SOLOPOS.COM - ilustrasi Cerpen Senyum Talbot (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Perempuan mestinya memiliki uang dan ruangnya sendiri jikalau ia hendak menulis fiksi.

Tak ada yang mengetahui berapa kali penggalan tulisan Woolf tersebut dibaca olehnya, Talbot, yang duduk di tubir sofa. Barangkali ia sendiri menjadi bingung pada apa yang dibacanya.

Promosi Indeks Bisnis UMKM BRI: Ekspansi Bisnis UMKM Melambat tapi Prospektif

Adik sedang riuh bermain bersama teman-temannya, juga di ruang tamu yang sama dengan Talbot. Begitu pun dari arah dapur, terdengar suara bising blender ibu yang mempersiapkan bumbu gulai ikan untuk makan malam.

Sementara, bapak memancangkan balok kayu di halaman belakang untuk menanam anggur. Suara ketukan palunya bersahut-sahutan dengan segenap keramaian di rumah itu. Talbot terkurung, tidak terjebak sekitarannya, tetapi juga di dalam kepalanya sendiri.

“Omong kosong,” Talbot menggumam. Kenyataannya, lelaki juga butuh tak hanya uang sendiri, tetapi juga ruang baginya untuk bersembunyi.

“Setiap orang butuh ruangnya sendiri!” batin Talbot. Pemikiran ini muncul di benaknya akibat Talbot yang tidak membaca tulisan Woolf lewat konteksnya. Dia telanjur geram dengan ingar-bingar anggota keluarganya yang tidak teratur, terlebih Talbot sendiri tak punya kamar di rumah itu. Dia tak punya tempat untuk menenangkan pikirannya di kala membaca.

Sebetulnya orang tua Talbot sudah berniat membikin kamar untuknya, yang tahun itu sudah beranjak usia 22. Namun karena Talbot berkuliah di luar kota, pembangunan kamar dianggap membuang-buang uang. Lebih baik ditunda dan uang dipakai untuk mengembangkan kebun bapak atau ibu yang kadang kala berkeinginan membeli tas-tas model terkini.

Lagi pula Talbot juga hanya akan pulang dua kali dalam setahun di saat libur kuliah. Maka setiap kali Talbot pulang, dia akan diungsikan di kamar adik perempuannya yang berjarak sepuluh tahun dengannya.

Tentu Talbot kesal. Seumur-umur masa remaja, ia sama sekali tidak memiliki ruang privat di dalam rumah. Sedangkan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, sudah memiliki kamar besar lengkap beserta meja belajar dan lemari baju.

Di perantauan pun Talbot dikawinkan dengan teman sekolah atasnya, di sebuah kos yang tidak terlalu lebar. “Untuk jaga-jaga,” kata ibu Talbot, “Ngeri betul kuliah di perantauan jikalau ngekos sendiri, Nak.” Betul-betul ia tak memiliki tempat untuk sekadar bersembunyi sesaat, mengaburkan diri lari dari realitanya.

Entah seberapa jauh dunia ini jadi berkembang. Mengapa manusia yang disebut-sebut sebagai makhluk sosial pun pada akhirnya mesti berpulang pada kesendiriannya lagi. Dan barangkali tak terhitung pula jumlahnya orang-orang yang senasib dengan Talbot. Bahkan lebih sukar lagi masalah hidupnya.

Jangankan untuk kamar sendiri, di suatu tempat ada satu keluarga yang tidurnya berbarengan dalam satu kamar karena terkendala biaya. Perbedaan antargenerasi pun menjadi ketimpangan yang menggelisahkan.

Orang tua Talbot yang cukup kolot menganggap bahwa buat apa seorang anak memiliki ruangnya sendiri. Justru mereka khawatir si anak bakal merasa kesepian dan merasa takut. Padahal dengan memberikan benda-benda ataupun kamar sendiri, seorang anak dapat belajar untuk bertanggung jawab atas kepemilikannya.

Suatu hari dia belajar cara mengatur hidup dan keuangannya secara mandiri.

Sejatinya Talbot pernah memiliki kamar yang dulunya bekas gudang pakaian yang usai dikeringkan akan disetrika. Talbot memohon gudang itu sebagai kamar sementara hingga akhirnya ia berusaha membereskan kamar itu dengan peluhnya sendiri.

Tetapi, di saat Talbot kembali masuk kuliah dan meninggalkan kamar itu, sepulangnya lagi, kamar itu kembali menjadi gudang pakaian. Banyak baju ibu yang digantung, begitu pun pakaian dalam atau baju dinas bapak yang mengering ditumpuk bagai bukit-bukit.

Talbot lelah banyak mengeluh. Palingan jikalau keadaan mendesak betul seperti sore ini, Talbot memutuskan keluar rumah. Dia sering seperti itu, begitu pun di perantauannya. Keluar sendiri, mencari tempat bersembunyi dan ruang-ruang itu pada akhirnya ditemuinya pula di ruang publik. Di kedai kopi atau sekadar pustaka kampus.

Agar ia dapat merasa sendiri, Talbot sering memasang penyuara telinga dan memutar lagu-lagu sehingga hiruk-pikuk di sekelilingnya dapat menjadi semu. Untuk sejenak, Talbot merasa memiliki dunianya sendiri, sebuah ruang pribadi yang hanya didiami dirinya sendiri meskipun di ruang publik.

Hal itu berhasil membuat kepedihannya memudar. Tetapi, sebagaimana sedih yang tak kunjung usai, sesekali jiwanya kembali menjerit-jerit, terutama ketika ia tidak dapat tidur pada waktu malam. Pikirannya gelisah. Jiwanya meronta-ronta hendak disembelih saja.

Sering di perantauannya, mulut Talbot terkomat-kamit mengucap sumpah-serapah secara samar agar tidak mengganggu teman sekamarnya yang sudah terlelap. Bagi Talbot, bahagia itu begitu sederhana wujudnya.

Ia hanya ingin punya kamar dan terserah Talbot tak peduli bagaimana bentuk dan rupanya, yang penting ia memiliki suatu tempat di mana tak seekor makhluk pun dapat mengusiknya. Barangkali memang ada pentingnya penderitaan itu, lewat kesedihan yang besar, nilai kebahagiaan menjadi menyusut dan lama-lama mengecil wujudnya.

Uang kiriman untuk Talbot pernah telat dan saat itu dia baru menyadari betapa nikmatnya sosis seribuan dilahap dengan nasi bersamaan terasi sasetan. Oleh sebab itu, bisa jadi di suatu tempat, ada doa-doa dari seorang anak yang dirapal dengan lirih itu menjurus lurus kepada segenggam beras saja; tidak kepada mainan, tidak kepada buku, dan tidak kepada sepatu. Segenggam beras cukup untuk ditukar dengan satu senyum yang langgeng bertahan dalam sepekan.

Sore itu, akhirnya Talbot memutuskan keluar. Seusai mengambil penyuara telinga, ia berjalan-jalan mengitari perumahan. Matahari keemasan di belakang Talbot, siluet barisan pepohonan yang menjulang tinggi dan burung-burung terkepak pulang membentuk huruf V tampak sebagai pemandangan sebuah lukisan dari seorang maestro impresionis bila dicampurkan dengan keruwetan hatinya sendiri.

Sepanjang jalan itu ia memaki-maki kehidupan yang baginya terasa amat pahit. Air liurnya pun jadi pahit. Talbot menendang batu-batu kerikil yang ditemuinya. Talbot mengandai-andai apabila wisuda nanti dan kamarnya belum jadi juga, dia memutuskan kabur dari rumah dan membangun hidup tanpa berharap dari sesiapun.

Menurutnya, itu lebih membahagiakan ketimbang menggantung nasib atau hakikat kebahagiaannya di tangan orang lain yang sayangnya orang tuanya sendiri. “Memang berharap kepada manusia itu buruk sekali. Apalagi kepada Tuhan, yang entah ada, entah tidak.”

Talbot sejatinya tak dapat dianggap sebagai atheis karena sesekali dia juga berdoa, di saat gairahnya sedemikian jatuh hingga untuk menangis saja sudah tak sanggup. Lagipula tak ada tempat juga bagi dia untuk menangis.

“Membaiklah, lekaslah membaik,” batin Talbot sembari mengelus-elus dadanya. Dia melihat ke belakang sebentar setelah menyaksikan bayangan tubuhnya yang mendahuluinya di depan.

“Cantik betul senja itu,” kata Talbot yang terpana. Biasan keemasan yang kini memerah itu membuat matanya berkaca-kaca. Tetapi, sedetik saja Talbot merasa hidup di kenyataan, dia kembali didepak jauh oleh rasa sakit bagai duri yang menusuk-nusuk hatinya sedari tadi.

“Jika terus begini, kalau akhirnya tidak masuk kubur, ya masuk rumah sakit jiwa.” Talbot tersenyum sambil mengusap mukanya. Dia kembali berjalan lurus menyusuri deretan perumahan dan berandai-andai adakah di salah satu rumah itu orang yang bernasib sama dengan dia.

Di ujung jalan, Talbot berpusing ke kiri dan melihat beberapa hamparan sawah yang masih hidup di sekitar rumah-rumah yang baru dibangun. Mungkin suatu hari pada akhirnya yang tersisa di sekelilingnya hanyalah tembok-tembok bangunan.

Kian tahun ladang persawahan itu kian menipis. Pemiliknya menjual tanah-tanah itu kepada pendatang yang ingin membangun rumah di daerah tersebut.

“Harga beras bakal naik lagi tampaknya.”

Lantas tak jauh dari situ, Talbot menemukan sebuah warung kopi. Di sanalah dia singgah dan mengambil kursi paling ujung.



Selepas memesan secangkir kopi susu, Talbot memasangkan penyuara telinganya, memutar musik digital di gawai, berselancar di dunia Internet. Lagu-lagu berdendang pelan, mengalun-alun mesra, sementara Talbot memanfaatkan waktunya dengan membaca-baca cerita pendek di sebuah blog dokumentasi sastra.

Setiap waktu yang berlalu adalah miliknya seorang. Sekali saja dalam hidup dia tak ingin ada yang merenggut waktu kesendirian itu darinya. Senja yang memerah membekas di wajahnya.

Pada mata yang menatap tegang kepada layar gawainya, terpancar suatu khidmat yang melebihi khusuknya ibadah di tengah malam. Kemudian malam menghapus segala kecantikan di langit dan mengucapkan selamat datang kepada penyembah kelam.

Bagi sebagian orang, malam adalah momen di mana hari baru saja dimulai dan ikut mengawali kehidupan warung kopi yang sebenarnya. Perlahan-lahan, satu, dua, dan bergerombol-gerombol orang berdatangan mengisi meja-meja kosong. Terkadang ada meja yang harus digeser dan dipadukan dengan meja yang lain karena mejanya tidak cukup dengan jumlah orang yang memenuhi meja.

Lambat-laun Talbot mulai terusik. Terlebih meja di depannya diisi orang yang sedang bermain gim daring bersama teman-temannya. Saling bersorak-sorai dengan mantap memegang gawai dan sebatang rokok secara bersamaan.

Sesekali menggebrak meja dan melontarkan caci-maki yang tak berkesudahan. Talbot jadi geram, andaikan saja dia bisa melemparkan gelas kopinya hingga pecah mengenai wajah tiap orang yang menghuni meja itu, pastilah dia akan sangat tertawa-tawa.

Setelahnya, Talbot mencelingak-celinguk ke kanan dan kirinya guna menenangkan gejolak emosinya. Melempar pandang ke segala penjuru kedai kopi yang mejanya diisi orang yang tak sendirian, yang saling berbagi canda dengan rekan atau berbincang perihal banyak hal seputaran sehari-hari.

Sedangkan Talbot sendirian saja di kursi dan mejanya, sebuah kursi yang kesepian. Dia merasa murung yang memilukan dan setiap tawa yang terdengar jadi semacam cemooh untuknya. Pikirannya jadi gamang, seolah-olah ada seribuan setan dari neraka sekonyong-konyong menyergap jiwanya.

Tangannya jadi bergetar, pandangannya jadi sedikit buyar berkunang-kunang. Keringat dingin mulai menitik di pelipis dan di keningnya akibat jantung yang berdetak tak karuan.



Dia ingin pulang, hendak lekas hengkang dari kedai kopi itu. Tetapi, ia sendiri jadi bingung mau pulang ke mana. Di rumah pun ia sudah lelah berbaur dengan adik yang tidak berhenti mengeluh perihal Internet lemot atau ibu dan bapak yang juga tidak berhenti mengeluh perihal Talbot yang telat wisuda.

Tetapi, mendadak muncul notifikasi di gawainya. Ibu mengabarkan mereka ingin pergi keluar untuk berjalan-jalan sejenak. “Mau ikut tidak?” tanya ibu.

“Tuhan memang baik betul padaku,” ujar Talbot. Dengan tersenyum semringah, ia lekas membalas dengan menjawab tidak dan buru-buru bangkit dari kursinya hingga akhirnya berjalan pulang.

Sepanjang jalan itu hatinya berbunga-bunga. seolah baru saja menerima pesan dari kekasih. Seingat Talbot, sedari tadi dia tidak melihat bulan dan bintang di langit kelam, namun entah mengapa, mendadak langit bergelimangan bintang-bintang serupa kunang-kunang. Tampak bulan sabit mengendap-endap tersenyum miring di saat kaki-kakinya bergembira beranjak pulang. Langkahnya begitu ringan, seolah dia memiliki sayap serupa peri yang terbang mengambang.

Dari jauh dia sudah melihat pintu rumahnya, Talbot tak sabar menghabiskan waktu sebentar malam itu dengan dirinya sendiri di sembarang tempat di dalam rumahnya tanpa khawatir seseorang bakal mengganggu. Tergesa-gesa dia membuka gerbang besi yang mengeluarkan bunyi derik. Hatinya tertawa-tawa di saat memeriksa setiap sepatu di rak untuk menemukan kunci rumahnya.

Namun perlahan Talbot jadi curiga. Di dalam sepatu-sepatu itu ia tidak menemukan apa-apa selain kaus kaki bau, begitu pun kunci tidak ada di bawah alas kaki.

Sesaat Talbot hendak menghubungi ibunya, namun sekonyong-koyong sebuah pesan singkat masuk, “Waduh maaf, Bot, kuncinya kebawa sama Ibu. nih,” Kemudian diakhiri dengan emot tertawa-tawa dan dua telapak tangan yang saling menepuk.

“Tuhan suka betul bersenda gurau denganku,” seru Talbot yang pada akhirnya hanya dapat terduduk pasrah sambil menyandar di pintu kayu. Saat mendengar jangkrik bernyanyi di pekarangan depan rumahnya, mendadak Talbot tersenyum. Sebuah senyum yang sukar dipahami, bahkan oleh dirinya sendiri. Senyuman yang begitu perih.

2023



 

Nuzul Ilmiawan, mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireun, 19 Oktober 2001.

 

 



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya