SOLOPOS.COM - Ilustrasi Cerpen Seteru Samsu (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO—Menjelang tengah malam rumah Panji Rangsang di Lembah Kelelawar didatangi empat lelaki setengah baya. Mereka duduk melingkar di bawah cahaya lampu temaram. Minum ciu, tuak, kopi, dan merokok.

Orang-orang itu berjudi, sesekali  mengumpat kasar, meneriakkan rasa kesal, dan tertawa bila menang. Anak lelaki Panji Rangsang – Samsu, yang tumbuh perjaka – melayani keperluan teman-teman ayahnya. Ayam curian pun dipotong dan digoreng,  disuguhkan sebagai lauk makan pada tengah malam.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Kau berani mencuri ayam tetangga. Lain kali kambing atau sapi bisa kaubawa pulang,” kata Panji Rangsang.

“Kau juga bisa mengambil hasil ladang di kebun Suro Kolong. Bukankah ladang itu dulu milik kita? Aku kalah beradu tomprang 1), dan sawah ladang kita dirampasnya.”

“Saya tak berani mencuri di rumah Suro Kolong. Ia terkenal sakti.”

Seketika Panji Rangsang mencibir.

“Kenapa takut pada lelaki tua itu? Kau bisa berguru pada orang sakti. Ketika tubuhmu kebal dari senjata, tak seorang pun berani melawanmu. Kau bisa juga merenggut Tari, anak gadis Suro Kolong.”

Dada Samsu berdegup kencang mendengar nama gadis sintal itu disebut-sebut. Ia sering memergoki gadis itu mandi dan mencuci di sendang. Pohon munggur tua menaunginya. Tari serupa bidadari turun dari langit, mandi di sendang. Tubuhnya begitu indah di mata lelaki muda itu.

“Kalau kau bisa menikahi Tari, itu mengobati luka batinku,” kata Panji Rangsang, menahan dendam. “Dulu Suro Kolong merebut Lastri dari tanganku. Begitu saja ia menikahi Lastri, tak pernah menghiraukan perasaanku. Sekarang malah dia merampas sawah ladang kita melalui tomprang.”

“Kenapa Bapak selalu kalah bertaruh tomprang dengan Suro Kolong?” desak Samsu merasa penasaran.

“Itu karena Suro Kolong berguru pada Ki Gandrung Marsudi di lereng Gunung Kabut,” balas Panji Rangsang sambil main kartu. “Kau bisa mengalahkannya apabila mau berguru pada Ki Gandrung Marsudi.”

“Besok pagi aku akan mendaki lereng Gunung Kabut. Aku akan berguru pada Ki Gandrung Marsudi,” kata Samsu. “Akan kubalas semua rasa sakit hati Bapak.”

Tak ada percakapan lagi. Yang tampak wajah Panji Rangsang penuh dendam di antara asap rokok penjudi yang terus mengepul.

***

Berdiri di jalan setapak menuju Gunung Kabut, matahari menghangatkan tubuh Samsu. Ia melangkah dengan pengharapan bisa mencapai Pedepokan Ki Gandrung Marsudi yang terpencil, tanpa tetangga. Apabila kabut tersingkap di lereng gunung, ia bisa memandang pedepokan itu tampak samar dari pelataran rumah.

Desa terakhir sudah dilalui Samsu. Tak lama lagi ia mencapai pedepokan. Tetapi, ia tak pernah menemukan rumah kayu yang terpencil itu. Ia tersesat di hutan.

Kabut turun tipis menjelang siang. Ia menyusuri jalan setapak. Kabut tebal turun. Samsu memilih berhenti melangkah. Duduk di sebuah batu di bawah pohon mangga.

Samsu kehilangan arah. Lelaki muda itu tak dapat meneruskan perjalanan. Ia tak bisa pulang. Kabut tebal mengurungnya. Tetapi, ia tak mau menyerah. Ia ingin melampiaskan dendamnya pada Suro Kolong.

Hampir senja ketika ia mendengar suara langkah kaki ringan mendekatinya. Berhenti tepat di depannya. Ia menatap tubuh lelaki tua berambut panjang. Berdiri di hadapannya dengan kaki ramping kokoh.

“Kenapa kamu duduk di sini?” tanya lelaki tua itu penuh percaya diri.

“Saya ingin bertemu Ki Gandrung Marsudi.”

“Kalau begitu, ikutlah aku,” balas lelaki tua berambut panjang dan berjenggot.

Samsu bangkit, mengikuti langkah lelaki tua yang mengenakan pakaian lurik lengan panjang dan berkain.

Langkah lelaki tua itu ringan. Kabut masih pekat  ketika ia memasuki pendapa dan duduk di hamparan tikar pandan. Secangkir kopi yang disuguhkan istri lelaki tua itu menghangatkan tubuhnya.

“Rupanya saya berada di Pedepokan Ki Gandrung Marsudi,” kata Samsu, menyalami dan mencium punggung tangan lelaki tua berambut panjang itu.

“Saya tak akan pulang sebelum memiliki aji panglimunan 2) Mohon berkenan Ki Gandrung menerima saya sebagai murid.”

***

Matahari menyinari pelataran Pendapa Ki Gandrung Marsudi ketika Samsu berpamitan. Ia telah memperoleh aji panglimunan. Ia dapat menghilang dari pandangan orang-orang.

Baca Juga: Anak-anak yang Lahir dari Kepala Manusia

Tiga pekan ia berpuasa mutih 3) untuk bisa menguasai aji panglimunan.  Ia menuruni lereng Gunung Kabut dengan langkah-langkah ringan. Jalan berumput menuju desanya seperti sangat dekat. Cepat  sekali ia memasuki Lembah Kelelawar yang rimbun pepohonan sonokeling, jati, dan munggur.

Samsu memasuki rumah dan mendapati ayahnya masih tidur. Di meja tamu terserak gelas kopi, puntung, dan beberapa potong ketela goreng di piring.

Ia merapal aji panglimunan sebelum ayahnya terbangun. Panji Rangsang tertegun memandangi meja telah kosong dan lantai tersapu bersih. Ia mendengar suara langkah anak lelakinya. Tetapi, ia tak melihat siapa pun berada dalam rumah.

Tajam sekali sepasang mata Panji Rangsang menyelidiki tiap sudut ruang, mencari sosok anak lelakinya. Pintu ruang tamu yang semula tertutup, kini terbentang penuh.



“Kau jangan mempermainkan aku,” kata Panji Rangsang. “Aku tahu, kau sudah pulang. Kau berada di ruang tamu ini. Kau belajar aji panglimunan rupanya. Aku tak bisa melihatmu.”

Samsu menahan diri untuk tetap tak terlihat pandangan ayahnya.

“Tampakkanlah dirimu!”

Samsu menampakkan diri. Tubuhnya lebih kurus dan pucat setelah tiga pekan puasa mutih. Tetapi, sepasang matanya memancarkan cahaya dendam dan kepuasan.

“Nanti malam aku akan membalaskan sakit hati Bapak pada Suro Kolong,” tukas Samsu diliputi perasaan dendam. “Aku ingin melihatnya menderita karena harta bendanya kurampas.”

***

Pagi masih gelap. Suro Kolong mendekati kandang kambing di belakang rumah. Semalam ia dengar suara kambing mengembik, yang menjauh dari kandang, Ia enggan bangun.

Kini ia tercengang melihat kambingnya tinggal lima ekor. Seekor kambing jantan yang masih muda hilang. Lelaki tua itu mengikuti jejak kaki kambing di tanah. Ia mencapai tepi Lembah Kelelawar dan memasuki pelataran rumah Panji Rangsang yang senyap.

Ia melangkah pelan-pelan ke belakang rumah. Terlihat kepala, empat kaki, dan kulit kambing tergeletak di dekat tungku. Tercium aroma  daging kambing dipanggang.



“Kenapa kau memata-matai rumahku?” tanya Panji Rangsang, yang muncul di pintu belakang.

“Aku hanya berjalan-jalan.”

“Kau curiga kami mencuri kambingmu?”

“O, tidak!”

Suro Kolong meninggalkan pelataran rumah Panji Rangsang. Ia menjauhi  Lembah Kelelawar. Sepasang mata Panji Rangsang mengikuti kepergiannya dengan kebencian dan kemarahan.

***

Malam itu, Suro Kolong duduk di bawah pohon nangka agak jauh dari kandang kambing. Di tangannya tergenggam tongkat kayu sonokeling. Ia menanti seseorang mendekati kandang kambingnya.

Ia menahan diri, tak bergerak. Ia mendengar suara gaduh lima kambingnya. Aneh. Seekor kambing jantan yang masih muda berjalan meninggalkan kandang. Tak  tampak seseorang menuntun tali yang mengikat leher kambing itu.

Jantung  Suro Kolong berdegup. Ia merapal doa untuk melihat seseorang yang tak tampak karena memiliki aji panglimunan. Tampak sosok Samsu menuntun kambing muda menjauhi kandang. Alangkah tenang langkah lelaki muda itu.



“Berhenti!” seru Suro Kolong, menghadang jalan Samsu. “Kaukira aku tak bisa melihatmu? Kau berguru pada Ki Gandrung Marsudi hanya untuk berbuat jahat!”

Samsu tak percaya bila Suro Kolong dapat melihatnya. Ia meneruskan langkah, menuntun kambing itu.

Suro kolong mengayunkan tongkat kayu sonokeling, menghantam kepala Samsu. Sekali. Dua kali. Tiga  kali. Lelaki muda itu  terkapar.

“Kau bisa melihatku?”

“Apa pun yang kaulakukan, aku bisa melihatmu. Kalau kau ingin selamat, tinggalkan kambing itu!”

Mendengar kegaduhan, Tari terbangun dan bergegas mendekati ayahnya. Gadis itu terlihat sintal, rambut panjang tergerai. Sepasang matanya memandangi lelehan darah di kening Samsu.

Semua gerak-gerik Samsu serbacanggung. Ia melepas tali kambing. Meninggalkannya begitu saja, menjauhi pelataran rumah Suro Kolong. Ia melangkah dengan rasa takut dan malu.

***

Pandana Merdeka, Februari 2024



Catatan

  1. Tomprang: adu balap burung merpati
  2. Aji panglimunan: kesaktian seseorang agar  tak terlihat dari pandangan orang lain.
  3. Puasa mutih: berpuasa dan berbuka dengan makanan pokok yang rasanya tawar, juga minum air tawar.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya