SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Riwayat Arit (Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Dia berjalan ke arah bayangan tubuhnya yang memunggungi bulan dengan dua sudut yang kian tumpul menjelang umur dua digit.
Telapak tangan kanannya merasakan panas yang sangat karena gesekan dengan tali yang memandu langkah seekor kambing jantan yang tampak amat gelisah. Sepasang tuan dan kambingnya menyusuri jalan setapak yang membelah kuburan kampung angker.

Tentu saja malam begitu hening sehingga riak Kali Cideng yang berbatu dan menjadi garis pembatas kuburan dengan perkampungan itu menyeruak hingga ketinggian lima meter. Baginya, riak dari sungai itu juga berguna untuk meredam jeritan pedih ayahnya dari dalam kubur.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Sejak remaja, ia selalu meyakini bila ayahnya mati akan mendapat siksa kubur paling pedih karena mengawini lima perempuan yang melahirkan belasan anak hanya untuk ditelantarkan. Sedangkan dia sendiri adalah anak pertama dari istri pertama ayahnya.

Kambing jantan seharga tiga setengah juta itu terus membelot sehingga kausnya basah keringat. Usahanya kerasnya berakhir di halaman rumah Rus.

Sebelumnya, dia telah menolak bujukan Kaji Rasikun untuk bergabung dalam rombongan kurban sapi yang menyisakan satu slot untuk orang keenam. Tapi, ia menginginkan kurban seekor hewan utuh betapa pun uangnya tak cukup untuk membeli seekor sapi.

Ia cukup sabar meladeni bujukan itu hingga tak keluar dari mulutnya kalimat nyinyir seperti gunjingan orang sekampung bahwa harga sapi korban Kaji Rasikun selalu di atas harga pasaran sedangkan tingginya harga itu berkebalikan dengan kualitas hewan kurban.

Ia termenung di hadapan layar laptop yang biasa menyala sepanjang malam. Setahun terakhir ia menjadi seorang tukang desain di toko percetakan miliknya sediri. Kolase foto wajah bocah belum genap tiga tahun di desktop itu dianggapnya rajah. Tiga hari setelah golok Rus memutus urat napas dan makan kambing kurbannya, pemilik wajah itu akan memiliki ayah baru dari pernikahan ibunya.

“Siapa bisa melarangnya?” ujar Rus dengan nada ironi. Asap rokok seolah mendesak untuk dikeluarkan dari mulut Rus.

“Ini bukan urusan kambing, Rus.”

“Baik urusan kambing maupun mantan istrimu, sama saja. Kamu tak dilarang berkurban meski belum sembahyang dan puasa. Dan, ibu anakmu itu juga berhak untuk menikah lagi, dengan siapa pun pilihannya. Kamu tak lupa bukan, kalian bahkan tak bisa rujuk lagi tanpa ia menikah dengan lelaki lain sebelumnya?”

“Tidak. Bukan itu, sungguh. Anakku bagaimana?”

“Kamu akan tetap menjadi ayahnya, orang pertama dalam urutan perwalian untuk pernikahannya kelak.”

Ia masih tak puas meski tahu jawaban Rus selalu bisa dipercaya. Tiba-tiba ia teringat kepala botak dan kumis tebal hakim pengadilan agama yang memberikan hak asuh anaknya yang baru berusia lima belas bulan itu pada ibunya.

***

“Aku ingin mengambil aritku, Rus. Kamu yang menyimpannya dulu. Sekarang kuminta lagi.”

“Kenapa tiba-tiba sekali?”

“Aku harus memberi makan kambingku hingga hari malam takbiran dan selesai Salat Id. Oya, jadinya Sabtu atau Minggu?”

“Kita tunggu pengumuman pemerintah.”

“Kiai apa tak dapat bocorannya?”

“Tidak semua perkara harus kukatakan kepada orang lain.”

“Kamu ini, selalu saja begitu. Aku tahu itu.”

“Kamu bisa minta Kang Kasim mencarikan rumput untuk kambingmu itu.”

“Kasiahan dia, kambing-kambingnya dan kambingmu saja sudah pasti membuatnya capai seharian.”

“Biarkan Kang Kasim yang memutuskan sendiri, seekor lagi takkan membuatnya keberatan. Lagi pula aritmu sudah tumpul, lama tak dipakai. Sudah tumpul, mengapa mau diasah lagi? Biar saja aku yang simpan.”

Dadanya mendadak sesak, ia tak kuat lagi menahan tangisnya. Rus mendekat dan meraih tubuhnya, memberi pelukan seorang ayah. “Bersabarlah,” bisik Rus.

“Andai aku dulu tak datang padamu, Rus. Tentu sekarang aku akan…”

“Tidak. Allah yang menuntunmu, Berdamailah dengan takdirmu. Aku tahu kamu hanya perlu waktu untuk terbiasa.”

Hening.

“Biar aku yang bicara dengan Kang Kasim untuk urusan rumput itu.”

***

Keraguannya untuk menikah, dulu, bukan lantaran tak memiliki cinta, melainkan belum memiliki penghasilan. Tapi, lebih dari empat tahun lalu, ia tak punya pilihan selain menuruti permintaan lelaki setengah sekarat yang kemudian menjadi mertuanya. Lelaki yang mati setengah tahun setelah perkawinannya.

Kematian yang diam-diam membuatnya lega. Lelaki itu pernah mengancamnya akan menikahkan anak gadisnya itu dengan siapa pun yang bersedia, bahkan jika lelaki itu manusia setengah siluman.

Yang dipikirkannya memang benar-benar terjadi. Setahun setelah menikah, ia menyimpulkan usahanya berdagang gagal total. Karena itu, ia menerima ajakan sepupunya untuk merantau. Mulanya, ia ingin mengajak istri. Tapi, kehamilan itu membatalkannya. Jadilah ia pergi sendiri.



Berlalu tahun, di halaman rumahnya, terpakir sepeda motor yang selalu mengantar istrinya bolak-balik ke pasar, ke penggilingan daging langganannya. Istrinya pandai memutar uang. Ia berjualan bakso di depan rumah warisan orang tuanya yang dalam setahun terakhir mengalami dua kali renovasi sekaligus menjadikannya salah satu rumah paling mewah di kampungnya.

Trauma menabrak kucing membuat istrinya tak berani berkendara sendiri. Jadilah ia memakai jasa tukang ojek. Karena membutuhkan orang, ia meminta si tukang ojek langganan itu bekerja untuknya.

Pur, si tukang ojek, menerima tawaran dari perempuan yang tiga kali ditolak cintanya semasa remaja. Mendengar kabar burung dan mencium bara dalam sekam, ia minggat dari rantau, mengabaikan kontrak kerja dan dokumen-dokumen berharga. Satu-satunya yang ada di kepalanya dalam perjalanan gelap menyeberang pulau hanyalah dua hal, arit yang dulu selalu digunakannya untuk merumput dan kedua kepala manusia yang tengah bergumul di atas ranjang.

Ia benar-benar tiba di kampungnya seminggu kemudian. Ia menyengaja datang tengah malam. Rumah yang ia tuju pertama kali adalah rumah masa kecilnya yang sekarang hanya ditinggali ibunya. Tujuannya hanya mengambil arit dan mengasahnya.

Ibunya yang tuli dan setengah buta, mungkin karena katarak, tak tahu-menahu kepulangannya. Pintu rumah tak pernah dikunci, tak perlu ada yang dikhawatikan karena seorang pencuri pun akan berpikir seribu kali masuk rumah yang semengenaskan nasib penghuninya. Melarat, tua, dan lapuk. Dengan begitu, tetangga-tetangganya akan lebih mudah untuk menengoknya, membawakan makanan sekaligus memastikan si empunya rumah masih bernyawa, tiap pagi dan sore.

Lampu di rumahnya akan turut menyala jika sakelar lampu serambi musala yang berjarak hanya beberapa langkah itu juga menyala. Wangi duren di kebun belakang rumah Rus tak sedikit pun menggodanya. Ia terus berjalan dalam hening malam. Itu adalah jalan terdekat sekaligus paling aman untuk sampai di rumah istrinya tanpa mengundang kecurigaan banyak orang.

Baca Juga: Menunggu Palang Kereta

Celaka, sebuah duren yang amat wangi jatuh dan menimpa ujung depan sepatu ketsnya. Sontak ia berteriak.

Setengah jam kemudian ia dijamu di ruang tamu rumah Rus, sahabatnya semasa kecil. Rus adalah anak lelaki Kaji Sulhan, guru ngajinya selagi anak-anak hingga remaja awal. Ia menolak ajakan Rus ke puskesmas untuk mendapat perawatan medis padahal jempol dan dua ruas jari kaki kanannya tampak hampir remuk berlumur darah.



“Kudengar kamu merantau. Kapan pulang?”

“Baru saja, Rus.”

“Kulihat kamu bawa arit yang sepertinya baru diasah.”

Dia tampak terkejut dengan padangan mata mengitari ruangan, seolah mencari benda yang dimaksud lawan bicaranya. Rasa sakit di kakinya sempat membuatnya lupa dengan aritnya.

“Tenang saja, aku sudah menyimpannya. Tak baik membawa arit setajam itu malam-malam. Bukankah sebelum berangkat merantau kudengar kambing-kambingmu telah dijual?”

Tak lama kemudian, istri Rus ke ruang tamu membawakan dua gelas kopi panas. Dia masih pelit bicara, digantikan mulutnya yang terus mengisap kretek.

“Kamu tak boleh pulang malam ini. Tidurlah di sini seperti dulu kita bocah.”

“Kita sudah terlalu tua untuk mengulang hal seperti itu.”

“Kamu takkan menolaknya jika masih menganggap Kaji Sulhan sebagai guru ngajimu.”



Tiba-tiba sekali dia menangis seperti bocah. Rus membiarkannya sambil terus memainkan asap kretek dari mulut dan hidungnya.

Berselang setengah jam, istri Rus muncul mengantar dua mangkuk soto ayam kuah santan kuning dengan sambal merah yang menantang.

“Istriku pandai sekali memasak soto, kamu mesti mencobanya.”

“Sejak kapan lambungmu mau menampung santan, Rus?”

“Sejak aku menikah.”

Keduanya tersenyum.

“Ayo, kamu buktikan kata-kataku tadi.”

***

“Apa yang harus kulakukan?”



“Jangan mengambil keputusan tanpa melihat persoalan secara utuh.”

“Dia tidur dengan lelaki lain, sedangkan aku masih suami sahnya.”

“Sudah berapa tahun kamu meninggalkannya?”

“Tiap tiga bulan aku mentransfer uang ke rekeningnya.”

“Tidak semua tentang uang. Kamu laki-laki dan dia perempuan.”

“Apa itu membenarkan perbuatannya?”

“Kamu benar, tapi itu dua hal berbeda.”

“Apa yang harus kelakukan dalam keadaan seperti itu?”

“Bila tak bisa memaafkannya, tetap selesaikan dengan cara yang baik.”

***

Sejak itu, dia memilih pulang dan tinggal di rumah masa kecilnya, merawat ibunya hingga kemudian mati. Atas saran Rus, ia tak pernah lagi berurusan dengan arit. Untuk alasan apa pun.

Mufti Wibowo berdomisili di Purbalingga, Jawa Tengah.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya