Lifestyle
Jumat, 4 Maret 2022 - 17:10 WIB

Siapkah Indonesia Masuki Endemi Covid-19? Begini Penjelasan Pakar

Mia Chitra Dinisari  /  Astrid Prihatini WD  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pandemi Covid-19. (Freepik)

Solopos.com, SOLO-Menko Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Indonesia sedang menyiapkan roadmap transisi Indonesia dari pandemi Covid-19 menjadi endemi. Apakah ada kriteria untuk memasuki endemi?

Selain itu apakah sebenarnya Indonesia sudah siap transisi ke endemi Covid-19? Ahli Patologi Klinis Tonang Dwi Ardyanto mengatakan agar hati-hati memaknai endemi Covid-19.

Advertisement

Menurutnya, kondisi endemi itu bukan kondisi yang diharapkan di Indonesia maupun di dunia. Itu kondisi terpaksa, mau tidak mau dijalani, karena sebenarnya Covid-19 belum benar-benar dapat dieradikasi.

Kondisi endemi itu berarti kasus masih ada, diharapkan serendah mungkin sehingga tidak berisiko bagi kapasitas pelayanan kesehatan, dengan angka kematian juga serendah mungkin mendekati nol. Dia mengatakan sedangkan saat ini kasus masih tinggi, meski memang diharapkan sudah melewati puncak Omicron. Tapi angkanya masih relatif tinggi. Selain itu,  yang tidak kalah penting, angka kematian masih belum melewati puncak. Kita masih perlu waktu untuk benar-benar melandai.

Advertisement

Kondisi endemi itu berarti kasus masih ada, diharapkan serendah mungkin sehingga tidak berisiko bagi kapasitas pelayanan kesehatan, dengan angka kematian juga serendah mungkin mendekati nol. Dia mengatakan sedangkan saat ini kasus masih tinggi, meski memang diharapkan sudah melewati puncak Omicron. Tapi angkanya masih relatif tinggi. Selain itu,  yang tidak kalah penting, angka kematian masih belum melewati puncak. Kita masih perlu waktu untuk benar-benar melandai.

Baca Juga:  Waspadai Risiko Reinfeksi Omicron Lebih dari Sekali dalam 20 Hari

“Harapan bahwa Ramadan dan Lebaran kali ini, bisa lebih nyaman kita lewati, bukan berarti saat itu sudah tepat disebut masuk fase “endemi”, ujarnya dikutip dari Bisnis.com pada Jumat (4/3/2022).

Advertisement

Bagaimana indikator menguji kasus rendah dan kematian rendah tersebut?

Indikator pandemi. (JIBI/Bisnis Indonesia)

Untuk bisa mengukur itu, berarti harus tahu ukuran pandemi. Instrumen yang tepat adalah 3T dengan kuncinya adalah testing. Dia juga mengatakan kapasitas testing di Indonesia masih rendah. Akibatnya, kita mengukur pandemi seperti meraba gajah. Tentu tidak realistis berharap mendapatkan gambaran yang tepat. Menghadapi ini, akhirnya kita mudah terjebak: antara rasa aman semu atau malah paranoid. Merujuk pada gambar di atas, lanjutnya, pada bagian tengah, kapasitas testing kita sekadar “pas”, atau standar minimal.

Baca Juga: Jadi Tempat Awal Munculnya Covid-19, Wuhan Kini Diserang Omicron

Advertisement

Maka kita hanya bisa mengukur tapi tidak bisa berusaha mengikatnya. Jadi kita hanya bisa mengikuti iramanya, sampai saatnya secara alamiah, pandemi akan turun gelombangnya. Ketika gelombang naik lagi, harus mengikuti lagi. Begitu seterusnya. Pada bagian kanan, kapasitas testing kita jauh melebihi ukuran pandemi. Maka tidak hanya sanggup mengukur dengan tepat, sekaligus juga mampu “mengikat” dan akhirnya memutus lingkaran pandemi, agar mengecil. Ini yang diharapkan. Idealnya, kita mengikuti pola gambar paling kanan. Tidak mudah. Dengan kapasitas tes yang tinggi, seperti di Jakarta sebagaimana kota-kota besar lainnya, diestimasikan bahwa jumlah kasus sebenarnya adalah 10 kali lipat yang terlaporkan. Dengan demikian, ada target yang lebih jelas.

Di luar Jakarta, sangat variatif, walau secara umum, kita masih kurang kapasitasnya. Ada kemungkinan kita masih seperti gambar paling kiri. “Dengan keterbatasan soal tes, dan menyadari situasi ini, tentu kita bijak untuk berhati-hati menilai dan menyimpulkan sudah berapa ukuran pandemi ini sehingga tidak tergesa-gesa menyatakan sudah masuk fase endemi,” tambahnya.

Dari sisi tes itu sendiri, bagaimana tentang angka positivitasnya?

Advertisement

Untuk mengukurnya, kunci utama adalah seberapa kapasitas tes kita. Ada beberapa syarat yang secara umum disepakati sebagai indikatornya. Pertama, rendahnya kasus itu sinkron dengan angka positivitas yang rendah. Diharapkan di bawah 5%. Semakin rendah, semakin baik. Berapa posisi kita? Per 27/2/2022 data di laman Ourworldindata Positivity Rate (PR) 17.96%. Padahal saat itu, PR untuk PCR adalah 39,85%. Mengapa dilaporkan 17.96%, karena digabung dengan PR tes antigen.

Padahal tentu kita tahu, yang tes antigen negatif, belum tentu PCR nya juga negatif. Jadi dalam sudut pandang mengambil risiko terburuk, seharusnya PR kita tetap dilaporkan 39,85%. Artinya? Masih jauh dari batas

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif