda lomba gunungan dan tembang jawa bisa menjadi agenda rutin,” jelasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Juru Kunci Makam Pangeran Samudro, Hasto Pratomo, 58, ketika ditemui Solopos.com, Kamis (15/11/2012), menuturkan nenek moyangnya dulu memberikan petuah lewat sanepan. Kata dhemenan yang terdapat di penggalan petuah, disalahartikan oleh pelaku ngalap berkah di makam Pangeran Samudro.

“Terjemahan yang beredar di sebagian masyarakat, kalau ziarah harus membawa dhemenan. Padahal kalau ditelaah artinya, kalau ingin ziarah ke makam, hendaklah bersungguh-sungguh seperti ingin menemui kekasih. Ritual asusila seperti itu sebenarnya tidak diajarkan, tapi disalahgunakan oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan,” jelasnya.

Ritual ngalap berkah di Gunung Kemukus melalui ritual berhubungan intim dengan lawan jenis yang bukan pasangan sahnya selama tujuh kali dalam waktu satu lapan, menurut Hasto, mulai terjadi sejak tahun 1970-an. Dia mengaku tidak lelah memberikan edukasi kepada peziarah sejak dirinya mulai menjadi juru kunci di tahun 1988, namun masih banyak yang melakoni ritual tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya